Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Akhir Sejarah


Francis Fukuyama menulis buku berjudul The End of History and The Last Man (1952) yang berisi ramalan bahwa bahwa perkembangan sosio-kultural manusia sudah selesai ketika seluruh negara sudah menganut sistem politik demokrasi liberal dan sistem ekonomi kapitalisme pasar bebas. Fukuyama menyebutnya dengan istilah menarik: Akhir sejarah. 

Untuk membedah ramalan Fukuyama tersebut, pertama-tama yang kita lakukan adalah memetakan terlebih dahulu bagaimana sejarah berjalan. Ada yang melihat sejarah sebagai lingkaran sehingga segala sesuatu terus berulang (Pemikiran Buddhisme menganut hal tersebut dan juga Nietzsche). Ada juga yang melihat sejarah sebagai suatu gerak lurus yang berakhir pada sesuatu (Seperti halnya agama Abrahamistik dan juga konsep sejarah ala Hegelian). Ramalan Fukuyama dapat dilihat sebagai suatu gerak lurus (karena mengarah pada sesuatu yang final), tapi juga sebagai gabungan keduanya. Artinya, ada suatu gerak lurus sejarah yang mengarah pada pembentukan demokrasi liberal dan pasar bebas sebagai suatu akhir, tapi ketika berada di ujung, kondisi itu berputar seperti lingkaran. 

Posmodernisme adalah pemikiran yang amat menggadang-gadangkan akhir dari segala sesuatu mulai dari akhir sejarah, akhir seni, hingga akhir filsafat. Meski awalnya saya merasa pernyataan tersebut terlalu berlebihan, namun belakangan, setelah direnungkan, mungkin saja benar. Memang terlalu prematur jika saya mengatakan bahwa jaman ini -yang sedang saya hidupi ini- mempunyai keistimewaan dibanding jaman-jaman sebelumnya. Namun bolehlah saya mengatakan bahwa mungkin ini satu-satunya jaman ketika segalanya serba terbuka. Belahan dunia satu saling tahu tentang apa yang terjadi di belahan dunia lainnya. Pengetahuan tersebut tidak sampai dalam hitungan bulan, hari, atau jam, melainkan detik, sekon, bahkan milisekon. Keterbukaan ini membuat pengaruh demokrasi liberal menjadi tidak terhindarkan. Sebagai contoh, negara-negara penganut komunisme sepertinya sangat membatasi keterbukaan ini karena tahu bahwa sekali negara mendapat banyak pengaruh dari luar atau bebas dalam berekspresi, maka pemerataan baik secara ideologi maupun ekonomi, menjadi sulit tercapai. 

Fakta tentang "bahaya" keterbukaan ini bagi ideologi yang berseberangan dengan demokrasi liberal dan kapitalisme terjadi di Uni Soviet tahun 1980-an. Sebagai negara berideologi komunisme sejak tahun 1922, Uni Soviet dikenal dengan negara yang sangat kuat dalam mempropagandakan sendi-sendi komunis pada masyarakat. Hal tersebut agak berubah ketika Uni Soviet dipimpin oleh Mikhail Gorbachev pada tahun 1985. Ia menerapkan kebijakan bernama glasnost yang artinya keterbukaan. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa glasnost berarti membolehkan negara-negara yang tergabung dalam Uni Soviet, untuk menyuarakan kehendaknya. Tak lama kemudian sejak glasnost diterapkan, Uni Soviet runtuh pada tahun 1991. 

Apa arti dari fakta sejarah tersebut? Artinya, keterbukaan dengan sendirinya akan membentuk demokrasi liberal dan otomatis juga, pasar bebas. Jika memang hari ini dunia sudah sangat terbuka -dan rasanya tidak mungkin untuk dikembalikan menjadi tertutup-, maka ramalan Fukuyama ada benarnya. Kita ada dalam situasi dimana kita tidak bisa bergerak menuju sesuatu lagi. Ibarat musik yang sudah selesai dengan segala kemungkinannya mulai dari kerumitan Bach, kecentilan Mozart, kebergejolakan Beethoven, kecanggihan Stravinsky, keminimalan Glass, ke-diam-an-nya Cage, hingga kepopuleran The Beatles. Pertanyaannya: Kita bisa membuat apa lagi sekarang? Kebaruan apa lagi yang mungkin kita lahirkan? Sama halnya dengan dunia ekonomi dan politik yang agaknya tidak bisa lagi kita lihat apa yang lebih baru dari hari ini. Hidup ada pada titik final dan kita berada pada akhir sejarah. 

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1