Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Untuk Masa Mudaku yang Akan Pergi



Minggu lalu saya datang ke sebuah pesta. Pesta yang saya sendiri heran mengapa saya bisa menghadirinya. Pesta itu adalah perayaan ulang tahun ketujuhbelas dari Vallerina. Siapa Vallerina? Dia adalah anak sulung dari murid privat gitar saya yang bernama Ibu Elly. Saya datang karena memang tidak ada acara dan juga ingin mendapatkan pengalaman menarik. Bagaimana tidak, dalam sepuluh tahun terakhir, saya sungguh tidak pernah datang lagi ke sebuah pesta sweet seventeenth. 

Pesta yang diselenggarakan di Trans Hotel tersebut berlangsung sangat meriah. Ada panggung besar, tata pencahayaan canggih, pemandu acara dan pemusik profesional, makanan berlimpah dalam buffet, hingga kue ulang tahun setinggi manusia. Meski saya merasa bahwa menghadiri acara semacam itu dapat dikatakan "sudah bukan masanya lagi", tapi saya tetap berusaha melebur dan menikmati berbagai sajian yang ada. Ada yang bersuara dalam hati saya, yang mengatakan bahwa, "Iya, kamu masih muda, kok, masih punya taji untuk menikmati acara-acara semacam ini."

Tapi ketahuilah, ada yang berubah dan ada yang tidak berubah. Yang berubah adalah kenyataan bahwa secara fisik, saya bergerak menuju situasi dimana saya tidak bisa dikatakan sama dengan anak-anak berumur tujuh belas tahun yang datang sebagai undangan di sana. Tidak bisa saya katakan lagi dengan lantang bahwa, "Hei, saya seumur kalian loh, saya bisa menari, berjingkrak, dan tertawa lepas seperti tak ada beban yang harus dipikul." Fisik saya berubah, gerak-gerik saya berubah, dan cara saya memandang dunia pun berubah. Di mata anak-anak itu, mereka mulai memanggil dengan panggilan, "Bapak." Dulu saya dongkol dengan panggilan semacam itu dan minta siapapun segera meralat, "Jangan panggil bapak, 'kang' saja." Namun sekarang saya pasrah, berusaha menerima panggilan tersebut sebagai takdir yang harus dijalani.

Yang tidak berubah adalah suatu keinginan besar untuk kembali muda. Untuk selalu mengatakan pada diri sendiri bahwa iya, menjadi tua adalah suatu hal yang tidak mungkin karena saya adalah orang yang asyik dan menyukai segala kesenangan. Untuk selalu mengatakan pada diri sendiri bahwa tidak mungkin saya mati dan lenyap dari dunia yang saya selalu sanggup untuk taklukkan. Dalam jiwa saya, suara-suara tersebut datang setiap saat seperti hantu. Namun seperti hantu juga, suara-suara tersebut mendadak lenyap ketika ada anak muda yang memanggil saya, "Bapak," ketika ada yang mengomentari bagaimana saya yang terlalu maceuh dengan, "Pak, sadar umur, Pak." dan tentu saja ketika mendadak saya harus berurusan dengan tetek bengek seperti uang, pekerjaan, cicilan, bahasa-bahasa rumit, sikap yang dibuat-buat, dan segala hal yang saya dulu hanya bisa saya lihat dalam diri orang dewasa. 

Masa muda tidak akan pernah kembali. Yang ada hanya pertemuan dengan kenangan akan masa muda itu sendiri. Seperti ketika saya memandangi para remaja pria yang hadir dalam undangan Vallerina. Saya katakan pada mereka, dalam hati saya, "Nak, saya pernah sekeren kalian, sungguh."

Comments

  1. Heuheu... Ikut hanyut dengan tulisan Syarif. Betapa saat kita kecil, kita ingin cepat remaja, dan saat remaja ingin cepat dewasa (sebagian sih). Ironisnya, ketika kita dewasa, ingin kembali remaja :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1