Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Michael Jackson


Michael Jackson mustahil tercipta lagi. Secara harafiah, iya, tapi iyapun secara metafor. Mengapa? Saya ingat, ingat betul; di suatu kelas, kala mengajar, saya bertanya pada murid-murid tersayang:
"Muridku, apakah musik pop itu?"
(Terdiam mereka semua)
"Jika begitu, sebutkan ciri-ciri musik pop!"
"Enak!"
"Mudah dicerna!"
"Cinta!"
"Mudah dimainkan!"
"Oke, muridku, Jadi apa pop itu?"
(Tetap terdiam)
"Tahukah kalian, kelompok musik bernama Prodigy?"
"Tahuuuuuuuuuu, Kaaaaak!"
"Kalau berbicara aliran musik, masuk manakah mereka?"
"Techno, Kak!"
"Oh, Andika, apa itu techno?"
"Adalah, musik yang menggunakan efek-efek elektronik."
"Pintar! Lantas, muridku, pastilah semua tahu Britney Spears kan?"
(Serentak menjawab tahu)
"Adakah unsur techno di dalamnya?"
"Adaaaaa, Kaaaaak!"
"Lalu, saya bertanya, mengapa Britney Spears disebut pop, sedangkan Prodigy dibilang techno. Padahal, keduanya mengandung efek elektronis?"
(Terdiam lagi)

Barangkali oh barangkali, begini muridku: bahwa pop itu jangan-jangan bukanlah sejenis aliran yang terdefinisikan. Bahkan saya curiga pop itu bukan suatu musik. Lantas apa? Mungkin itu bersinonim dengan keterkenalan semata. Britney dan Prodigy, tak ada beda di telinga, tapi di mata, mereka beda kasta. Lantas bolehlah kita tarik kembali lebih jauh, muridku. Bahwa, di balik keterkenalan itu, ada unsur kekuasaan. Yah, itu mereka, produser televisi, radio, dan media-media lainnya. Maka, ketika berbicara keterkenalan, urusan prestasi sungguh seringnya kita ditipu. Saya teringat lagi, kala makan malam satu meja dengan Ananda Sukarlan, seorang pianis. Di tengah makan, ia terhenti sejenak, kala mendengar lagu You're Beautiful-nya James Blunt. Katanya, "Pantas saja musik pop itu sampah, dengarkan saja lagu ini, hanya tiga not diulang-ulang sepanjang lagunya." Terima kasih, Ananda, telingamu menggalaukan saya. Bahwa sepertinya benar, bahwa lagu-lagu pop (terutama dewasa ini) jarang melampaui tiga atau empat not per lagunya, -sungguh sederhana dan bisa bikin miris komposer jazz serta klasik yang keranjingan harmoni beribetan-. Hanya faktor kekuasaanlah, dari para produser itu, yang sukses membiasakan telinga kita akan "kesahajaan" notasi. Diputar puluhan kali sehari, siapa yang tak sukses beradaptasi?
Lantas, apa hubungannya dengan raja pop yang baru saja berpulang itu? MJ, bagi saya, barangkali adalah bintang pop yang terakhir. Yang sungguh, ia bekerja keras untuk keterkenalan itu, dan menjadi kuasa atas dirinya sendiri. Media dan kekuasaannya tentu saja berandil, tapi ia tak sentral dalam kasus MJ. Mengapa? bandingkan dengan sentralitas media saat ini, rasa-rasanya, siapapun yang diinginkan media untuk terkenal, maka jadilah ia, kun fayakuun. Bintang pop dewasa ini, hadir bukan akibat prestasi dan kemampuan istimewa, melainkan soal kedekatannya dengan media, atau urusan visualisasi yang menyedapkan mata. Belum lagi acara-acara pencarian bakat massal itu, yang barangkali di lubuk hatinya, tertanam rasa "mencari Michael Jackson yang baru". Tapi, dalam opini saya, tak akan lagi MJ baru. Ia tinggal kenangan, tentang bagaimana seorang figur sukses dalam hal pencitraan yang dibentuk dirinya sendiri, oleh prestasi, kegigihan, dan kerja keras yang mandiri. Media tentu penting, sebagai corong semata, jembatan antara artis dan penggemarnya.
Oh, muridku, tak ada musik yang buruk. Semuanya sama, dan cuma urusan selera. Jika mesti membenci musik, maka bencilah pop, karena ia bukan musik. Tapi jangan benci MJ, karena dia idolaku.
Selamat jalan, MJ. Tak usah dengarkan orang-orang yang ribut ke Tuhan mana kau berpulang, apakah patut ditahlilkan atau tidak. Yang penting adalah, ketika mendengar musikmu, mereka toh bergoyang pula. Selamat jalan, bintang pop, yang terakhir.

She was more like a beauty queen from a movie scene
I said don't mind, but what do you mean i am the one
Who will dance on the floor in the round
She said I am the one
Who will dance on the floor in the round

(Billie Jean-Michael Jackson)

Comments

  1. MJ.. dont' stop dancing in the moon

    ReplyDelete
  2. Saya juga pernah baca wawancara Ananda Sukarlan, dia bilang ga suka James Blunt dan Maxim si pemain piano.

