Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Surat Cinta dari Korea (5)

Sayangku, jika asap pertanda adanya api, lalu semut pertanda adanya gula, lalu pertemuan berarti pertanda apa? pertemuan adalah pertanda akan adanya perpisahan. Demikian juga apa yang sudah kami semua lakukan di sini, bersama-sama, dengan para delegasi AIAE. Kami bersama-sama meskipun tak lama, tapi ternyata perpisahan tetap menyedihkan jua.


Sebelum masuk pada fase romantis itu, aku akan menceritakan kisah kami di pagi hingga sore hari. Karena free time, kami berencana untuk berjalan-jalan berbelanja. Kami menaiki subway, sebuah moda transportasi yang pastinya tidak dipunyai di Indonesia (katanya Jakarta mau membuatnya, kita tunggu ya realisasinya). Menaiki ini susahnya minta ampun, karena kami tidak berbicara dengan manusia, tapi mesin. Untuk memulainya, kami harus mengisi voucher kartu. Ada beberapa pilihan, ada yang satu kali jalan, ada yang seharian, ada paket manula, dan sebagainya. Hebatnya, petugas langsung datang dan cekatan membantu kami.





Aku belum pernah ke Singapura, tapi sepertinya jika dibandingkan dengan di sana, sign system di sini agak sulit dipahami. Banyak tulisan yang masih dalam bahasa Korea dan tidak dilatinkan. Tentu saja yang demikian itu hak mereka, tapi bagiku ini agak kontradiksi dengan visi mereka untuk menjadi kota wisata akbar 2012 dengan slogan, "Hi, Seoul". Walhasil, kami memutuskan jika nanti pulang kembali ke hotel, kami kapok naik subway dan ingin taksi saja.

Di jalanan, tempat perbelanjaan di Insadong itu, aku sedih. Sedih karena barang-barang yang dijual di museum dengan harga selangit itu ternyata semua ada di tempat tersebut dengan harga separo! Akhirnya aku menemukan juga barang-barang yang barangkali sangat dinanti-nanti penggemar film Korea dan juga band-band Korea. Di tempat ini, meskipun barangkali didesain dengan tidak terlalu bagus, tapi alangkah menyenangkan bisa menghadiahi orang terkasih di tanah air sebatas poster, card holder, memo, atau kalender dari artis idola, langsung dari negara asalnya. Karena ingin cepat, makan siang kami habiskan di McDonald saja. Aku makan burger bulgogi karena namanya paling aneh, walaupun sama dengan beef burger. Satu hal yang menarik, ketika kami kebingungan, kami didatangi dua orang yang sangat antusias. Mereka ternyata bagian dari kampanye Hi Seoul. Mereka menawari informasi gratis bagi para turis. Sangat ramah, bergairah, dan informatif, patut dicontoh!





Setelah kaki pegal akibat jalan, kami, sesuai rencana semula, pulang naik taksi. Sayangnya, kota Seoul yang bersih rapi jali ternyata tak bisa terhindarkan dari macet seperti halnya Jakarta. Padat dan jarang merayap terjadi juga. Walhasil, argo taksi kami membubung sudah. Sekitar 20.000 won lebih atau 160.000 rupiah-an! Dengan lunglai akibat lelah dan dompet tipis, kami merebah di hotel sebelum menjalani acara berikutnya: penutupan sekaligus perpisahan delegasi AIAE.

Penutupan ini, katanya, aku harus tampil mewakili delegasi Indonesia. Setiap delegasi memang harus menyumbangkan semacam performa di penutup acara. Ternyata, yang ditampilkan amat beragam, mulai dari yang menarik sampai yang tidak kreatif sama sekali. Jepang misalnya, mereka cuma beramai-ramai menyanyikan lagu Sukiyaki tanpa musik. Singapur, mereka bagus, menampilkan pantomim yang bertemakan satir. Sedang Indonesia? Aku dikorbankan sendirian. Maju ke depan, membawakan tiga lagu dengan solo gitar. I Have a Lover dari Lee Eun Mi, Here There and Everywhere dari The Beatles dan Ambilkan Bulan dari A.T. Mahmud berhasil dibawakan dengan plus minusnya.


Jika memang pertemuan kita yang penuh kenangan ini punya konsekuensi perpisahan, biarkan. Biarkan, selama yang memisahkan cuma kematian. Dan sesungguhnya kematian cuma pemisah antara badan dan badan. Cinta akan selalu menghidupkan kembali jiwa seseorang.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1