Skip to main content

Spiritualitas dalam Joged Gemoy

  (Ini adalah teks Filtum [Filsafat Tujuh Menit] yang dibacakan pada live IG Kelas Isolasi, 12 Maret 2024) Ya, kita tahu siapa yang pasti menang pada pilpres tahun ini. Orang yang dalam kampanyenya mengandalkan suatu gerakan tari yang dilabeli sebagai joged gemoy. Meskipun cerita tentang ini sudah beredar luas, saya harus ulas sedikit tentang darimana asal usul joged gemoy ini berdasarkan pengakuan Prabowo sendiri dalam podcast Deddy Corbuzier. Menurut Prabowo, gaya joged tersebut terinspirasi dari joged spontan yang dilakukan kakeknya, Pak Margono. Usut punya usut, ternyata gaya tersebut masih ada kaitannya dengan kisah pewayangan, "Kakek saya orang Jawa dari Banyumas, zaman itu belum ada televisi, jadi hiburannya wayang," kata Prabowo mulai bercerita. Dalam sebuah cerita wayang (yang diperagakan wayang orang itu), sang kakek merasa senang dengan sosok tokoh Pandawa dan Kurawa di mana gerakannya seperti orang yang sedang melakukan pencak silat. "Pandawa dan Kurawa, p

Del Piero dan Kesetiaan

"... benda yang akrab ke dalam hatiku -dan sebab itu ia punya arti bagiku- cuma jadi benda yang tiap saat bisa dipertukarkan dengan benda lain." (Goenawan Mohamad menginterpretasi Hegel tentang ein sich in sich selbs bewegende Leben des Todes)


Sepakbola Italia pernah menorehkan catatan kelam tahun 2006 silam. Namanya calciopoli, atau skandal pengaturan skor yang melibatkan banyak klub besar Seri A, dan salah satunya adalah klub favorit saya, Juventus. Juventus dihukum degradasi ke Seri B dan memulai kompetisi dengan minus 30 poin. Gelar scudetto tahun 2005 dan 2006 pun dicabut. Kover depan koran BOLA saat itu, saya ingat, judulnya EKSODUS, yang menunjukkan adanya hijrah pemain besar-besaran dari Juventus ke klub lain. Alasannya apa lagi, kalau bukan gengsi yang turun karena sebagian besar pemain bintang tersebut menolak main di kasta kedua. Zlatan Ibrahimovic, Patrick Vieira, dan Fabio Cannavaro adalah contoh tiga bintang yang memutuskan keluar dari Juventus. Yang tinggal tidak banyak, dan salah satunya adalah pemain favorit saya, Alessandro Del Piero.

Del Piero, kelahiran 9 November 1974, bukanlah produk asli akademi Juventus. Ia baru bergabung tahun 1993 dari klub Padova. Karirnya gemilang sejak musim debutnya, dan sejak itu ia hampir selalu menjadi pilihan utama pelatih manapun yang menukangi Juventus. Bulan Oktober lalu, Del Piero merayakan 17 tahun pengabdiannya bersama Juventus, yang mana menjadikan ia sebagai pencetak gol terbanyak sepanjang masa klub tersebut dengan 279 gol. Sekarang Del Piero berusia 35 tahun, masih menjadi starter, dan juga bertindak sebagai kapten tim.

Del Piero, yang pernah menjuarai Piala Dunia 2006 bersama Italia, bukanlah pemain yang tak laku. Ia banyak diiming-imingi klub besar untuk pindah, apalagi kalau bukan karena kemampuannya yang mumpuni. Dunia sepakbola modern memang mengenal kontrak sebagai pengikat, tapi juga mengenal kontrak sebagai hiasan semata. Sering sekali pemain pindah karena klub baru mengimingi gaji besar, dan tidak memedulikan kontrak yang mengikatnya. Teken kontrak hanya sebatas pencitraan pada fans, bahwa ia loyal. Tapi loyal dalam batas waktu tertentu, sebelum ada tawaran yang lebih menggiurkan.

Di tengah kenyataan kontrak bukan lagi sesuatu yang bisa dihormati, maka Del Piero adalah contoh yang tersisa dari masih berharganya sebuah loyalitas. Tentunya masih banyak contoh lain, Steven Gerrard misalnya, atau Alex Ferguson. Tapi Del Piero punya nilai lebih bagi saya, semata-mata karena Juventus pernah terpuruk dari hingar bingar kompetisi sepakbola. Dan Del Piero, dalam statusnya sebagai pesepakbola yang memenangi Piala Dunia, menolak hingar bingar itu, dan memilih untuk jatuh pada kesetiaan. Belum cukup bukti loyalitasnya? Del Piero gajinya saat itu dipotong, karena kenyataan klub kekurangan uang, akibat sponsor ogah menemani mereka di Seri B.

Mari memetik hikmah sedikit dari cerita Yudhistira dari kitab Mahabharata. Ketika perang Bharatayudha berakhir, Pandawa dan Drupadi menuju nirwana secara ruhani. Tapi Yudhistira tertahan, bersama anjingnya. Dewa Indra mengajak Yudhistira masuk nirwana, tapi tidak dengan anjingnya. Yudhistira menolak, ia beranggapan bahwa lebih baik ia tidak memasuki sorgaloka yang sudah menjadi takdirnya daripada harus membiarkan anjingnya menunggu di luar sambil menderita haus dan lapar, sedangkan ia sendiri bermewah diri di dalam nirwana. Yudhistira mengatakan bahwa ia tidak akan mengkhianati anjingnya hanya demi surga. Tiba-tiba, anjing tersebut berubah menjadi Dewa Dharma. yang langsung memeluk Yudhistira tanpa kata-kata. Yudhistira pun mencapai moksha.

Saat ini, mengutip interpretasi GM di awal artikel, banyak sekali hal yang berkaitan dengan sejarah personal, dilego demi uang. Maksudnya, laptopku ini, tempat aku menuliskan banyak hal, curhat, dan barangkali ikut membentuk pribadiku, ketika ada yang tertarik mau beli, maka sesungguhnya ia tak lebih dari barang biasa yang bisa diperjualbelikan. Demikian halnya gitarku, celana dalamku, kaos-kaosku yang sudah robek, yang mana ia pernah menjadi bagian esensial yang turut serta "mendagingiku", jika saatnya dilego, untuk sebuah harga, maka pergilah karena ia cuma benda mati.

Del Piero bagi saya adalah figur yang kurang populer dalam industri sepakbola saat ini. Karena ia, membela klubnya oleh sebab hal yang amat "remeh", yaitu kenyataan bahwa Juventus adalah tim yang secara emosional terikat dengannya. Yang "menubuhinya" dari ia bukan apa-apa sampai jadi legenda. Ia tak mau dilego untuk harga berapapun. Dan kesetiaan, pada akhirnya, barangkali, baru terukur jika ada tawaran sekeping surgaloka. Del Piero menolak kemewahan Seri A, menolak gemerlap klub besar di luar sana, ia ingin tinggal saja bersama anjingnya.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1