Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Sang Alkemis Tidak Sama Dengan Law of Attraction


Santiago adalah tokoh sentral dalam Sang Alkemis, sebuah novel yang ditulis oleh Paulo Coelho dalam bahasa Portugis dan diterbitkan tahun 1988 dengan judul O Alquimista. Apa yang anak gembala tersebut lakukan? Santiago mengikuti mimpi-mimpinya tentang harta karun di Piramida-Piramida. Awalnya ia ragu apakah ia harus tetap tinggal bersama domba-domba yang sudah ia akrabi hampir sepanjang hidupnya, atau pergi menuju mimpinya, yang mana membuat ia, mau tidak mau, mesti bertualang ke Mesir dan tentu saja meninggalkan kehidupan sehari-harinya yang nyaman. 

Santiago, dengan dorongan keyakinan dari seorang raja misterius bernama Melkisedek, akhirnya memutuskan untuk pergi demi tersingkap apa yang jadi kepenasaranannya selama ini. Ia meninggalkan domba-domba dan menyerahkan diri pada tantangan-tantangan yang tidak terduga: Mulai dari membantu pedagang kristal, berhadapan dengan padang pasir, berlabuh di oase -tempat ia kemudian menemukan cintanya, Fatima-, hingga akhirnya bertemu dengan sang alkemis yang bijaksana -yang punya peran dalam bagaimana akhirnya Santiago menemukan 'harta karun yang sesungguhnya'-. Modal keberanian bagi Santiago adalah sebaris kalimat yang berdengung cukup sering: "Saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya."

Kalimat terakhir tersebut meski menjadi tagline yang paling sering keluar dalam Sang Alkemis, namun pesan yang dikandung secara keseluruhan agaknya tidak sesimpel itu. Sekilas, kalimat tersebut agak mirip dengan law of attraction yang diceritakan dalam buku motivasi best-seller berjudul The Secret. Law of attraction berintisari kurang lebih mirip: Jika kita berpikir tentang sesuatu, maka hal tersebut akan sesuai dengan apa yang kita pikirkan. Namun bebauan self-help ini bisa terhapuskan jika kita sungguh-sungguh menghayati kandungan Sang Alkemis secara lebih holistik.

Paulo Coelho hendak mengajarkan pada kita tentang bagaimana menghayati diri sebagai alam semesta mikro yang bersemayam. Sesuai apa yang disebut oleh Aristoteles, "Kita bisa memahami yang general dari hal-hal yang partikular." Coelho menyebutnya sebagai Jiwa Dunia, semacam kesadaran purba yang agaknya sudah tereduksi oleh antroposentrisme yang berpusat pada "aku berpikir" ala Cartesian. Lewat perjalanan Santiago di padang pasir, novel Sang Alkemis hendak berkata bahwa aku dan angin, aku dan pasir, aku dan matahari sesungguhnya tiada beda, seperti halnya pelbagai logam sebelum ia berevolusi puncak menjadi emas.

Berat? Dalam lapisan tertentu, memang iya. Sang Alkemis seperti pengejawantahan dari pemikiran mutakhir filsuf Heidegger yang bicara tentang "benda yang menampakkan dirinya yang asali pada kita." Namun pernyataan Heidegger tidak datang dari ruang hampa, ia justru ditopang oleh Filsafat Timur yang sudah sejak lama merenungkan hal-hal seperti ini. Jadi kalau kita bilang Sang Alkemis penuh dengan bebauan pemikiran Timur, sama sekali tidak ada salahnya.  

Mereka yang gagal memahami Sang Alkemis, kemungkinan bisa terjerembab pada persepsi bahwa buku ini adalah buku motivasi agar kita bersungguh-sungguh dalam mencapai sesuatu. Prinsip semacam itu terlalu klise untuk dituliskan dalam karya sastra sebaik literatur Coelho ini. Akan terlalu banyak pesan penting yang dilewatkan jika kita buru-buru menangkap bahwa buku ini adalah buku self-help.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1