Namanya Gerald Foos. Ia mengaku sebagai pemilik hotel kecil (motel) di Colorado, tempat dirinya melakukan kegiatan mengintip berbagai aktivitas seksual para tamunya. Foos melakukannya selama sekitar dua puluh tahun tanpa pernah ketahuan. Sampai kemudian Foos memutuskan untuk menceritakan kisah hidupnya sendiri pada jurnalis legendaris, Gay Talese, untuk dijadikan buku. Menurut Talese, Foos tidak kelihatan seperti seorang psikopat. Jika kita bertemu Foos tanpa mengetahui latar hidupnya sebagai pengintip profesional, kita akan menganggapnya orang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Foos sendiri tidak merasa ada hal yang aneh dari kegiatannya. Istrinya bahkan merestui aktivitas tersebut (yang diakui Foos sebagai "meneliti"). Itulah kisah tentang seorang pengintip ( voyeur ) yang dimuat dalam buku terbitan New York Times tahun 2016, sebelum kemudian difilmkan dalam bentuk dokumenter tahun berikutnya oleh sutradara Myles Kane dan Josh Koury. Film ini menarik bukan hanya
Diambil dari www.dparamithatp.tumblr.com
Setelah melalui beragam kompromi sejak beberapa
minggu ke belakang, akhirnya pada 4 April 2013 kami berhasil
merealisasikan wacana “kelas filsafat ilegal” bersama salah seorang
intelektual muda Bandung yang juga berprofesi sebagai dosen di
Universitas Padjadjaran, Kang Syarif Maulana. Mengapa dikatakan
“ilegal”? Karena kelas filsafat ini kami lakukan secara gerilya di luar
jam perkuliahan, tanpa berbayar, dan hanya didasari oleh “panggilan
jiwa” yang begitu kuat. Oh betapa mulia!
Pertemuan pertama “kelas filsafat ilegal” yang
berlangsung di perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya ini dihadiri oleh tiga
orang saja yakni Kang Syarif, Manda, dan saya. Meskipun hanya bertiga,
kami tetap menjalankan diskusi dengan bersemangat dan penuh atensi.
Atmosfir perpustakaan FIB yang begitu tenang sangat mendukung
kondusifitas pertemuan kami. Tema yang diangkat pada kesempatan kali ini
adalah eksistensialisme yang secara spesifik dicetuskan oleh seorang
filsuf besar Prancis di abad 20, Jean-Paul Sartre.
Eksistensialisme ialah sebuah paham yang
menyebutkan bahwa “eksistensi mendahului esensi”. Esensi yang dimaksud
di sini adalah hakikat, definisi, ide, fungsi, atau sifat dasar dari
suatu hal yang telah dilekatkan, bahkan jauh sebelum hal tersebut ada di
dunia. Sedangkan eksistensi merupakan suatu hal yang terlepas dari
segala macam determinasi, hakikat maupun definisi, dan hanya terbatas
pada ruang lingkup “kesadaran akan keberadaan” hal itu sendiri. Sebagai
contohnya, manusia dari sudut pandang agama. Dalam pandangan Islam,
Tuhan menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi, atau
dalam pandangan Kristen, manusia hadir di bumi sebagai dosa turunan dari
Adam. Para eksistensialis menganggap “manusia sebagai khalifah” atau
“manusia sebagai dosa” ini sebagai hakikat pemberian Tuhan yang akan
menghalangi setiap orang untuk menjadi “manusia yang seutuhnya” saat
mereka lahir ke dunia.
Di awal diskusi, Kang Syarif menjelaskan bahwa
Jean-Paul Sartre adalah seorang eksistensialis yang memiliki ke-khas-an
tersendiri karena ia berbicara mengenai kebebasan. Ketika Friedrich
Nietzsche mengumumkan bahwa “Tuhan telah mati”, Sartre menerimanya
sebagai kabar baik karena dengan begitu tidak akan ada lagi ide dalam
pemikiran Tuhan yang menjadi patokan kesesuaian bagi manusia. Kini
manusia menjadi makhluk yang bebas menentukan hakikat-hakikatnya
sendiri. Bebas menentukan jalan hidupnya. Bebas sebebas-bebasnya! Namun,
di sisi lain hal tersebut justru menjadi suatu kenyataan yang
mengerikan. Ketika dihadapkan pada pilihan, manusia sesungguhnya
benar-benar dihadapkan pada kebebasannya sendiri. Manusia benar-benar
sendirian. Dan dengan kebebasannya tersebut manusia dapat mengambil
tindakan apapun karena tidak ada lagi etika yang mendasarinya. Oleh
karena itu, Sartre mengatakan, “l’homme est condamné à être libre”
atau “manusia dikutuk untuk bebas”. Dalam diskusi, Manda kemudian
menanggapi bahwa kebebasan tersebut sebenarnya malah menjerumuskan
manusia ke dalam kondisi yang membingungkan. Manusia justru menjadi
tidak bebas karena mereka kehilangan arah, tujuan, dan pedoman untuk
menjalani hidup.
