Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Autocorrects


Sejak tiga bulan belakangan saya mengikuti akun twitter seorang komedian ber-username autocorrects. Pengikut ia pun tidak sedikit, mencapai lebih dari dua juta orang. Dalam sehari, autocorrects bisa berkicau lebih dari dua puluh kali dan rata-rata ratusan orang melakukan re-tweet pertanda setuju atau suka. Saya sendiri termasuk orang yang menyukainya. Ini beberapa contoh tweet-nya:

  • Starting a blog, making a few posts, then ending up forgetting about it.
  • I speak a language that is universally known. It’s called Fuck You.
  • I Love finding money in my clothes. It’s like gift to me.. from me.
  • I always find myself thinking about what some random celebrity is doing at this moment.
  • Lazy rule: can’t reach it, don’t need it.

Kicauannya nampak tidak istimewa, atau setidaknya: tidak filosofis atau tidak saintifik sekalipun. Tapi itu bukan sama dengan kita tidak menemukan kebenaran di dalamnya. Pada umumnya, twitter sendiri memang berisikan soal “ucapan-ucapan subjektif” yang seringkali tidak mempunyai arti bagi orang yang tidak berkepentingan. Walhasil, kemudian muncul istilah “nyampah di timeline”, sebagai bentuk kritik terhadap orang yang kerapkali menghadirkan sesuatu yang “terlalu berkaitan dengan dirinya”, yang rasanya tidak terlalu penting untuk diungkap ke ruang publik. Namun entah kenapa, ada orang-orang seperti autocorrects ini, yang subjektifnya adalah objektif. Bahwa ia bisa menghayati pengalamannya yang sederhana, yang membuat ketika itu dikicaukan, eh ternyata didapati bahwa banyak orang setuju dengannya.

Mari berfilosofi sejenak, membicarakan evolusi terbentuknya agama menurut Whitehead. Pada awalnya, agama itu adalah agama suku. Yaitu agama yang dihayati dalam kawanan. Lalu di dalam kawanan orang yang menganut agama suku, biasanya kemudian ada satu orang yang memberontak, yang menghayati spiritualitas dalam keindividuannya. Inilah yang terjadi dalam misalnya, Muhammad atau Yesus yang begitu berbeda dengan society, dengan agama suku. Dalam penghayatan individu itu, ia menemukan bahwa ada yang sama dalam dirinya dengan semua manusia. Atas dasar itu ia “mendirikan” agama universal.

Saya tidak mau berlebihan mempersamakan autocorrects dan Muhammad ataupun Isa, karena jelas konten yang mereka “kicaukan” berbeda. Namun yang mau digali adalah, ketiga orang tersebut sama-sama melakukan universalisasi atas pengalaman pribadi. Bahwa apa yang aku alami, pasti juga dialami oleh orang lain juga. Lintas negara, lintas bangsa. Ini adalah suatu hal yang tidak sederhana karena menurut Louis Leahy, manusia itu adalah “makhluk tertutup”. Apa yang ia ketahui pasti semata-mata adalah dirinya sendiri. Tentang orang lain adalah dugaan-dugaan saja, dan mungkin diangkat dari refleksi terhadap diri sendiri, “Kenapa kita tahu orang lain sakit kalau dipukul? Karena semata-mata kita juga sakit kalau dipukul.”

Tentunya ada yang berbeda dari cara autocorrects nge-tweet dengan orang-orang lain yang cuma sekedar “gw bête banget nih, kemana ya?”. Ada yang berbeda, dan itu terasa. Ada suatu renungan ke dalam diri sebelum mengicaukannya untuk publik. Dan ketika berkaca ke diri, ia menemukan perasaan orang banyak yang kira-kira ikut serta. Hal tersebut menjawab bagaimana orang-orang besar yang pemikirannya mendunia, belum tentu sering berkeliling dunia. Immanuel Kant contohnya, ia hanya tinggal di satu kota sepanjang hidupnya, tapi filsafatnya menjadi bangunan pemikiran Barat yang masih diikuti hingga hari ini.

Autocorrects, sekali lagi, kedalaman pemikirannya tidak bisa disandingkan dengan contoh-contoh para filsuf yang sedemikian bertahan dalam sejarah. Ia cuma berkisar soal seks dan kehidupan remaja pada umumnya. Namun membaca tweetnya saya kerapkali tertawa geli. Bukan geli oleh sebab hal tersebut seolah terjadi pada dirinya. Tapi geli oleh sebab hal yang ia alami adalah yang ada pada diri saya pun. Seperti kata Upanishad, bahwa aku dan kamu adalah satu.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1