Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Invasi Keroncong lewat Garasi Rumah




Malam minggu itu, garasi rumah di jalan Rebana nomor sepuluh atau biasa disebut dengan Garasi 10 dibuka lebar-lebar. Publik boleh datang sesuka hati, menikmati sajian yang akan digelar. Gelaran di Garasi 10 tersebut adalah bagian dari acara rutin yang bertajuk Munggah. Sesuai namanya, memang acara itu ditujukan untuk menyambut Ramadhan. Latar "panggung" dibuat unik, dengan juntaian kertas di langit-langit dan manusia telanjang tergantung, terbuat dari kertas juga. Di kiri kanan ada pajangan gambar yang dipigura. Di belakang "panggung" dipajang rak buku. Di dalam garasi itu, bukan mobil yang hendak dipanggungkan, melainkan orkes keroncong, namanya Jempol Jenthik.

Orkes Keroncong Jempol Jenthik (Inggris disingkat menjadi: JJOK) berformasikan tujuh pemain instrumen dan tiga vokal. Instrumen itu terdiri dari kontrabas, cello, cak, cuk, flute, biola, dan gitar. Yang menarik, seluruh personil mengenakan kaos yang sama, berwarna hitam bertuliskan: "Play Keroncong Music, Save Indonesian Heritage". Sebelum JJOK ini tampil, ada pembukaan singkat, dua lagu dari ensembel gitar KlabKlassik. Sekedar menyiapkan ambience bahwa garasi ini sudah ditahbiskan menjadi ruang konser, bukan lagi tempat menyimpan kendaraan seperti lazimnya.

JJOK akhirnya "naik panggung". Pak Adi B. Wiratmo selaku pimpinan orkes menyapa audiens dengan hangat dan berulangkali menyampaikan bahwa, "Orkes ini bukan profesional, jadi maaf kalau salah-salah." Penampilan dibuka dengan lagu Manuk Dadali instrumental dengan melodi utama dari flute dan iringan khas keroncong. Apa yang ditakutkan Pak Adi tentang kesalahan yang mungkin dibuat, tidak terjadi bagi telinga penonton yang memadati Garasi 10. Alasannya, atmosfir yang dibangun kadung masuk ke hati. Seperti pasangan yang dimabuk cinta, hari itu sang wanita lupa bergincu pun tak masalah bagi prianya.

Berturut-turut JJOK memainkan belasan lagu hingga pukul setengah sepuluh malam. Hampir dua jam setengah mereka manggung. Lagu-lagu dari mulai Selendang Sutra, Sakura, Can't Take My Eyes of You, Tuhan, Ave Maria, hingga Dewi Murni dibawakan, sekaligus menunjukkan keragaman repertoar yang mungkin dibawakan oleh sebuah orkes keroncong. Kata Pak Adi, "Selama ada cak, cuk, dan cello, nuansa keroncong pasti akan mampu dibangun." Di tengah-tengah penampilan apik JJOK itu, Pak Andar Bagus Sriharno, seorang dosen dari ITB tampil menyumbang suaranya. Diam-diam, tanpa diduga, suaranya merdu dan kuat. Setiap selesai lagu per lagu, Pak Adi juga mempersilakan hadirin untuk bertanya apapun, menciptakan interaksi yang hangat.

Pak Andar Bagus Sriharno

Di sela-sela itu pula, Pak Adi tak henti-hentinya mempromosikan Musik Keroncong sebagai produk dari local genius Indonesia, "Saya heran jika ada yang mengatakan Musik Keroncong ini asalnya dari Portugis, karena di sana tidak ada musik seperti ini. Meskipun alat-alatnya dari Barat, pastilah Musik Keroncong ini kelahirannya tak lepas dari kejeniusan orang-orang Indonesia." Atas dasar itu, Pak Adi beserta kawan-kawannya di komunitas Keroncong Cyber tengah aktif mengampanyekan keroncong sebagai musik milik Indonesia. Salah satu langkah konkritnya adalah dengan melestarikannya terus menerus. Memainkannya di manapun dan menyisipkan nilai-nilai edukasi di dalamnya. Seperti lewat penerbitan buletin Tjroeng secara berkala yang disebar secara gratis. Isinya adalah info seputar kegiatan keroncong baik di tanah air maupun mancanegara.

Jika melihat banyak fenomena kebudayaan maupun sosio kultural di Indonesia ini, memang sangat masuk akal bahwa Musik Keroncong adalah hasil kreativitas orang Indonesia. Di kelas filsafat dulu pernah dibahas, bahwa orang Indonesia pastilah mesti kreatif, karena dituntut untuk beradaptasi dari godaan warga asing yang kerap menyambangi nusantara lewat jalur perdagangan. Wayang misalnya, produk kebudayaan India ini menubuh dalam diri masyarakat nusantara dulu. Tapi masyarakat lokal tak kemudian terlena dan membiarkan wayang merajalela. Dengan kreatif, mereka mencipta tokoh Punakawan, empat figur yang humoris, cuek, buruk rupa, namun krusial bagi kehidupan para ksatria. Empat tokoh punakawan ini adalah khas Indonesia, tidak disinggung sedikitpun dalam epos Mahabharata ataupun Ramayana.

Melihat contoh fenomena wayang tersebut, bisa jadi Musik Keroncong adalah penyikapan kreatif atas invasi bangsa Portugis dan Belanda lewat musik. Dengan "nakal", orang Indonesia mengadopsi instrumen yang digunakan mereka secara utuh penuh, namun irama dan teknik memainkannya dirombak total. Terbukti dari senar kontrabas dan cello yang cuma tiga dari lazimnya empat, serta cara memainkan cello yang lebih banyak "dikocok" ketimbang digesek.

Lagu Keroncong Kemayoran menjadi penutup manis malam hari itu, sekaligus menandai perubahan suasana yang siap disongsong: Dari Sya'ban ke Ramadhan, dari sikap hidup individual menjadi komunal, dari internasional menjadi lokal, dari lokal menjadi internasional. Ya, dari garasi rumah ini, yang lingkupnya RT dan RW, Musik Keroncong tengah mempersenjatai diri untuk berbalik menginvasi Barat. Menguasai dunia, menjadikan Indonesia bermartabat.





Comments

  1. Terimakasih mas Syarif liputannya, dan terimakasih atas apresiasi dan kesempatan keroncong untuk tampil di garasi 10.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1