Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Fatimah Chen Chen: Pesan Tersirat dalam Nama-Nama


Jadi ceritanya begini: Istri saya punya teman semasa kuliah. Temannya semasa kuliah tersebut mengirimkan novel yang katanya "buku yang ditulis oleh ayahnya". Sebelumnya, saya tidak menduga novel apa gerangan dan siapa penulisnya. Ketika buku tersebut sampai, saya membaca judulnya terlebih dahulu yang tentu saja terpampang lebih besar dari nama sang penulis. Judul novel adalah Fatimah Chen Chen. Penulisnya? Motinggo Busye.

Fatimah Chen Chen berkisah tentang seorang perempuan Taiwan bernama Chen Chen yang menjadi muallaf setelah melalui berbagai kejadian. Tidak hanya dirinya sendiri, Chen Chen juga sanggup membuat seisi keluarganya tertarik pada Islam. Novel ini tampak sederhana, meskipun sebenarnya tidak. Sederhana karena pembaca manapun akan dengan mudah mengikuti alur ceritanya dan mungkin tidak butuh waktu lama untuk menghabiskannya -saya perlu tiga hari dan itu masih terlalu lama-. Gaya bahasa Motinggo sungguh lincah dan lugas. Ia memadatkan perubahan demi perubahan psikologis -terutama dari segi keimanan- yang dialami tokoh-tokohnya secara cepat tanpa transisi yang bertele-tele. Tidak sederhana karena Motinggo samar-samar membawa pesan. Nama-nama tokoh di dalam novel semisal Fatimah, Ja'far, Ali, dan Husein menunjukkan bahwa Fatimah Chen Chen mengusung ide keislaman yang masih dianggap minoritas dalam masyarakat kita.   

Meski demikian, ide tersebut tampak tidak dogmatis karena penulis menyisipkannya secara berhati-hati bahkan terkesan terlalu berhati-hati. Ia juga masih memasukkan berbagai adegan vulgar dalam Fatimah Chen Chen seolah mau menunjukkan bahwa pesan keislaman yang hadir jangan sampai terlalu tebal dan malah menjadi berlebihan. Kenyataan bahwa Chen Chen adalah orang Taiwan yang berasal dari keluarga berlatarbelakang tradisi Tionghoa yang cukup kental membawa para pembacanya menikmati juga kebijaksanaan dari negeri Tirai Bambu -Motinggo menghubungkannya lewat hadits Nabi yang isinya adalah himbauan untuk menuntut ilmu hingga ke negeri Cina-. Untuk saya pribadi, novel ini sangat indah dan pada titik tertentu berhasil merangsang sisi spiritual saya. Jika ada kesan terburu-buru dalam penulisannya -tampak dari bagaimana seisi keluarga menjadi Islam tanpa sebuah transisi maupun kegamangan batin yang serius-, saya bisa mengabaikannya. 

Terima kasih untuk Regina Fatimah Az-Zahra.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1