Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

30hari30film: 8 1/2 (1963)

26 Ramadhan 1433



8 1/2 adalah film yang digarap oleh sutradara legendaris asal Italia, Federico Fellini. 8 1/2 juga menunjukkan suatu perubahan gaya penyutradaraan Fellini dari yang tadinya penganut neo-realis menjadi agak surealistik. 8 1/2 tidak lain adalah semacam renungan tentang karir sutradara Fellini sendiri. Angka 8 1/2 adalah jumlah total film yang sudah ia garap (cara penghitungannya seperti ini: enam film berdurasi panjang, dan tiga film berdurasi pendek. Yang berdurasi pendek ia hitung sebagai setengah). Film 8 1/2 juga menginspirasi banyak film yang mengambil gaya tutur surealistik dan mencoba memvisualisasikan alam bawah sadar seperti film-film Hollywood yang cukup baru semisal Synecdoche (2008) dan Nine (2009). Khusus film Nine, bahkan ia menjadi semacam remake film 8 1/2 dengan gaya yang lebih musikal dan spektakuler.

8 1/2 berpusat pada sutradara kenamaan bernama Guido Anselmi (Marcello Maestroianni) yang tengah disorot karena sedang dalam proses pembuatan film yang cukup heboh bertemakan science-fiction. Namun Guido tidak bahagia. Ia sesungguhnya tidak mempunyai cukup inspirasi untuk menggarap film ini. Akhirnya, dalam rangka mencari inspirasi, Guido menggali masa kecilnya. Tidak hanya itu, ia juga berkonsultasi dengan pendeta. Yang paling menarik tapi juga sekaligus menjadi problem bagi inspirasinya, adalah kenyataan bahwa Guido mencari ide dari wanita-wanita cantik. Wanita-wanita cantik memberi dilema karena kadang Guido tak sanggup memisahkan antara hasrat dan profesionalisme - Selain dari dilema karena Guido punya istri setia bernama Luisa (Anouk Aimée). Waktu menuju shooting hari pertama semakin dekat, namun Guido semakin tidak punya arah mau dibawa kemana film ini.

Cerita yang sederhana? Mungkin iya. Namun yang digali Fellini bukanlah kompleksitas skenario, melainkan bagaimana ia hendak mengangkat keresahan sang sutradara dalam bentuk visual. Maka itu, film 8 1/2, jika tidak memandangnya dalam kacamata sureal, akan sangat aneh dan barangkali sulit dipahami. Jika film semacam ini diciptakan dalam gambar berwarna, tentu saja tidak terlalu sulit untuk membuat distingsi antara mimpi dan realita. Namun Fellini -yang membuat kita mesti sepakat bahwa dia adalah seorang sutradara jempolan- memberi kesan surealistik itu dalam teknologi gambar yang masih hitam putih. Membuat ia mesti sangat piawai memainkan komposisi mulai dari musik (yang digarap dengan sangat apik oleh Nino Rota) hingga teknik montage yang menawan -simak bagaimana Guido melemparkan ingatannya pada masa kecil ketika ia bermain bersama teman-temannya, menyaksikan tarian dari pelacur bernama Saraghina-. Film ini brilian, berteknik tinggi, dan penting.

Rekomendasi: Bintang Lima

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1