Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
Malam itu, orangtua tiba-tiba berkata sesuatu tentang kartupos. Katanya, "Ada kartupos untuk kamu dan Dega."
Istri saya mendapatkan kartupos dari kawannya, orang Prancis, yang sedang berlibur di Turki. Sedangkan saya sendiri? Ada kartupos, tapi bukan dari seseorang nun jauh disana. Yang mengirimkannya adalah orang Bandung juga. Namun yang demikian justru membuatnya tambah spesial. Hari ini ada banyak cara untuk menyampaikan pesan baik lewat SMS, Facebook, Twitter, E-mail ataupun telepon. Tapi orang yang secara geografis sangat dekat untuk kemudian "mempersulit diri" dengan berkomunikasi via sesuatu yang sudah "tidak musim" dan perlu perjuangan menulis dengan tangan, adalah hal yang mengharukan.
Isinya sendiri -seperti yang semoga terbaca dari gambar di atas- adalah semacam apresiasi dari konser musik klasik yang diselenggarakan tanggal 6 Oktober kemarin di Auditorium IFI-Bandung. Selain sedikit mengomentari performance, tulisan di atas juga bercerita tentang kesan si penulis terhadap Ibu Lusi. Siapakah Ibu Lusi? Beliau adalah orang yang bekerja di IFI selama sepuluh tahun, yang kebetulan konser kemarin bertepatan dengan hari pensiunnya. Konser tersebut, yang salah satu pengisi acaranya adalah anak tunggalnya, menjadi momen sangat spesial bagi Ibu Lusi. Karena selain berbarengan dengan hari pensiun, hari itu juga adalah ulangtahunnya. Kata si penulis, "Kesan saya pada beliau: Orangnya tidak suka basa-basi, efisien, dan sedikit mengintimidasi."
Penulis, adalah seorang kawan, namanya Andika Budiman. Ia rajin bergerak, namun dalam diam. Saya menjulukinya apresiator jempolan karena tidak pernah secara vulgar mendatangi penampil dalam konser untuk bicara secara blak-blakan. Namun jika ditanya pada situasi yang lebih pribadi, ia akan sanggup mengomentari konser tersebut dengan jernih sekaligus tajam. Seringkali memang ada apresiator yang gatal untuk berkomentar tanpa diminta, agar mungkin ia kelihatan pintar karena sudah melontarkan kritik.
Apa yang ditulis oleh Andika, mengharukan bukan hanya disebabkan oleh apresiasinya. Namun media yang dipilihnya untuk menyampaikan pesan. Rasanya sudah lumrah, atas nama kepraktisan, orang berkirim pesan dengan apa saja yang ada di hadapannya: Kebetulan sedang main Twitter, inget si anu, kirimlah pesan lewat Twitter; sedang main Facebook, ingin colek si anu, menyoleklah ia via wall. Namun ketika segala macam media canggih tersebut bertebaran di hadapannya, Andika memilih untuk menjauhi semua itu dan bersusah payah menulis tangan yang mungkin secara umum menjadi kegiatan nomor dua setelah mengetik. Inilah yang disebut Marshall McLuhan sebagai "the medium is the message". Konten di dalam kartu pos itu sendiri bisa dituliskan via media apapun dengan isi yang tidak berbeda sama sekali. Namun Andika memilih medium kartu pos, dan pilihannya tersebut bagi saya menjadi terasa emosional. Mustahil bagi saya untuk mengabaikan pilihan medium semacam ini ketika yang penting dari pengiriman pesan hari ini adalah soal kecepatan alih-alih sentimentalitasnya.
Terima kasih, Andika!
Atas apresiasi, tulisan, dan kartuposnya yang begitu berarti!
Kurang lebih dua minggu lalu saya dateng ke diskusi buku kumpulan cerpen yang saya suka, oleh penulis yang rupanya saya suka juga. Saya punya pertanyaan, tapi rupanya diskusi lebih berat membicarakan proses kreatif. Padahal saya ingin tahu soal tema (seperti biasa). Lalu, saya ciut mengajukan pertanyaan saat sesi diskusi. Ketika sesi tandatangan, saya menumpahkan semua pertanyaan saya pada giliran saya. Namun, karena tegang dan buru-buru (T.T) pertanyaan itu keluarnya seperti meracau ... Penulis hanya menjawab dengan senyum. (!) Lalu beralih ke peminta tanda tangan selanjutnya. Karena penasaran, saya tempel terus dia. (!!) Sampai dia kelihatan tidak nyaman dan saya pun mundur teratur.
ReplyDeleteSebetulnya banyak contoh lain di mana saya mengemukakan pendapat tanpa diminta. Hehehe.