Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
18 Ramadhan 1433 H
Moulin Rouge! adalah film garapan Baz Luhrmann yang
mengambil latar tahun 1899 dimana Prancis tengah mengalami suatu era yang
bernama La Belle Epoque. La Belle Epoque, atau sering disebut
juga Age of Beauty, adalah periode
ketika Prancis berada pada kejayaan khususnya di bidang seni. Di musik, mereka
melahirkan Claude Debussy dan Eric Satie. Di seni rupa, ada Henry Matisse,
Edgar Degas, dan Henry de Toulouse-Lautrec. Selain menjadi kiblat seni, kota Paris pun menjadi perhatian di
bidang hiburan malam. Orang-orang kaya
berbondong-bondong menyaksikan suatu pertunjukkan kabaret yang bernama Moulin Rouge.
Film Moulin
Rouge! berpusat pada seorang penulis bernama
Christian (Ewan McGregor). Dalam keheningan kota
Paris,
ia menengok kembali ke masa lalunya, ketika berjumpa wanita penghibur bernama Satine (Nicole Kidman). Perjumpaan itu terjadi
ketika Christian menyambangi Moulin Rouge yang merupakan pertunjukkan kabaret yang
mahsyur di masa itu. Namun
cinta Christian bukanlah tanpa hambatan. Sebagai wanita penghibur, Satine sudah
“dibeli” oleh seorang bangsawan yang dijuluki “The Duke of Monroth”. Disinilah dilema terjadi –dilema percintaan
yang sepertinya sudah umum-, ketika Christian yang berasal dari kalangan
biasa-biasa, mesti memperebutkan cinta Satine dengan seorang yang kaya dan
berkuasa.
Film Moulin
Rouge! tentu saja bukan hendak mengangkat jalan ceritanya yang sederhana.
Film tersebut adalah drama musikal yang cukup spektakuler dan kontemporer.
Kontemporer karena musik yang disajikan tidak hendak mengambil orisinalitas era
La Belle Epoque. Penata musik Craig
Armstrong dan Marius de Vries mengolasekan musik secara bebas mulai dari Smells Like a Teen Spirit-nya Nirvana, Roxanne-nya The Police, hingga All You Need is Love-nya The Beatles. Moulin Rouge! juga punya sinematografi
yang unik dan menghibur. Membuat film berdurasi 127 menit itu tak aneh jika
dianugerahi dua Oscar untuk Best Art
Direction dan Best Costume Design.
Namun film ini bukan jalan masuk yang tepat
untuk memahami semangat Prancis di jaman itu: Mulai dari La Belle Epoque, children of
revolution, hingga semangat Bohemian (Meski konsep-konsep tersebut beberapa
kali didengungkan dalam film). Pertama, karena film ini jelas bukan film
sejarah. Kedua, semangat yang diangkat dalam Moulin Rouge! sudah menjadi spirit histeria ala Hollywood.
Rekomendasi: Bintang Empat
Comments
Post a Comment