Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
Belakangan ini saya sedang sering berinteraksi dengan pemain biola bernama Ammy Kurniawan dan guru gitar jazz yang bernama Venche Manuhutu. Kang Ammy maupun Pak Venche, keduanya sudah dapat dikatakan senior dan mungkin keaktifannya untuk tampil di atas panggung sedikit demi sedikit mulai dikurangi. Keduanya sekarang lebih banyak mengajar di tempatnya masing-masing dan berupaya melahirkan musisi-musisi baru. Namun ada kesibukan yang sama-sama dijalani keduanya, yang barangkali lebih rutin dari mengajar itu sendiri, yakni: Latihan.
Kita punya suatu logika sederhana disini, tujuan dari latihan adalah untuk tampil, adalah untuk manggung. Terus, jika sudah jarang manggung, untuk apa latihan? Latihan yang dilakukan oleh Kang Ammy dan Pak Venche, setahu saya, juga tidak sebentar. Mereka rata-rata menghabiskan minimal dua hingga empat jam per hari untuk melenturkan jari-jari. Tapi otak dangkal saya bertanya: Tapi jika tidak untuk main, lantas untuk apa latihan? Pak Venche bahkan berkata seperti ini, "Kalaupun ada hal yang bisa saya lakukan sebelum saya meninggal, saya akan memilih latihan!"
Artinya, latihan itu tidak melulu merupakan jembatan menuju manggung. Latihan berujung main mungkin konsekuensi logis yang ditawarkan pada kita di masa awal-awal belajar musik agar nanti terasa bahwa latihan kita punya hasil yang nyata. Namun telah sampai suatu kesadaran pada orang-orang tertentu bahwa latihan adalah sebuah kebutuhan jiwa yang tidak membutuhkan iming-iming "untuk apa", apalagi hanya sekedar demi manggung. Latihan itu barangkali bisa disamakan dengan belajar dalam konteks umum. Belajar adalah selalu penting agar kita, sebagai manusia, kerap menyadari kekurangannnya. Barangkali orang mudah sekali tergelincir untuk menjadi pongah ketika latihan-latihan yang pernah dilakukannya kemudian sudah mengkristal menjadi konsekuensi material yang mudah. Bahasa gampangnya, kalau sudah dapat uang dari musik, orang merasa tidak perlu lagi latihan. Kan, tinggal memetik hasil kerja keras saja! Begitu pikirnya, barangkali.
Sekarang, berhentilah menuliskan ini. Kembali ke gitar, berlatih. Berlatih tidak untuk menjadi pemusik semata, tapi juga menjadi manusia.
Semestinya kesadaran itu dirasakan oleh semua orang, bukan hanya pemusik. Semoga kelak, saya juga punya kesadaran itu :)
ReplyDelete