Skip to main content

Spiritualitas dalam Joged Gemoy

  (Ini adalah teks Filtum [Filsafat Tujuh Menit] yang dibacakan pada live IG Kelas Isolasi, 12 Maret 2024) Ya, kita tahu siapa yang pasti menang pada pilpres tahun ini. Orang yang dalam kampanyenya mengandalkan suatu gerakan tari yang dilabeli sebagai joged gemoy. Meskipun cerita tentang ini sudah beredar luas, saya harus ulas sedikit tentang darimana asal usul joged gemoy ini berdasarkan pengakuan Prabowo sendiri dalam podcast Deddy Corbuzier. Menurut Prabowo, gaya joged tersebut terinspirasi dari joged spontan yang dilakukan kakeknya, Pak Margono. Usut punya usut, ternyata gaya tersebut masih ada kaitannya dengan kisah pewayangan, "Kakek saya orang Jawa dari Banyumas, zaman itu belum ada televisi, jadi hiburannya wayang," kata Prabowo mulai bercerita. Dalam sebuah cerita wayang (yang diperagakan wayang orang itu), sang kakek merasa senang dengan sosok tokoh Pandawa dan Kurawa di mana gerakannya seperti orang yang sedang melakukan pencak silat. "Pandawa dan Kurawa, p

Panoptikon

Panoptikon adalah konsep arsitektur yang digagas oleh Jeremy Bentham di akhir abad ke-18. Terdiri dari dua kata yaitu pan yang berarti semua dan optikon yang artinya mengamati, panoptikon bisa dipahami sebagai: "desain gedung yang memungkinkan satu pihak bisa mengawasi seisi gedung tanpa yang diawasinya merasa terawasi."

Konsep panoptikon ini terutama diterapkan dalam penjara. Contoh terbaiknya ada pada bangunan penjara Presidio Modelo di Kuba. Seperti ini dia gambarnya:

Gambar diambil dari sini. Lisensi milik Friman.

Menara di tengah ini adalah kunci konsep pengawasan yang ditawarkan Bentham. Menara tersebut berputar dan di dalamnya ada sipir yang mengamati dengan seksama sel-sel di sekelilingnya. Michel Foucault melihat bahwa terlepas dari ternyata tidak ada sipir di balik menara tersebut, struktur kesadaran para napi akan menganggap dirinya selalu berada dalam pengawasan. Foucault kemudian mengabstraksi konsep panoktikon ini dalam kritiknya terhadap apa yang ia sebut sebagai "metode disiplin modernitas". 

Apa yang dipikirkan oleh Foucault ini baru saya pahami kala berjalan-jalan di salah satu mal di Jakarta. Setelah keluar dari tempat mainan bersama sepupu, saya melihat televisi layar datar yang bertuliskan: "smile, you're always on tv."


Meski tidak mengacu pada panoptikon sebagai sebuah konsep arsitektur, namun cara kerjanya persis. Dengan ramah, si televisi berbicara seperti menara di Presidio Modelo. Ia hendak menunjukkan bahwa meski mungkin saja tidak ada korelasi serius antara ucapan di atas dengan tingkat keamanan yang sesungguhnya, namun kalimat tersebut menunjukkan bahwa kita mesti mengafirmasi diri bahwa kita ada pada posisi diobjekkan, dikuasai, dan tidak punya daya upaya untuk melarikan diri.

Yang hendak disoroti tentu saja bukan metode pengamanan yang bisa jadi efektif untuk menjauhkan pasar dari serbuan pengutil. Yang mau dibicarakan adalah kenyataan bahwa tanpa harus mendekam di balik sel, kita bisa ikut merasakan bagaimana dikuntit oleh kekuasaan. Sang kuasa ini tak sanggup menguasai dirinya dari melihat apa yang perlu dilihat saja. Meski ia ditujukan pada mulanya untuk mengamankan mal, namun sesungguhnya kuasa tersebut menjadi semacam eye of god yang menciptakan suatu penjara psikologis dalam kesadaran kita.

Perasaan ngeri ini mengingatkan saya pada film The Truman Show karya sutradara David Weir tahun 1998. Truman Burbank yang diperankan Jim Carrey, berada pada situasi serupa sejak ia lahir: Berada dalam setting acara televisi bernama The Truman Show yang menjadi tontonan seluruh dunia. Celakanya, selama 30 tahun, ia merasa bahwa apa yang ia jalani adalah kehidupan yang sejati -bukan artifisial ciptaan sang sutradara, Christof. Film ini dampaknya cukup besar sehingga timbul suatu penyakit psikologis bernama Truman Show Delusion. Para pengidapnya merasa hidupnya diawasi terus menerus dan ditonton oleh orang di seluruh dunia. Mereka tidak percaya bahwa hidupnya adalah kenyataan, jangan-jangan seisi manusia hanyalah aktor belaka.

Kita tidak akan jauh-jauh mengaitkan The Truman Show dengan sebaris kalimat di mal tadi. Namun ada benang merah yang bisa kita tarik: Bahwa antara Truman Burbank dan para pengunjung mal, keduanya sama-sama tidak punya kuasa untuk melihat apa yang terjadi di balik kamera. Bisa memang diawasi, bisa tidak sama sekali, atau malah menjadi objek voyeur yang menyenangkan.

Comments

  1. Penjelasan serta analogi yang ciamik sekali om Syarif, salam hangat dari Buahbtu Bandung

    ReplyDelete
  2. Waw, penjelasan konsep yang bagus. Mudah di Mengerti

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1