Skip to main content

Spiritualitas dalam Joged Gemoy

  (Ini adalah teks Filtum [Filsafat Tujuh Menit] yang dibacakan pada live IG Kelas Isolasi, 12 Maret 2024) Ya, kita tahu siapa yang pasti menang pada pilpres tahun ini. Orang yang dalam kampanyenya mengandalkan suatu gerakan tari yang dilabeli sebagai joged gemoy. Meskipun cerita tentang ini sudah beredar luas, saya harus ulas sedikit tentang darimana asal usul joged gemoy ini berdasarkan pengakuan Prabowo sendiri dalam podcast Deddy Corbuzier. Menurut Prabowo, gaya joged tersebut terinspirasi dari joged spontan yang dilakukan kakeknya, Pak Margono. Usut punya usut, ternyata gaya tersebut masih ada kaitannya dengan kisah pewayangan, "Kakek saya orang Jawa dari Banyumas, zaman itu belum ada televisi, jadi hiburannya wayang," kata Prabowo mulai bercerita. Dalam sebuah cerita wayang (yang diperagakan wayang orang itu), sang kakek merasa senang dengan sosok tokoh Pandawa dan Kurawa di mana gerakannya seperti orang yang sedang melakukan pencak silat. "Pandawa dan Kurawa, p

Kisah Anak Penjual Ubi Cilembu


Ini kisah nyata. Pengalaman saya. Baru saja, sekira pukul 10.30 dialaminya. Sebelum bergegas mengajar, saya tentunya mestinya melewati pagar rumah. Seketika itu, di depan gerbang, lewatlah seorang anak perempuan, usianya sekitar sembilan atau sepuluh tahun. Pakaiannya lusuh, pun tubuhnya. Ia membawa dua keresek besar berwarna hitam. Isinya apa entah tak kelihatan. Seketika ia datang menghampiri, bergumam apa tak jelas. Saya yang buru-buru, cepat-cepat berpikir bahwa ia anak yang minta shadaqah. Alah, biasa kan di kala mau lebaran. Anak-anak kecil sering keliling minta uang.

"Hui Cilembu-nya, A,"
"Apa? Hui?" saya bertanya balik.
"Iya, A, ini hui asli Cilembu. satu keresek lima ribu"
"Oh, oke oke sebentar," saya mengambil dompet di saku, mengintipnya, lalu melihat ada uang seratus tujuh puluh empat ribu. Karena saya pelit dan pecahan uangnya agak kurang enak, maka saya ambil si empat ribu. Saya sodorkan padanya, dan sadar uangnya kurang untuk beli satu keresek pun, maka saya bilang:
"Neng, ambil aja, hui-nya buat neng ya?"
Alih-alih senang, si anak malah terdiam lalu bilang:
"Empat ribu bisa buat tiga perempat keresek, A, saya ambilin ya?"
"Ga usah, neng, ambil aja yah uangnya, gak papa kok," ujar saya sambil masih memegang uang di tangan.
Si neng dengan cepat mengepak kereseknya, lalu berkata, "Pamit dulu ya, A."
Eh dia ngeloyor!
Saya kaget, "Neng, neng, tunggu sebentar, ini deh ini deh, saya beli dua-duanya, uangnya dua puluh ribu ya,"
"Saya ga ada kembalian, A,"
"Oh, gak papa, Neng, buat Neng aja kembaliannya. Tapi hui-nya tetep gakan saya ambil lagi ya? Buat neng jualan lagi aja."
"Saya gak mau, A. Aa, tetep harus ngambil hui-nya"

Waduh, jika kau menjadi saya. Sungguh sulit mengambil hui-nya. Kenapa? Karena di rumah saya belum tentu ada yang berminat, dan khawatir itu akan jadi mubazir. Saya sempat tertegun sejenak, sebelum ayah saya berseru dari pintu rumah, "De, ambil aja hui-nya." Ia memberi isyarat dengan mengatupkan mata perlahan sambil mengangguk, seolah berkata, "Ambil saja, dia akan lebih bahagia kalau kita mengambilnya." Oh, baiklah, akhirnya saya ambil itu dua keresek hitam yang bahkan saya belum lihat isinya. Si anak pergi sambil mengucap terima kasih. Saya tak menjawab karena tak bisa berhenti memandanginya.

