Skip to main content

Spiritualitas dalam Joged Gemoy

  (Ini adalah teks Filtum [Filsafat Tujuh Menit] yang dibacakan pada live IG Kelas Isolasi, 12 Maret 2024) Ya, kita tahu siapa yang pasti menang pada pilpres tahun ini. Orang yang dalam kampanyenya mengandalkan suatu gerakan tari yang dilabeli sebagai joged gemoy. Meskipun cerita tentang ini sudah beredar luas, saya harus ulas sedikit tentang darimana asal usul joged gemoy ini berdasarkan pengakuan Prabowo sendiri dalam podcast Deddy Corbuzier. Menurut Prabowo, gaya joged tersebut terinspirasi dari joged spontan yang dilakukan kakeknya, Pak Margono. Usut punya usut, ternyata gaya tersebut masih ada kaitannya dengan kisah pewayangan, "Kakek saya orang Jawa dari Banyumas, zaman itu belum ada televisi, jadi hiburannya wayang," kata Prabowo mulai bercerita. Dalam sebuah cerita wayang (yang diperagakan wayang orang itu), sang kakek merasa senang dengan sosok tokoh Pandawa dan Kurawa di mana gerakannya seperti orang yang sedang melakukan pencak silat. "Pandawa dan Kurawa, p

30hari30film: Sad Movie (2005)

7 Ramadhan 1434 H


Ketika seorang sutradara memutuskan untuk memberi judul film semacam "Sad Movie", "Scary Movie", atau "Funny Movie" ia pasti akan berhadapan dengan ekspektasi dari penonton. Misalnya, jika judulnya Funny Movie, tentu film itu mutlak harus lucu -kecuali jika mau diparodikan seperti satu film judulnya Scary Movie yang justru tidak menyeramkan sama sekali-. Maka itu pertama-tama pemberian judul Sad Movie pada film Korea (Selatan) tahun 2005 yang disutradarai Kwon Jong-kwan harus diberi acungan jempol. Artinya, ia harus siap menerima konsekuensi penonton yang kecewa jika film tersebut ternyata tidak menyedihkan.

Terdapat beberapa cerita dalam Sad Movie -meski sifatnya bukan potongan-potongan seperti gaya Alejandro González Iñárritu-. Pertama adalah kisah remaja laki-laki yang diputus cintanya oleh pasangannya karena ia tak kunjung mendapat pekerjaan. Kedua adalah kisah perempuan tuna wicara yang bekerja sebagai orang di balik boneka Snow White, yang ia mengalami jatuh cinta pada laki-laki di taman yang senang menggambar. Ketiga adalah cerita ibu dan anak yang hubungan keduanya tidak terlalu akrab. Sang ibu tidak menaruh perhatian besar pada anaknya, sampai kemudian sakit yang mendera sang ibu merubah cara pandangnya. Terakhir adalah kisah asmara yang barangkali terlihat paling tidak ada masalah, yakni pasangan sejoli yang mana pihak laki-laki tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melamar si perempuan.

Akibat dari judulnya, maka ada ekspektasi tentang kapan segala peristiwa di atas akan membawa pada kesedihan. Bagi saya pribadi, sutradara Jong-kwan kemudian berhasil membuat ujung dari empat kehidupan manusia tersebut menjadi tragis -Sebagaimana film Love Actually yang hendak menunjukkan bahwa cinta ada dimana-mana tanpa kenal ruang dan waktu, maka film Sad Movie juga hendak menunjukkan bahwa ketragisan ada dimana-mana tanpa kenal ruang dan waktu-. Bagi yang hendak melengkapi warna dalam hidupnya agar lebih melodramatis, film ini boleh saja jadi rujukan. Tapi jika hendak mencari film yang memberikan pelbagai sensasi rasa, film ini terlalu monotoni.

Rekomendasi: Bintang Dua

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1