Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Mengukur Kualitas Keimanan David Villa

"Bola itu bundar, kita tidak akan tahu jatuh dan memantul kemana."


Saya tidak tahu siapa yang mengucapkan itu, tapi barangkali kita semua tahu kalimat itu sangat terkenal. Seperti halnya kalimat tauhid, saya asumsikan kalimat itulah yang menjadi pijakan keimanan pesepakbola manapun. Sehebat-hebatnya strategi pelatih, sejago-jagonya kemampuan pemain, jika mengingkari bahwa bola itu bundar, maka dalam kegagalannya ia akan jatuh pada jurang yang pahit dan tersesat disana. Namun kalimat "tauhid sepakbola" itu adalah penyelamat sejati, ketika aktor sepakbola mengalami kekalahan dan kejatuhan yang pastinya lumrah di roda kehidupan. Mereka tahu bahwa bola yang bundar adalah realitas sejati yang menyebabkan jatuh dan memantulnya tak pernah mampu ditebak kemana arahnya. Dan karena itu, pantulan yang tak diketahui adalah ambang batas terakhir alasan untuk sebuah kegagalan yang tak bisa dijelaskan.

Kita semua tahu Filippo Inzaghi adalah fenomena sepakbola. Bukan karena kemampuannya yang mumpuni, tapi oleh sebab ia diberkahi dan "dipilih Tuhan" untuk seolah mengetahui tentang arah pantulan bola. Bola sering sekali memantul pada Inzaghi di tengah kemelut serumit apapun. Dan atas "keimanannya" ini, hingga usia hampir empat puluh ia masih rajin mencetak gol ke gawang tim sekelas Real Madrid sekalipun. Kita jua tahu tragedi Robert Green di babak penyisihan Piala Dunia 2010 lalu. Kiper Inggris tersebut gagal menangkap bola tendangan pelan gelandang AS, Clint Dempsey. Ia bermaksud memeluk erat, tapi bola tetap bergulir masuk ke gawang lewat sela-sela kakinya. Tragis, tapi bundarnya bola adalah alasan terakhir mengapa ia "tetap dimaafkan". "Seandainya bola itu bentuknya kotak, pasti bisa saya tangkap," begitu kira-kira saya menebak isi kepala Green.

Lalu mari kita layangkan pikiran ke beberapa hari lalu, ketika sejarah mencatat kemenangan besar Barcelona atas Real Madrid 5-0. Kita semua menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa orang bodoh pun tahu, Barcelona bermain lebih hebat dari El Real dan tidak bisa dianggap kemenangan yang berbau keberuntungan. Mereka menang dengan elegan dan tidak memberi ruang sedikitpun. Ketika pelatih Real Madrid, Jose Mourinho, ditanyai tentang kekalahan timnya, ia cuma menjawab bahwa timnya memang pantas kalah, karena tim lawan bermain lebih baik. Tidak ada alasan "kalah beruntung" disana, apalagi disebabkan oleh bundarnya bola.

Tapi mari kita mengingat gol kedua Barcelona yang lahir dari kaki Pedro Rodriguez. Di menit 18 itu, tiki taka pemain Barcelona sukses membuka ruang David Villa di sisi kanan pertahanan Real Madrid. David Villa lalu menggiring bola, dihalangi oleh Sergio Ramos. Ia membuat gerak tipu sedikit, sebelum memutuskan untuk menembak dengan kaki kiri dari sudut sempit. Bola sedikit menyentuh kaki Ramos, menyentuh tangan kiper Iker Casillas, sebelum jatuh di kaki Pedro yang menceploskan bola ke gawang kosong.

Mari kita memikirkan sejenak apa yang di kepala Villa. Ia berada dalam situasi sulit ketika menggiring bola di kotak penalti Madrid. Ia bukan pemain dengan kaki kiri yang bagus, tapi menendang dengan kaki kanan terlalu sulit. Dan ia tahu, tim dengan pelatih macam Mourinho pasti sudah tahu kelemahan lawan-lawannya. Mourinho punya ahli statistik yang konon selalu mencatat pemain lawan lebih senang pakai kaki kiri atau kanan. Jika Villa bergerak agar dapat menggunakan kaki kanannya, pasti Ramos sudah bisa menebak dan akhirnya mampu mengantisipasi. Namun kualitas keimanan Villa berkata lain, ia meneruskan pergerakan ke sudut yang lebih sempit dan melepaskan tembakan dengan kaki yang bukan favoritnya. Dan saya, yang menyaksikan kejadian itu, punya semacam keyakinan bahwa Villa mencoba keberuntungannya.

Pada situasi itu, pemain Madrid di kotak penalti ada tujuh termasuk kiper. Sedang pemain Barcelona hanya tiga, yaitu Villa, Pedro dan Messi. Villa mempunyai keyakinan luhur bahwa bola itu bundar. Seketika ia menembakkan dengan keimanan penuh, maka ia berdoa dalam waktu sangat sekejap, bahwa bola yang jatuh dan memantul akan menguntungkan timnya. Maka itu ia sepak sekuat tenaga dengan kaki yang diremehkan Ramos, juga Casillas. Semua terkejut, semua panik, dan bola, anehnya, jatuh di kaki Pedro yang mana ia dalam kawalan pemain Madrid lainnya, Marcelo.

Saya jadi ingat film Enemy of the Gates yang diperankan oleh Jude Law sebagai Vasili, seorang sniper Rusia pada PD II melawan Jerman. Ada situasi dimana ia cuma berdua dengan kawannya, tapi ia harus menghabisi lebih dari lima orang Jerman yang tengah bersantai, piket, dan mandi. Dilemanya adalah: senapan sniper tidak sama dengan rifle. Rifle memungkinkan untuk memberondong kelimanya dalam waktu singkat. Sniper hanya mampu menembak sesekali. Dan Vasili harus memilih diantara kelima itu, mana yang mesti ditembak pertama tapi tidak menarik perhatian keempat lainnya. Dengan berhati-hati ia mencoba keberuntungannya, dengan mengarahkan peluru pertama pada orang yang sedang mandi. Kenapa? Karena orang yang sedang mandi jauh di belakang keempat rekannya, dan jika ia mati duluan, maka tak akan ketahuan. Lalu Vasili mengeksekusi: Kepalanya kena, mati, dan pelan-pelan ia menembak satu per satu yang lainnya tanpa membuat kerusuhan. Vasili tahu, bahwa salah tembak, atau meleset di tembakan pertama, akan menyebabkan kelimanya jadi rusuh dan membunuhnya balik. Tapi ia mengambil resiko tidak populer, mencoba keberuntungannya, meneguhkan imannya, dan seketika ia mendapatkan hasilnya.

Dalam situasi sempit itu, Villa tak berpikir apa-apa. Ia hanya tahu dan percaya, bahwa bola itu bundar. Jatuhnya kemana ia tak punya pengetahuan, bisa ke lawan, bisa ke kawan. Tapi pilihan sedikit, dan harus cepat diputuskan. Dalam keterjepitan seringkali manusia harus melakukan lompatan iman. Dan apa yang dilakukan Villa membawanya pada ekstase dahsyat.



Untuk melihat gol Pedro tersebut, klik disini.


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1