***

Kau tahu, itu seperti pengalaman sepele. Tapi buat saya, maknanya banyak, barangkali setara Siddharta di Pohon Boddhi atau Muhammad di Gua Hira. Hehe. Saya jadi sadar, kesalahan pertama saya adalah: saya berprasangka negatif pada anak ini. Karena menyangka akan meminta shadaqah, saya lekas-lekas ingin menyelesaikan pertemuan tanpa mendengarkan ucapannya. Kau tahu lah, setiap dari kita mungkin punya kesadaran untuk berbagi harta, tapi kadang kita tak suka jika itu diminta. Kedua, saya pelit. Ia berjualan lima ribu, eh saya kasih empat ribu karena itu pecahan yang paling enak untuk 'dibuang'. Tapi ya itu, kepelitan saya juga berangkat dari keburukan prasangka. Karena saya pikir dia mau minta shadaqah, jadi alah, biar kelihatan berusaha, dia perhalus saja dengan berjualan. Yang mana entah terjual entah tidak, yang penting ia dapat uang.

Sambil menyetir menuju tempat tujuan, saya merenung takada habisnya. Saya kira anak tadi seorang agnostik. Tahu kenapa? ia tidak percaya bahwa lebaran adalah momen dimana Tuhan berbagi rejeki lewat belas kasihan. Ia hanya percaya, bahwa rejeki datang jika ia mau berusaha mencarinya. Itu tebakan ngasal sepertinya, tapi sebenarnya, rasa malu saya yang mendominasi. Kau tahu, ketika kau berpikir bahwa Tuhan mewahyukan dirinya lewat hal-hal hebat seperti Nabi, Rasul, Al-Quran, atau para ustadz yang rajin cari muka di televisi, ternyata saya mendapati hal yang lain sama sekali. Ia datang, berbicara sebagai anak yang menjual ubi: kecil, lusuh, tak berdaya, dan terbuka untuk ditindas siapa saja. Kau tahu, sungguh malu ketika siapa saja mereka yang status sosialnya ditinggikan, ternyata masih mau menerima uang tanpa mengeluarkan keringat, yang lantas membungkusnya dengan "rejeki Tuhan". Inilah ia, si anak penjual ubi Cilembu. Menyentuh kalbuku. Membuatku malu.

Neng, semoga kau menjadi presiden RI kelak nanti. Insya Allah negara ini akan jujur. Biarlah urusan gender jangan kau pikirkan.

Comments

  1. anak itu mengajarkan bagaimana menempatkan sesuatu pada haknya... kamu memberinya uang lima ribu, baginya hak kamu adalah mendapatkan sekeresek hui cilembu, dan dia tak ingin mengambil hak kamu itu.. perkara kamu mau sedekah sama dia itu perkara lain lagi, tapi yang menjadi penting dalam transaksi hui cilembu ini saling menghargai hak satu sama lain dan anak itu menurutku konsisten dengan kewajibannya memberikan hak itu setelah mau memberinya uang..

    dalam dunia orang dewasa yang seringkali tamak dan rakus, ga banyak contoh seperti yang dilakukan anak kecil itu..

    ReplyDelete
  2. Betul sekali mba Tarlen, rada tertegun saya sih tadi. Aneh, ketika musimnya anak-anak minta sedekah, ini ada yang dengan jujur berjualan, penuh pertimbangan hak dan kewajiban. Saya cuma mikir, orangtuanya barangkali hebat bisa mengajari anaknya jujur seperti ini.

    ReplyDelete
  3. terkadang kita mudah menilai sosok itu dari bungkusnya, kadang manusia tersiksa karena memikirkan penilaian orang atas dirinya..
    kisah yang menarik :)

    ReplyDelete
  4. alhamdulillah syarif. petunjuk bagi manusia datang bagi mereka yang Iqro-membaca petunjuk-Nya. segala sesuatu berjalan karena tangan Allah, sekecil apapun itu. semoga anak manis itu mendapatkan yang terbaik dalam hidup, amien.

    ReplyDelete
  5. @Artcoholic: Nuhun. Iya memang, kata Konfusius, "Jangan pusing kalo orang lain tidak bisa memahami kita. Pusinglah kalo kita tidak mampu memahami orang lain".
    @Raden Prisya: Amiiiien. Terima kasih Raden, kau punya andil juga.

    ReplyDelete
  6. Izin Promo gan,,, http://firmanzurig.blogspot.com saya ASLI CILEMBU, hehehe...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1