Skip to main content

Pengintip

  Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti").  Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya

Suatu Pagi di STT Tekstil


Jumat pagi, tanggal 19 itu, ada acara yang tidak biasa. Acara yang membuat rutinitas harian sukses dialihkan. Adalah hari pertama saya mengajar di STT Tekstil. Letaknya juga menyenangkan. Selain tak terlalu jauh dari rumah, jalurnya juga berbeda dari biasanya. Sekarang lebih ke arah Timur Bandung, setelah seringkali berkutat dengan wilayah Barat Utara Selatan. Jadinya, memang hari itu saya sangat bersemangat. Suatu momen yang berbeda dalam kubangan rutinitas yang menjemukan, bagaikan lembar berwarna dalam bundelan komik hitam putih.

Oh iya, di STT Tekstil tersebut, yang saya ajari bukan tetek bengek soal tekstil. Tapi kenyataan bahwa mereka punya unit kemahasiswaan yang mengurusi gitar klasik dan beranggotakan lebih dari tiga puluh orang, yang Alhamdulillah, mempercayai saya untuk melatihnya. Ini, bagi saya, cukup mencengangkan. Bayangkan, sekolah yang berbasiskan perindustrian, punya minat terhadap gitar klasik yang barangkali paling tinggi ketimbang sekolah manapun di Bandung, bahkan sekolah yang punya jurusan musik sekalipun. Ini jelas tantangan yang menggiurkan bagi saya pribadi. Selain mesti berbagi pada mahasiswa yang barangkali lebih akrab dengan bunyi mesin ketimbang musik, saya juga diberi kesempatan untuk mempertanggungjawabkan ilmu yang sudah saya dapat selama bergelut di dunia gitar klasik. Ilmu yang saya percayai, hanya berarti kala dibagi. Kala bermanfaat bagi orang lain.

Dan tibalah saya di pagi itu, pukul sembilan. Belum ada satupun orang yang datang, dan saya gunakan kesempatan itu untuk berkeliling melihat area kampus. Ternyata kampus yang cukup besar, dan fasilitasnya pun oke. Ia berada di bawah Departemen Perindustrian. Lalu tak lama kemudian, datanglah para pengurus unit gitar klasik, namanya Widya dan Iskan. Keduanya mengatakan bahwa kemungkinan orang-orang akan terlambat, karena ada miskomunikasi. Ada yang bilang jam sembilan, ada yang tahunya jam sepuluh.

Akhirnya, pelatihan pun dimulai. Dimulai, maksudnya, setelah cukup banyak orang yang datang. Banyak itu, sekitar dua puluh orang. Saya memperkenalkan diri, meminta para pengikut unit memperkenalkan dirinya juga sembari menceritakan motivasinya ikut unit ini, serta akhirnya saya memainkan dua buah lagu sebagai "perkenalan" lebih lanjut. Pagi itu, saya berbagi sedikit soal pengetahuan membaca not, membaca ketukan, serta tangga nada mayor. Memang, sebagian besar dari mereka belum terlalu fasih soal dasar-dasar gitar klasik. Tapi, sebetulnya, bukan itu yang jadi sorotan saya. Yang membuat saya bahagia, haru, dan mencintai kegiatan ini, adalah kenyataan bahwa saya berhadapan dengan puluhan manusia yang sedang sangat bersemangat. Saya tidak setuju dengan Trie Utami di AFI dulu, bahwa, "Penonton tak peduli dengan alasan apapun, yang penting nyanyi kamu bagus." Untuk dunia hiburan, bolehlah slogan itu diangkat. Tapi, saya berani bilang di hadapan mereka (oh ya, unit gitar itu bernama Silhouette), bahwa, "Yang penting, adalah alasan kamu disini, semangat serta kerja kerasnya. Permainan? Itu adalah poin tambahan."



Maka, ketahuilah, wahai anak-anak Silhouette, bahwa saya tidak melakukan ini semua dalam rangka menyebarkan virus musik klasik seolah-olah saya ini antek-antek Barat kafir seperti yang FPI dengungkan. Sederhana saja alasannya: Bahwa saya ini telah banyak dibukakan jalur-jalur tempat saya berpijak di bumi ini, oleh musik klasik. Dan ini salah satu cara untuk membalas budi atas segala kebaikan yang musik klasik sudah berikan bagi saya.

Comments

  1. Bung, dah keliling berbagi ilmu rupanya. hehe.. Oia, blog gw pindah rumah. SIlahkan mampir yak!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1