Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Siddhartha (1922) Membangunkanku Lagi

 

Siddhartha, sebuah novel dari Herman Hesse, saya baca untuk kedua kalinya setelah sekitar empat tahun berlalu. Saya berterimakasih pada seorang sahabat, Indra Permadi yang mengenalkan saya pada novel ini pada sekitar tahun 2008. Saya sendiri pernah membuat review-nya di blog yang lama yang tidak pernah di-update lagi.

Novel ini, dibaca kemarin dengan dibaca empat tahun lalu, masih punya daya magis bagi saya. Masih memiliki daya getar yang hebat sehingga mampu membangunkan saya dari tidur dogmatis (persoalannya, apakah ketika saya bangun dari tidur, itu justru saya berada di mimpi berikutnya seperti film Inception?). Siddhartha adalah kisah tentang Siddhartha, pemuda yang melakukan perjalanan spiritual. Novel ini bercerita tentang pergulatan batinnya yang terbagi dalam beberapa tahap yang mengagumkan (jangan terlalu kecewa jika saya paparkan jalan ceritanya disini, karena gaya tutur Hesse masih tetap mengasyikan untuk dibaca):

  • Siddhartha sebagai seorang remaja yang cerdas, anak dari brahmin terhormat, yang taat beribadah dan melakukan persembahan. Ia hapal banyak ayat-ayat dari kitab sucinya dan melakukan samadi sering sekali.
  • Siddhartha pergi dari kehidupan mapannya, meninggalkan keluarga dan berangkat bersama para samana. Samana bisa disebut sebagai pertapa yang mengonsentrasikan hidupnya untuk asketisme, penjauhan diri dari hal-hal duniawi, dan melepaskan diri dari lingkaran samsara. Mereka hidup di hutan, hanya berpuasa dan samadi.
  • Siddhartha meninggalkan samana karena tidak jua menemukan kebahagiaan. Ternyata para samana ini juga mengolok-olok secara ekstrim kehidupan duniawi. Siddhartha datang pada Sang Buddha bernama Gotama. Namun segera Siddhartha menolak ajaran Gotama dengan sebuah kalimat mengagumkan, "Tidak ada seorangpun yang dapat tercerahkan lewat sebuah ajaran." Siddhartha pergi ke kota, meninggalkan kehidupan asketik dan menolak semua ajaran.
  • Di kota ia bertemu dengan Kamala, seorang pelacur terkenal yang mengajarkannya arti keduniawian. Siddhartha merubah pandangannya dari yang tadinya melihat intisari dari apa yang tampak, menjadi menghargai apa yang tampak itu sendiri. Siddhartha hidup bergelimang harta, menyukai minuman, perjudian, dan menjadi kekasih Kamala.
  • Keduniawian tidak juga membuatnya bahagia. Ia menganggapnya sebagai keterjebakan dengan samsara. Siddhartha lari ke hutan dan ia menemukan seorang juru sampan bernama Vasudeva yang pernah menyeberangkannya dulu. Vasudeva adalah seorang yang belajar segala sesuatu dari sungai. Katanya, sungai berbicara banyak. Vasudeva juga seorang pendengar yang baik, dari ia Siddhartha berguru kembali.
  • Ternyata, hubungannya dengan Kamala dulu menghasilkan anak yang ia tidak ketahui. Meninggalnya Kamala membuat Siddhartha harus mengurus Siddhartha muda yang sombong dan keras kepala. Ia belajar sesuatu lagi, bahwa ada penderitaan yang ia peroleh dari mengurus anak ini, namun ada kebahagiaan tak terperi yang meliputinya.
  • Siddhartha muda kabur ke kota, Siddhartha tua menjadi juru sampan sendirian setelah Vasudeva juga meninggal dunia. Pada kawannya semasa kecil, Govinda, Siddhartha berbagi bahwa, "Kata-kata tidak bisa menjelaskan kebijaksanaan. Kebijaksanaan jika dibagi akan terdengar bodoh." Ia juga menambahkan kalimat yang mengagumkan, "Lawan dari kebenaran, adalah sama benarnya, itu hanya persoalan kata-kata."

Boleh saja kita menganggap Siddhartha mengalami "kemunduran". Seperti ia kembali ke asal mula, seperti ia kembali ke masa dimana ia belum mengembara. Namun ini persis mengingatkan saya pada salah satu koan dalam Buddhisme Zen:


Sebelum pencerahan, gunung adalah gunung, laut adalah laut.

Semasa pencerahan, gunung bukanlah gunung, laut bukanlah laut.

Setelah pencerahan, gunung adalah gunung, laut adalah laut.

Mengingat kembalinya segala sesuatu, saya agak bergidik juga. Fase terakhir kehidupan Siddhartha menunjukkan bahwa muara dari segala perjalanan spiritualnya adalah justru seperti semboyan Pidi Baiq: "Tidak apa-apa." Bahwa penjahat berbuat jahat, dengan polisi menahannya, adalah sama dengan batu yang kelak jadi tanah, yang kelak akan menghidupi tumbuh-tumbuhan. Semuanya memang sudah begitu: Tidak apa-apa. Bahwa hidup ini sudah satu kesatuan yang utuh. Spinoza menyebutnya dengan sub specie aeternitatis: melihat segalanya dari kacamata keabadian.

Sudah, sudah, semakin saya berkata, semakin terasa kebodohannya. Pintaku cuma satu pada Tuhan, bisakah lepaskan kami semua dari kata-kata?









Om


Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1