Skip to main content

Spiritualitas dalam Joged Gemoy

  (Ini adalah teks Filtum [Filsafat Tujuh Menit] yang dibacakan pada live IG Kelas Isolasi, 12 Maret 2024) Ya, kita tahu siapa yang pasti menang pada pilpres tahun ini. Orang yang dalam kampanyenya mengandalkan suatu gerakan tari yang dilabeli sebagai joged gemoy. Meskipun cerita tentang ini sudah beredar luas, saya harus ulas sedikit tentang darimana asal usul joged gemoy ini berdasarkan pengakuan Prabowo sendiri dalam podcast Deddy Corbuzier. Menurut Prabowo, gaya joged tersebut terinspirasi dari joged spontan yang dilakukan kakeknya, Pak Margono. Usut punya usut, ternyata gaya tersebut masih ada kaitannya dengan kisah pewayangan, "Kakek saya orang Jawa dari Banyumas, zaman itu belum ada televisi, jadi hiburannya wayang," kata Prabowo mulai bercerita. Dalam sebuah cerita wayang (yang diperagakan wayang orang itu), sang kakek merasa senang dengan sosok tokoh Pandawa dan Kurawa di mana gerakannya seperti orang yang sedang melakukan pencak silat. "Pandawa dan Kurawa, p

Balada Majalah Pria yang Tak Membuat Ereksi

 

Ditulis sebagai suplemen bincang-bincang Majalah Bung! di Kineruku, 2 Maret 2013


“Laki-laki suka dua hal: permainan dan bahaya. Atas dasar itu mereka menyukai perempuan sebagai permainan yang paling berbahaya.” – Nietzsche dalam Zarathustra

Meski terkesan melakukan simplifikasi, namun pernyataan Nietzsche tersebut ada benarnya –setidaknya dari konteks yang akan kita bahas hari ini yaitu tentang majalah pria-. Tidak bisa tidak, majalah yang mengidentifikasi dirinya sebagai “majalah khusus pria”, sepertinya mewajibkan diri memuat gambar perempuan. Tidak hanya gambar perempuan, tapi juga pelbagai konten di dalamnya seolah punya pesan bagi para pria agar menjadi menarik bagi perempuan. Tips-tips di dalamnya seperti bagaimana bercinta, memodifikasi mobil, berbisnis yang handal, memilih makanan sehat, dsb, kita bisa curigai ia beraroma Freudian: Apa-apa ujung-ujungnya harus dalam rangka menenangkan id, nafsu tribalistik yang merongrong ke arah –salah satunya- kebutuhan kelamin.

MAJALAH BUNG!: ANTITESIS DAN ABNORMALITAS

Majalah Bung! jelas punya suatu ideologi perlawanan –jika memerhatikan tebaran majalah pria hari ini yang punya satu benang merah yang “kita-tahu-semua”-. Pertama, dari sampul pun kita sudah bisa judge the book by it’s cover. Mari bandingkan kover majalah Bung! dengan Maxim, FHM, Popular, atau ME. Bung! terasa tidak punya intensi untuk membangkitkan hasrat (kata “intensi” ini tentu saja bias. Sebias kita mendefinisikan kata “pornografi”). Perempuan di sampul majalah Bung! tidak setengah bugil atau setidaknya menyisakan ruang fantasi yang besar bagi imajinasi pria. Perempuan digambarkan dalam kesehariannya: dalam dunia yang kita tinggali tanpa asumsi tanpa pretensi, Saya merasa bahwa mereka yang ereksi ketika melihat sampul depan majalah Bung! pastilah orang yang –apakah Yasraf Amir Piliang sudah memakai istilah ini?- hiper-imajinatif.
Kedua, soal konten. Jelas isi dari majalah ini jauh dari arus utama. Ketika di majalah pada umumnya memuat soal tetek bengek otomotif –yang secara implisit mengatakan bahwa pria sedikitnya harus bisa menyetir-, Bung! malah menyodorkan sejumlah pria yang begitu percaya diri ia tidak kehilangan kelelakiannya hanya karena tidak bisa menyetir. Ketika di majalah pada umumnya memuat modifikasi motor-motor terkenal seperti Harley Davidson, Bung! menyoroti mereka yang bangga dengan Vespa-nya yang gembel. Majalah pada umumnya akan berbicara vagina dan letak g-spot, Bung! dengan berani dan –tampak tak takut dengan ketidaklakuan- membahas bulu ketiak dan hubungannya dengan sensualitas!
         
Kita bisa menyebut Bung! dalam dua kata filosofis yang sama-sama keren: Hegel barangkali akan menyebutnya antitesis, sedangkan Foucault akan menyebutnya abnormalitas. Jika majalah pria sedikitnya harus membuat ereksi, maka saya pribadi ketika membaca majalah Bung! ini tidak “bangun” sama sekali. Hantaman pemikiran demi pemikiran kritis yang ditulis oleh sejumlah kontributor ternama makin membuat saya paham fakta mengapa para filsuf besar rata-rata bisa tahan untuk tidak menikah dan hidup dalam kesendirian (Hehe). Sematan label antitesis dirasa tepat karena majalah ini menyoroti pangsa pasar pria yang sekiranya terbuang dari narasi besar seperti “seks”, “otot”, “gadget”, dan “otomotif”. Majalah Bung! ingin mengincar pria-pria yang kehilangan kelelakiannya karena konstruksi media yang tidak memihak mereka. Namun abnormalitas juga bisa disematkan karena satu kenyataan pahit yang sudah saya singgung tadi: Majalah ini tidak membuat ereksi; Majalah ini sedikit banyak menimbulkan efek kemurungan eksistensial akibat kekritisan berpikir; Majalah ini tidak banyak menyebabkan apa yang disebut Bergson sebagai elan vital (daya hidup).
Tapi saya punya pembelaan untuk abnormalitas tadi: Majalah Bung! hadir agar para pria memaknai ulang arti vitalitas. Agar para pria sadar dirinya selama ini, yang namanya vitalitas, sudah sejak lama dikonstruksi. Pria bisa seksi dengan melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang tidak terduga, pria bisa seksi dengan menjadi dirinya sendiri, dan pria bisa seksi dengan tidak terepresi oleh bentukan media.

