Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
Baguslah nak, kau suka sepakbola. Kau rajin begadang hingga terlambat sekolah. Sekarang duduklah disini di teras sambil menanti partai malam ini. Kakek akan cerita tentang tim terbaik sepanjang masa. Kau, nak, tak mungkin tak tahu Barcelona, (secara) itu tim favoritmu. Barcelona hari ini, selalu kalah dari Real Madrid. Mereka kerap berperingkat dua. Akan kakek ceritakan bagaimana Barcelona dahulu, tahun 2000-an kala kakek muda.
Mereka bukan pesepakbola, nak. Mereka adalah sekelompok anak muda yang bermain bola bersama. Kau tahu bedanya? Ya, mereka mencintai permainannya. Hati mereka ada di kaki-kakinya. Kakek ingat bagaimana mereka masa itu berjaya. Madrid mengeluarkan triliunan rupiah namun tetap sulit menumbangkannya. Kakek ingat masa itu ada pemain bernama Cristiano Ronaldo dari Madrid yang belagunya minta ampun. Ia sempat jadi pemain terbaik dunia, namun di hadapan putra-putra Catalonia ia nyaris tak berdaya, kalau kakek boleh sebut tak bernyawa.
Pelatihnya bernama Pep Guardiola yang sekarang berusia delapan puluh lima. Ia memainkan sepakbola bernama tiki taka yang membuat pemirsa tergila-gila. Apakah itu tiki-taka? Sebuah taktik dimana mereka harus mengoper bola ratusan kali dalam satu pertandingan. Lihat sepakbola jaman kamu sekarang, nak. Tim ingin mencetak gol secepatnya. Dari bek atau gelandang operan dilepaskan sekuat mungkin ke barisan penyerang. Tim hari ini lupa bagaimana menikmati bola di kaki. Dahulu para anak Catalan menggilirkannya bergantian bagai anak jalanan berbagi uang recehan.
Sekarang Xavi, Messi, Iniesta, dan Busquets, kau tahu, adalah pelatih-pelatih sukses, kecuali Messi. Dahulunya mereka adalah nabi-nabi Katalunya. Mereka para punggawa tiki-taka. Mereka bermain bersama sejak belia, sehingga kau akan merasakan bahwa dalam pertandingan sepanas apapun mereka bak bercanda belaka. Tertawa-tawa.
Kakek tidak menampik hebatnya Em-Yu hari ini, Liverpool, ataupun Napoli di Italia. Tapi bagi kakek, tim terhebat sepanjang masa adalah Barcelona ketika kakek masih menyaksikan mereka di TV One (sekarang sudah bangkrut) dengan mata kepala sendiri. Kakek tertawa bersama mereka, dan juga menangis bersamanya. Mereka bagai kawan-kawan kakek, yang tak henti-hentinya mengajarkan bahwa yang terpenting dari hidup ini adalah menyadari bahwa segalanya adalah permainan. Maka pilihan kita cuma dua, nak: mau bermain serius, atau bermain dengan gelak tawa.
Kembali ke televisi, nak, El Clasico akan segera dimulai. Kakek mau tidur dulu. Mengenang Barcelona masa lalu.
(Terinspirasi Uwa yang selalu bercerita tentang Ruud Gullit ketika saya kecil. Ruud Gullit yang jika melompat untuk menyundul, bagai busur panah yang merentang. Demikian beliau bermetafor.)
Mereka bukan pesepakbola, nak. Mereka adalah sekelompok anak muda yang bermain bola bersama. Kau tahu bedanya? Ya, mereka mencintai permainannya. Hati mereka ada di kaki-kakinya. Kakek ingat bagaimana mereka masa itu berjaya. Madrid mengeluarkan triliunan rupiah namun tetap sulit menumbangkannya. Kakek ingat masa itu ada pemain bernama Cristiano Ronaldo dari Madrid yang belagunya minta ampun. Ia sempat jadi pemain terbaik dunia, namun di hadapan putra-putra Catalonia ia nyaris tak berdaya, kalau kakek boleh sebut tak bernyawa.
Pelatihnya bernama Pep Guardiola yang sekarang berusia delapan puluh lima. Ia memainkan sepakbola bernama tiki taka yang membuat pemirsa tergila-gila. Apakah itu tiki-taka? Sebuah taktik dimana mereka harus mengoper bola ratusan kali dalam satu pertandingan. Lihat sepakbola jaman kamu sekarang, nak. Tim ingin mencetak gol secepatnya. Dari bek atau gelandang operan dilepaskan sekuat mungkin ke barisan penyerang. Tim hari ini lupa bagaimana menikmati bola di kaki. Dahulu para anak Catalan menggilirkannya bergantian bagai anak jalanan berbagi uang recehan.
Sekarang Xavi, Messi, Iniesta, dan Busquets, kau tahu, adalah pelatih-pelatih sukses, kecuali Messi. Dahulunya mereka adalah nabi-nabi Katalunya. Mereka para punggawa tiki-taka. Mereka bermain bersama sejak belia, sehingga kau akan merasakan bahwa dalam pertandingan sepanas apapun mereka bak bercanda belaka. Tertawa-tawa.
Kakek tidak menampik hebatnya Em-Yu hari ini, Liverpool, ataupun Napoli di Italia. Tapi bagi kakek, tim terhebat sepanjang masa adalah Barcelona ketika kakek masih menyaksikan mereka di TV One (sekarang sudah bangkrut) dengan mata kepala sendiri. Kakek tertawa bersama mereka, dan juga menangis bersamanya. Mereka bagai kawan-kawan kakek, yang tak henti-hentinya mengajarkan bahwa yang terpenting dari hidup ini adalah menyadari bahwa segalanya adalah permainan. Maka pilihan kita cuma dua, nak: mau bermain serius, atau bermain dengan gelak tawa.
Kembali ke televisi, nak, El Clasico akan segera dimulai. Kakek mau tidur dulu. Mengenang Barcelona masa lalu.
(Terinspirasi Uwa yang selalu bercerita tentang Ruud Gullit ketika saya kecil. Ruud Gullit yang jika melompat untuk menyundul, bagai busur panah yang merentang. Demikian beliau bermetafor.)
Comments
Post a Comment