Sartre menyatakan bahwa manusia itu bebas selama ia
tidak mengganggu kebebasan orang lain. Jika dikritisi lebih dalam,
sebenarnya terdapat sebuah paradoks dalam pernyataan tersebut. Jika
kebebasan manusia memiliki batasan maka sesungguhnya manusia tidak
benar-benar bebas, bukan? Selain itu, Sartre berkata bahwa manusia harus
senantiasa bertanggung jawab akan tindakan dan pilihan yang telah
diambilnya dengan penuh kesadaran. Itu artinya manusia tidak boleh
menyesal ataupun mengeluh atas konsekuensi yang mereka peroleh kemudian.
Inilah yang disebut la mauvaise foi atau bad faith oleh Sartre. La mauvaise foi
dapat terjadi pada orang-orang yang “menempelkan” dirinya pada suatu
hal yang lebih “besar” darinya hingga ia melupakan kesadarannya sendiri.
Contohnya, ketika ada seseorang yang begitu bangga karena ia bekerja di
perusahaan besar dan ternama, orang-orang menjadi terkesan padanya
hanya karena ia menyandang nama besar perusahaan tempatnya bekerja
tersebut. Alangkah malang orang itu sesungguhnya, karena eksistensinya
sendiri ditenggelamkan oleh esensi lain dari luar dirinya. La mauvaise foi
tersebut menjadi alasan dari munculnya kecemasan dalam jiwa manusia.
Menurut Sartre, satu-satunya cara seseorang dapat menemukan
eksistensinya adalah dengan menghadapi kecemasan atau krisis. Krisis
merupakan suatu kejadian secara tiba-tiba yang menghentikan seseorang
dari respon sehari-harinya. Cara efektif untuk memunculkan krisis
tersebut adalah dengan merenungkan tema-tema berbau pesimisme seperti
kemuakan, kehampaan, kegelisahan, keterasingan, kematian, dan
semacamnya. Oleh karena itu, eksistensialisme Sartre ini menjadi paham
eksistensi yang paling kelam, gelap, dan depresif, bahkan jika
dibandingkan dengan eksistensialisme Nietzsche sekalipun.
“Kira-kira, apa yang mendasari Sartre mencetuskan
ide eksistensialisme?” tanya Kang Syarif. “Perang”, jawab saya. Ya.
Perang Dunia I menjadi hantaman besar yang menyisakan kenangan traumatis
bagi umat manusia di kala itu. Kebengisan yang terjadi ketika manusia
saling bunuh, saling tindas, dan saling berebut kekuasaan dengan
menghalalkan segala cara, meninggalkan kesengsaraan, kesedihan, dan rasa
kehilangan yang begitu besar dalam jiwa setiap orang. Manusia kemudian
menjadi begitu skeptis dan sensitif. Kepercayaan mereka akan keberadaan
Tuhan lenyap sudah. Manusia hanya bisa bergantung pada eksistensi
dirinya sendiri untuk bertahan hidup. Di samping itu, masa-masa perang
memunculkan terminologi baru seperti batalyon, koloni, resimen, dan
sebagainya. Istilah-istilah tersebut menghilangkan eksistensi manusia
secara individual karena manusia hanya dianggap sebagai kumpulan
entitas-entitas besar yang merupakan “peralatan perang”.
