Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Absurditas


Belakangan saya mulai paham pemikiran para eksistensialis yang dulu sempat saya tertawakan. Mereka sering merenungkan tentang ketidakbermaknaan hidup, tentang mengapa saya ada, dari mana, dan mau kemana. Apakah betul-betul senestapa itu kehidupan?

Kehidupan, agaknya, menjadi penuh tanda tanya karena kematian. Kematian adalah satu-satunya yang absolut karena semua manusia mengalaminya. Namun tidak ada seorangpun yang bisa membuktikan apa yang terjadi pasca kematian. Semua punya cerita versinya sendiri. Orang-orang Etruscan menciptakan versi kematian dengan monster hijau yang siap menanti siapapun yang pengecut melawan Romawi. Buddha percaya reinkarnasi, bahwa yang mati kelak akan hidup kembali jadi sesuatu, tergantung baik-buruk yang pernah kita perbuat. Ketika kematian bisa diberi nilai oleh siapapun, artinya kematian itu sendiri tidak punya nilai sama sekali!

Maka logika yang sama bisa dikenakan pada kehidupan. Kehidupan, alangkah setiap hari kita menemukan banyak penilaian terhadapnya. Suatu hari istri saya berkata, "Alhamdulillah yah cuaca panas jadi jemuran cepat kering." Namun saya menimpali, "Coba bayangkan di waktu yang sama kamu berangkat kerja, bukankah cuaca seperti ini bisa dikeluhkan?" Nilai-nilai kehidupan itu sendiri diberi oleh kita semua, para manusia yang tingkat pemahamannya sendiri berbeda-beda. Yang dinamakan "kebenaran" itu sendiri patut kita ragukan karena di belakangnya kerapkali ada unsur-unsur pemaksaan dari kekuasaan. Novel Siddharta karya Herman Hesse bahkan menyatakan bahwa "Lawan dari kebenaran, adalah sama benarnya." 

Pada titik ini saya mulai bisa menghayati eksistensialisme secara praksis. Bahwa hidup ini tidak mungkin punya nilai, karena masing-masing dari kita bisa memberi nilai apapun kepadanya. Bahkan kematian pun bisa kita bayang-bayangkan dengan tujuan yang sama juga: Menjadikan kehidupan bernilai. Tuhan, malaikat, surga, dan kebaikan di alam sana, adalah untuk sekali lagi: Agar kita layak menjalani kehidupan yang absurd ini. 

Hiduplah dengan bahaya. Jalani hidup karena hidup itu absurd. Manusia adalah gairah tanpa makna. Jika tidak ada Tuhan, semua boleh. 

Semua yang saya sebutkan adalah jargon eksistensialisme yang berkembang di Eropa pasca Perang Dunia I. Apa yang mereka kritik adalah optimisme bahwa kehidupan ini sudah punya makna, sudah punya esensi dalam dirinya sendiri. Kenyataannya tidak, saudara-saudara, kitalah yang memaknainya. Maka itu, dalam keterbatasan manusia, pemaknaan itu akan selalu berbeda-beda, tidak stabil, dan relatif. Inilah titik mawas diri para eksistensialis. Ada suatu paradoks bahwa di satu sisi, mereka menyadari otonomi manusia adalah titik mula segala-galanya. Namun di sisi lain, absurditas justru berasal dari kenyataan bahwa manusia adalah "pengada yang terbatas".  

Jalan keluarnya, bagi saya sementara, adalah seni. Seni rupanya mengajarkan untuk merasakan hidup ini tanpa pamrih. Seni yang, kata Schopenhauer, adalah cara untuk menyadari bahwa eksistensi manusia adalah menyedihkan. Rasakanlah sebagaimana ia beresonansi kepadamu. Hidup ini memang tidak punya nilai, tapi ia punya getaran.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1