Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Berdoa di Facebook

Bagi pengguna jaringan sosial, tentu saja bukan hal yang sulit menemukan kawan-kawan yang kerap berdoa di statusnya sendiri. Misalnya, "Bismillah, semoga hari ini lancar. Amin!" atau "Alhamdulillah ya Allah, urusan hari ini selesai juga." Segala doa yang kiranya positif, jelas menyenangkan dan menyejukkan kala dibaca. Walhasil, status-status seperti ini biasanya menjadi sasaran empuk jempol dan komentar.

Berdoa, jika kita sama-sama telusuri dengan mengira-ngira, barangkali sebuah kegiatan yang lebih purba dari agama. Jika bicara agama, maka tidak bisa lepas dari sistem. Agama adalah sistem kepercayaan. Di dalamnya terkandung jalinan rapi antara kitab suci, pengikut, ritual, orang suci, dan Tuhan itu sendiri. Maka tentu, agama barangkali tidak turun satu paket sekaligus. Kristen misalnya, pernyataan tentang apakah Yesus sendiri adalah seorang Kristiani atau bukan selalu mengemuka. Ini disebabkan oleh tiadanya pernyataan dari dirinya bahwa ia adalah seorang Kristen. Ia sendiri tidak menyebutkan bahwa ia sedang menyebarkan agama Kristen. Meski demikian, ajarannya kemudian dituliskan oleh keempat penginjil dan jadilah sebuah kitab suci bernama Perjanjian Baru. Belum selesai. Di masa patristik, atau sekitar abad ke 4 dan ke-5 Masehi, diadakan berbagai konsili untuk mengukuhkan ajaran Yesus sebagai agama yang disebut Kristen. Dirumuskanlah berbagai ritual, tata cara, hukum, hingga cara-cara masuk Kristen itu sendiri.

Kembali ke berdoa. Jika agama sedemikian rumitnya, maka berdoa pastilah ada sebelum agama ada. Ketika manusia-manusia pada awalnya lahir tanpa tedeng aling-aling ke dunia, dihadapkan pada persoalan-persoalan alam yang betul-betul penuh bahaya, maka doa menjadi krusial. Doa, dari fungsinya yang paling awal sekalipun, adalah sebentuk ungkapan akan ketidakmampuan dalam menghadapi sesuatu yang tak terprediksi. Sebentuk kepasrahan akan ketidakmungkinan untuk mengenali cara kerja kehidupan yang seringkali misterius. Doa juga bisa diartikan meminta, meminta sesuatu yang tidak sanggup kita dapatkan dengan cara-cara biasa. Berdoa, maka itu, tidak ada hubungannya dengan agama. Para atheis dan agnostik bisa saja berdoa, karena yang demikian adalah hakikat dari batas pengetahuan manusia. Namun agama dengan otoriter mengarahkan sifat alamiah ini pada personifikasi: kamu berdoa pada siapa?

Agama kemudian mengajarkan tatacara berdoa yang "benar". Yang pada tempatnya, yang pada sasarannya. Yang jika dianalogikan kira-kira begini: Untuk meminta emas, mintalah pada yang punya emas, jangan pada yang punya perak. Itulah mengapa pada tradisi politeisme, para dewa dibagi tugasnya. Ada yang mengurusi ini dan mengurusi itu, sehingga untuk berdoa mesti tepat benar pada siapa kita bicara. Monoteisme adalah Tuhan yang sibuk. Ia satu tapi mengurusi semua. Untuk itu kita bisa minta semua pada Tuhan bangsa Semit ini. Sayangnya, Tuhan Semit juga adalah Tuhan yang cemburu. Tuhan agama Kristen tidak mau umatnya meminta pada Tuhan agama Islam. Jika itu terjadi, maka Tuhan akan berkata, "Silakan pergi sana."

Jika agama bertugas mengarahkan doa kita pada sasaran yang "benar", maka bagaimana seharusnya agama memandang orang-orang yang berdoa di Facebook? Apakah itu dilakukan dalam koridor sasaran yang benar? Atau menyalahi hakikat berdoa itu sendiri sebagai ungkapan kepasrahan, ketidakmampuan, dan meminta yang seharusnya adalah pribadi? Bagaimanapun juga, ketika berdoa via Facebook, maka doa itu sendiri jadi tidak pribadi lagi karena diketahui orang banyak. Bagaimana dengan solat minta hujan, atau pelbagai doa yang sering kita lihat dilakukan secara massal?

Maka itulah saya agak berhati-hati dalam menyimpulkan makna dari fenomena berdoa di Facebook, karena ini bukan doa tipe personal (biasa disebut munajat), dan bukan juga doa tipe massal (jika ia massal, maka tentunya doa itu juga semestinya terkait dengan kepentingan massal). Berdoa lewat jaringan sosial adalah doa pribadi yang di-massal-kan. Namun jika terpaksa beropini, saya melihat ada sesuatu yang positif dari fenomena ini. Doa yang tadinya murni bersifat vertikal, tiba-tiba menjadi punya akses horizontal. Dengan berdoa di Facebook, otomatis perhatian akan diperoleh, dan siapa yang melihat menjadi tahu kesulitan apa yang tengah kita alami. Tidakkah menyenangkan jika tiba-tiba ada yang bisa membantu kita secara nyata baik dengan ungkapan perhatian, dukungan, atau bantuan material?

Namun ada satu kritik yang saya barangkali bisa sematkan pada fenomena berdoa di Facebook. Jika berdoa adalah ungkapan "meminta", maka tuliskan itu di Facebook, dan apa yang diinginkan secara riil lebih mungkin diperoleh dari sesama manusia. Tapi jika berdoa sebagai ungkapan kerendahan hati, sebuah perasaan kecil di hadapan semesta, maka menuliskannya di Facebook menjadi agak kontradiktif. Karena salah satu sakralitas dalam berdoa adalah bercakap-cakap dengan Tuhan secara personal, secara pribadi "Kau dan Aku" jika dalam bahasa Rumi. Seperti surat menyurat pribadi yang romantis antara dua insan. Seperti bisik-bisik senyap dalam kesunyian malam. Tidakkah Facebook terlalu gaduh untuk orang yang mau berpacaran dengan Tuhan?

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1