Filsafat eksistensialisme ini sebenarnya sangat
dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Sebagai contoh, Kang Syarif
lalu menceritakan pengalamannya ketika sedang naik taksi. Di dalam taksi
tersebut, ia berbincang-bincang dengan sang supir. Di luar dugaan,
ternyata bapak supir tersebut banyak bercerita mengenai pengalamannya
ketika berada di zaman perang dulu. Perbincangan kian menarik karena
bapak tersebut dapat pula berfilsafat sekaligus memberi pelajaran
berharga bagi lawan bicaranya saat itu. Seketika itu juga, esensi bapak
itu sebagai “supir taksi” lenyap dan Kang Syarif menemukannya sebagai
“manusia otentik”. Eksistensi bapak tersebut sebagai “seorang manusia
yang utuh” muncul ke permukaan dan diterima secara sadar oleh Kang
Syarif. Yang dapat dipetik dari pengalaman itu adalah bahwa pendapat
umum orang kebanyakan akan suatu hal merupakan esensi yang secara telak
menghilangkan eksistensi hal tersebut—pendapat umum orang-orang akan
esensi bapak tadi sebagai “supir taksi” menghilangkan eksistensinya
sebagai “manusia otentik”—dan untuk menemukan eksistensi dari suatu hal
itu, kita harus melakukan pendekatan secara personal dengan pikiran dan
hati yang jernih—don’t judge!
Selanjutnya, Kang Syarif menjelaskan teori lubang
kunci yang terkenal dari Sartre. Menurut Sartre, manusia dapat menemukan
kebebasannya ketika ia berada seorang diri di dalam kamar. Ia bebas
melakukan apapun, menjadi dirinya sendiri. Namun, ketika ia menyadari
ada orang lain yang mengintipnya dari balik lubang kunci di pintu
kamarnya, dalam sekejap manusia tersebut akan berubah dan membuat
dirinya menjadi “sesuai dengan apa yang ingin dilihat si pengintip”.
Maksudnya, pada dasarnya setiap orang selalu ingin melihat sesuatu
berjalan sesuai dengan keinginannya. Setiap orang ingin melihat orang
lain bertindak sesuai dengan asumsi pribadinya (dan begitu pula
sebaliknya), padahal asumsi-asumsi tersebut hanya akan menghilangkan
kebebasan dari dalam diri masing-masing individu manusia itu sendiri.
Akibatnya, Sartre beranggapan bahwa “neraka adalah orang lain”. Dan bagi
Sartre, Tuhan termasuk dalam kategori “si pengintip”. Manusia tidak
akan bebas selama Tuhan mengawasi gerak-gerik mereka. Oleh sebab itu,
menurutnya seorang eksistensialis sebaiknya adalah seorang atheis. Bagi
para eksistensialis, manusia adalah “apa yang mereka lakukan”. Manusia
terbentuk dari tindakan-tindakan yang mereka ambil ketika dihadapkan
pada pilihan-pilihan. Dan menjadi seorang atheis merupakan sebuah aksi
konkrit dari menjadi seorang eksistensialis. Fyodor Dostoyevsky
mengatakan, “Jika Tuhan tidak ada, semuanya akan boleh”, namun Sartre
membalik pernyataan tersebut menjadi, “Semuanya boleh maka PASTI Tuhan
tidak ada”.
Di sisi lain, ternyata Sartre mengakui bahwa
keatheisan tersebut membuat dirinya sendiri hidup dalam
ketidakbahagiaan. Sebagai perumpamaan, Sartre menyebut dirinya sebagai
seorang penumpang gelap yang sedang menaiki kereta tanpa memiliki
karcis. Selama perjalanannya dari stasiun awal ke stasiun akhir, ia
terus berjalan mondar-mandir, berputar kesana-kemari di dalam kereta,
hanya untuk menghindari sang kondektur. Dari tempat berangkat hingga
tempat tujuan, ia tidak menemukan ketenangan dalam perjalanannya. Dan
yang lebih menyedihkan, ketika akhirnya ia sampai di stasiun akhir, ia
tidak menemukan seorangpun yang menunggunya di sana. Maka dari itu,
Sartre menyebutkan bahwa hidup hanyalah gairah-gairah tanpa makna. Dan
kematian hanyalah saksi lain atas ketidak-masuk-akalan eksistensi
manusia, sama konyolnya dengan kelahiran.
Pertemuan kami ini kemudian ditutup dengan bincang
singkat di luar ide eksistensialisme. Manda bercerita mengenai novel
seminarnya yang bertema psikoanalisis. Sepertinya tema menarik ini akan
kami bahas lebih lanjut di pertemuan minggu depan. “Kelas filsafat
ilegal” pertama kami pun usai dengan kegamangan yang menggelantung di
benak masing-masing peserta diskusi—Manda dan saya khususnya.
***
dparamithatp
apa boleh Ikutan kelas filsafat ilegalnya mas ? Hhe
ReplyDelete