Hari Minggu kemarin, saya dan pacar menonton film Nine di Plaza Senayan. Film itu, saya belum tahu soal apa. Yang pasti, pacar saya sangat ingin menyaksikan Marion Cotillard, aktris idolanya yang turut bermain. Ternyata, ini film drama musikal. Hal yang tak pernah lagi saya tonton sejak Moulin Rouge.
Syahdan, ada seorang sutradara bernama Guido Contini (Daniel Day-Lewis). Mengambil latar di Roma tahun 1965, Guido digambarkan sebagai seorang sutradara besar di Italia. Hampir seluruh orang di negeri itu mengenalnya, atau dalam bahasa Lily (Judi Dench), teman sekaligus kru kostumnya, "Tidak ada seorangpun yang lewat disini, tidak tersentuh oleh film-mu." Demikian Guido Guido (saya sengaja menuliskannya dua kali, karena terngiang oleh nama Guido yang sering sekali diucapkan di film itu), yang terjerumus dalam sebuah masalah besar: Ia sedang menghitung mundur satu minggu menuju film terbarunya yang berjudul Italia, dan ia belum menuliskan naskah!
Entah apa yang mengganggu Guido Guido, yang pasti, ia selalu dalam keadaan gelisah dan galau. Dalam pelbagai adegan, ia nyaris selalu dalam keadaan mengisap rokok, dan wajahnya kusut (stereotip seniman besarkah?). Ia mencari inspirasi kemana-mana: menyepi ke hotel di kota antah berantah dimana ia berharap tak ada orang yang mengenalnya (namun mustahil bagi Guido), bertemu Kardinal untuk berharap menemukan inspirasi yang berbau spiritual, hingga yang paling Guido sepertinya suka: mencari dari para wanita, entah istrinya, kekasih gelapnya, ibunya, hingga aktrisnya sendiri.
Yang terakhir inilah yang mendominasi film dan mempertajam konflik-konfliknya. Mulai dari istrinya, Luisa (Marion Cotillard) yang berusaha tetap setia meskipun tahu Guido punya kekasih gelap bernama Carla (Penelope Cruz), hingga ibunya (Sophia Loren) yang seperti guardian angel, selalu ada menjaga meskipun tahu pelbagai kenakalan anaknya.
Saya bukan sedang me-review film tepatnya, karena sebaiknya film tersebut disimak sendiri, ataupun buka google saja, sudah banyak review-er hebat yang menggambarkan dengan tepat beserta kritiknya. Saya sedang memaknai saja, secara subjektif, apakah film Nine ini sebenarnya?
Pertama, drama musikal seringkali membosankan bagi sebagian orang. Karena dianggap terlalu dramatis, bertele-tele, dan mana ada dalam kehidupan nyata, ungkapan keseharian berada dalam balutan nyanyian yang berlebihan? Tapi ternyata, bagi saya, tidak demikian adanya. Unsur musikal dalam sebuah film, adalah garam dalam sayur, tak bisa tidak mesti ada. Bahkan dalam film bisu pun, musik tetap tersisa, alih alih katakata. Karena sepertinya begini: musik mampu mewakili banyak rasa. Atau sebaliknya, rasa mampu terwakili dengan baik dalam musik. Kata-kata? Ia juga bisa, tapi lebih butuh dicerna. Musik barangkali, -semoga banyak yang setuju- adalah jenis seni yang tidak sulit bagi banyak orang untuk langsung tersentuh ke dasar perasaan.
Dan ketika film Nine, di banyak sela-sela filmnya menghadirkan musik dengan kemasan yang ekstrim (kadang lirih, kadang gegap gempita, dan yang pasti: menghadirkan si aktor itu sendiri sebagai penyanyinya, sehingga suasana dramatis lebih terasa seiring gemulainya), maka gairah film itu semakin nyata. Ya, film Nine ini penuh gairah, penuh perasaan yang menunjukkan bahwa hidup sejati adalah yang dirasakan. Percakapan Guido dengan Kardinal, menunjukkan bahwa Kardinal tak bisa merasakan gairah kehidupan meskipun diliputi religiusitas. "Kau mesti menjaga imajinasimu, Guido, karena imajinasi adalah Taman Tuhan, dan jangan biarkan iblis tinggal disana." "Lantas, Romo, bagaimana imajinasi bisa dijaga?" Jelas, itu bukan pertanyaan, tapi sindiran bagi Kardinal, karena memang ya, seperti kata Iqbal: agama, filsafat, sains, punya keterbatasan, hanya seni yang tidak. Seni adalah soal imajinasi, maka itu Guido benar adanya.
Dan juga, menyedihkan, bila menganggap ini film yang mengumbar birahi, karena beberapa adegan tarian sensual dari Carla, Claudia Jenssen (Nicole Kidman), Saraghita (Fergie), ataupun Stephanie (Kate Hudson). Sekali lagi, ini adalah bentuk simbolisasi gairah, dan soal birahi, murni diserahkan pada subjektivitas (pria). Film ini dimana-mana adalah soal gairah, bahkan bisa secara implisit ditemukan dalam ketidaksanggupan Guido menemukan naskah film. Di bagian pembuka, ia berkata, "Kenapa film mesti dipilah ke dalam kata-kata? Itu mengerdilkan film itu sendiri."
Terakhir, adalah tips untuk menonton film ini: sebaiknya, banyak gunakan imajinasi, dan rasakan gairahnya. Menggunakan akal dan logika yang berlebihan akan merusak alur film itu sendiri. Biarkan hanya kesan yang tersimpan. Pesan? urusan belakangan. Tidak semua hal mesti dimengerti maksudnya apa dan apa maunya. Kata Goenawan Mohamad, bersiul pun tak ada gunanya, tak ada maksudnya, tapi sekedar menunjukkan bahwa hidup kita punya gairah.
My fav part:
ReplyDeleteKala Guido bertemu Guido.
Kala Guido bercakap dengan Guido.
Kala Guido berduet dengan Guido.
Guido Guido
ReplyDeletewah...wah...jadi pengen liat film nya.tapi ama siapa yah???hahaha..dasar arif pria dengan semua kegalauan nya...(but tulisan lo bagus loh rif)
ReplyDeletegalau. nonton pelem nepi kudu ka jakarta. jiga di bandung euweuh bioskop wae. ahahahaha.
ReplyDelete@juwi: hahahaha sama siapa hayo.. makasih juwi udah baca dan jadi pengikut, smoga ikut2an galau juga hehe..
ReplyDelete@iyok: yeeh, ai nu keur galau mah, kabeh film sarua rek bandung jakarta ge.. hahaha