MAJALAH VS INTERNET

            Dalam TOR yang diserahkan oleh Budi Warsito via e-mail, ada kalimat yang dikutip dari The Association of Magazine Media, yang pada akhirnya saya tak setuju-setuju amat, “We surf the internet. We swim in magazines.” Seolah-olah, internet memang media untuk melihat segala sesuatu secara permukaan –seperti halnya berselancar-, sedangkan majalah memberi peluang bagi pembaca untuk melihat segala sesuatu secara mendalam.
            Internet sendiri merupakan suatu objek kajian yang teramat luas dan sama sekali tidak mudah ditangkap fenomenanya dalam bahasa tertata (pakar komunikasi masih berdebat seru tentang apakah internet masuk ke dalam jenis komunikasi massa atau komunikasi konvergen). Di internet, karena kebutuhan update yang cepat dalam hitungan detik, maka berbagai artikel dan berita disajikan secara singkat tanpa bahasa bersayap, ada benarnya. Namun internet juga punya peluang untuk menyajikan berita yang dikemas secara komplit, utuh, dan melalui riset yang cukup. Kedua hal ini ada di internet dalam porsi yang sulit diukur persentasenya. Internet memberi peluang bagi mereka yang ingin memberitakan sesuatu dalam 140 karakter (Twitter) hingga mendirikan majalah maya sendiri seperti yang marak belakangan ini.
       Keberagaman kemungkinan yang bisa ditampilkan lewat internet, disertai aksesnya yang semakin mudah, tentu saja menimbulkan pertanyaan klise: Untuk apa membeli jika internet sudah menyediakan sesuatu dengan semangat komunalistik? Untuk apa membeli jika apa-apa sekarang bisa diunduh secara gratis –dari pengalaman seorang teman, inilah surga yang spesial ada di Indonesia-? Dalam konteks yang lebih spesifik, untuk apa membeli majalah, jika berita apapun bisa dicari di dunia maya? Untuk apa mengonsumsi majalah pria dengan sejumlah gambar bugil, jika kamu bisa buffering film porno dengan mengorbankan waktu sejam saja untuk menunggu?
            Pertanyaan semacam itu barangkali bisa ditujukan pada mereka yang tetap membeli piringan hitam, DVD original, ataupun buku, meski segalanya bisa diperoleh secara gratis via internet. Membeli, jangan-jangan, sekarang menjadi sesuatu yang seksi. Dulu orang merindukan semangat komunalisme, ririungan, berbagi dalam skala besar sebagai bentuk perlawanan terhadap kapitalisme yang mengagungkan kepemilikan orang per orang. Sekarang diam-diam orang menjadikan kepemilikan pribadi bukan lagi dalam rangka survival dan isu hak milik. Kepemilikan pribadi adalah bagian dari pencitraan. Engkau membeli dan engkau mengunduh gratis bisa memeroleh konten yang sama, tapi membeli menunjukkan kesungguhan, menunjukkan suatu intensi untuk bersetubuh dengan si objek.
            Kemudian, martabat majalah juga saya peroleh malah dari salah satu artikel yang dimuat oleh Bung! berjudul Filsafat Bersepeda oleh Simon Lili Tjahjadi. Beliau berkata, “Mata melihat leukan-lekukan jalan, telinga mendengar suara, kulit merasakan hembusan angin, hujan dan panas, bahkan hidung bisa mencium wangi nasi goreng dari penjual bergerobak yang tengah mempersiapkan masakan itu di tepi jalan, hal yang pada gilirannya merangsang indra pengecapan.” Secara fisiologis, mengonsumsi tulisan via di internet sungguh cepat melelahkan mata. Majalah masih punya martabat karena ia, sebagaimana bersepeda, masih mempertahankan “sentuhan”. Masih ada orang yang, kata kawan saya, Pirhot Nababan, “Menganggap bahwa membaca haruslah memegang buku.”
        Membeli majalah berarti juga mempertimbangkan ruang dalam keseharian kita. Dengan membeli majalah, ia membuat kita sejenak berpikir tentang, “Ruang-ruang sebelah mana dalam kehidupan kita yang nantinya akan diambil oleh majalah ini?” Maksudnya, ketika kita membeli majalah, kita akan mempertimbangkan ia harus disimpan di mana, sebagai apa, dan dengan tampilan seperti apa. Karena majalah yang dionggokkan begitu saja setelah dibaca dengan majalah yang ditata rapi di sebuah rak, akan menimbulkan suatu sentimentalitas yang berbeda. Dalam ruang maya, segala sesuatu sudah “tersimpan di sana terus”. Ia bisa dibaca kapan saja tinggal kita memasukkan alamat dan mengklik laman yang tempat. Segala sesuatu dalam internet tersimpan dalam ruangan raksasa yang terang-terang tidak mengambil tempat dalam dunia keseharian kita.
            Kita bisa bayangkan jika semua hal tersimpan dalam dunia digital: Tidakkah dunia fisik kita menjadi lebih leluasa –tapi juga sekaligus hampa?-.

Comments

  1. Dengan alasan indra pengecapan itulah, membaca buku fisik terasa lebih nyaman bukan sekedar pencitraan, semoga begitu ya :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1