    Eh, ada saya di tulisan ini...

    ReplyDelete
  3. komentar gw rip....lanjutkan lah ke galauan anda bung sarip...karna semakin galau semakin keren kata2nya.....

    ReplyDelete
  4. guru ku oh guruku... isinya bagus tulisan ini... sepakatlah... hehehe...

    ReplyDelete
  5. terus berkarya bung sarip...dalam kegalauan anda menemukan dunia anda sendiri......

    ReplyDelete
  6. "Born to amuse, to inspire, to delight
    here one day, gone one night"

    Gone Too Soon - Michael Jackson

    ReplyDelete
  7. yang jd ikon musik pop itu siapa ya? kayaknya banyak yg bilang jg the Beatles, bukan Michael Jackson. Sementara hak cipta Beatles dibeli sm MJ. Jadi siapa yg paling ikon di antara mereka?

    ReplyDelete
  8. jadi rif, lagu2 agak melayu menye2 yang banyak ditemukan di band2 jaman sekarang itu termasuk pop juga? pop melayu menye? gitu? *garuk2 kepala nggak ngerti, hehe*

    ReplyDelete
  9. @pointlessmind, karena cuma dia yang ngacung pertanda gak ngerti: Iya, karena intinya, pop bukan urusan musikalitas, tapi keterkenalan yang diakibatkan oleh industri. Jadi ya mudah aja mengenal mana yang pop, mana yang engga, tinggal dirasa-rasa, dia terkenal ga? dia sering diputar di radio dan media-media ga? dia digandrungi orang secara latah ga? demikianlah, ini sari ya?

    ReplyDelete
  10. sejak kecil sya suka yang namanya music, tetapi saya tidak pernah peduli istilah atau jenis music. anu penting ngeunaheun di simak dan kalau tidak ngeunaheun peduli amat. jadi bagi yang mau ngeributin istilah wilujeng. sim kuring moal ngiringan, nyanggakeun sdaya-daya. beuheung tengger teukteukeun, suku genteng belokeun. hatur nuhun

    ReplyDelete
  11. bung sarip.. semoga nanti anda sepintar mbah surip. baik itu merangkai kata dan bermain musik. bagus skali tulisannya. menurut gw, pop itu enak dan gampang aja, seperti ayam pop tanpa kulit dan gak ribet seperti ayam gule, seperti lolipop yang enak dan gak ribet seperti lolita (lo tau kan lolita style) , atau seperti pop mie yang instant dan enak karena banyak bumbu dibanding mie tek2.

    ReplyDelete
  12. @jaka lenang: tangtos eta sikap nu sae pisan. Ngan abdi nyobian ningal tina sudut pandang anu sanes perkawis budaya pop anu latah pisan di urang. Aya raraosan gelisah kitu ningal jalmi2 anu dikontrol ku media sareng industri, jadina seueur nu teu gaduh pendirian, ngan ngiring seueurna we kumaha. Kitu, kang.

    ReplyDelete
  13. Syarif, kali gw harus tidak sependapat sama lo soal musik pop. Gw tidak setuju kalau ada salah satu musik lebih superior/inferior dibanding musik lainnya. Berkomentar soal musik pop, tidak boleh melulu hanya melihat musiknya itu sendiri. Apa yang dikkomentari oleh Mas Sukarlan gw kira keliru. Jadi, urusan pop berkaitan erat dgn perjuangan, semangat jaman, ideologi, dan tentunya, industri kapitalis. Dgn demikian, kompleksitas masalah akan menjadi sangat luas ketimbang sekedar mempermasalahkan hanya memakai 3-5 not.

    Tp bolehlah kalau kita mau berargumen dalam tubuh musik itu sendiri. Ingat, Simfoni no 5 Beethoven juga dibuat dgn materi amat sederhana. Juga bagaimana konsep minimaks yg dikembangkan oelh Slamet Abdul Sjukur.

    Kapan2 kita bisa diskusi panjang soal ini, teman!

    Ngom2, blog lo mantap gile,,baru 2 hari, uda ada 3 tulisan.. hehe..

    ReplyDelete
  14. @Roy: Terima kasih atas kunjungannya, Roy. Tentu saja saya sependapat, tidak ada superioritas dan inferioritas dalam musik. Tulisan ini semata-mata menunjukkan bahwa apa yang dinamakan musik pop, gak bisa secara naif dibilang musik secara an sich. Tapi ia adalah semacam kultur yang di dalamnya terdapat apa yang disebutkan oleh Bung Roy itu: industri kapitalis, ideologi, dan semangat jaman. Tentu saja tidak buruk, dan saya tidak mengatakan buruk dalam tulisan di atas. Hanya saja, analisa tentang budaya pop sepertinya penting biar kita-kita tak melulu naif dan terjebak pada kelatahan yang dicekoki oleh para industrialis itu. Ah, lagi semangat aja nih. Nunggu kendurnya aja kapan hehe..

    ReplyDelete
  15. owww begitu :) btw rif, iyah ini sari, heuheu.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1