Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Riwayat yang Membosankan: Intelektualisme dan Menara Gading

 
 
Awal Maret kemarin, saya membaca salah satu cerpen dari Anton Chekhov yang berjudul Riwayat yang Membosankan. Seperti halnya Ruang Inap no. 6 –cerpen Chekhov lain yang kebetulan sudah saya tamatkan-, Riwayat yang Membosankan adalah cerpen yang tidak pendek (sekitar sembilan puluh halaman). Diseling berbagai kesibukan di kampus yang membuat waktu untuk membaca menjadi sedikit, cerpen tersebut berhasil saya tamatkan dengan susah payah ketika bulan berganti menjadi Mei. 

Setelah membaca Riwayat yang Membosankan, ada perasaan hening panjang yang tidak mengenakkan. Alasannya adalah ini: Isi dari cerpen tersebut adalah tentang kisah hidup seorang profesor kedokteran bernama Nikolai Stepanich, yang amat jemu dengan hidupnya, dan memandang segala sesuatu dengan pesimistis. Apa yang membuatnya muak, salah satunya, adalah kehidupan akademik dengan segala intelektualisme (bukan intelektualitas)-nya. Ini tentu saja menjadi teguran untuk saya yang menunda-nunda membaca cerpen ini karena alasan akademik –dan juga segala intelektualismenya-. Apa yang saya lakukan setiap hari kurang lebih adalah seperti apa yang Stepanich pikirkan tentang seorang doktor yang datang ke rumahnya, “Ia menulis karya ilmiah yang tidak berguna bagi siapapun, kemudian lulus lewat perdebatan yang membosankan, untuk mendapatkan gelar sarjana yang tidak ia perlukan.” 

Stepanich sendiri merupakan akademisi yang jauh dari kata gagal. Sebaliknya, justru ia sangat gemilang. Bahkan mungkin dapat dikatakan terlalu gemilang. Kegemilangannya tersebut membawanya pada kedudukan sosial yang luar biasa. Setiap harinya, ia dikunjungi oleh banyak tamu dengan beragam keperluan. Kemanapun ia pergi, ada saja awak media yang mengikutinya. Bahkan Stepanich mengatakan bahwa kegiatan mengajar sudah tidak menarik lagi karena apapun yang ia katakan, selalu memukau bagi orang lain. Sementara di balik itu semua, Stepanich mengalami kehidupan yang ia rasakan buruk, mulai dari istrinya yang ia sebut sebagai “Varya yang membosakan dan tidak lagi secantik dulu” sampai kesehatannya yang terus menerun sehingga detik demi detik ia merasakan bahwa setengah kakinya sudah berada di kuburan. Stepanich, meski berusaha tidak peduli dengan kematiannya, tetap gelisah karena kenyataan bahwa selama ini ia terus menerus memikirkan ilmu –sampai mengatakan bahwa ia sendiri adalah milik ilmu- tanpa tahu absurditas apa yang menanti di balik kematian. 

Riwayat yang Membosankan ditulis dengan gaya yang menarik. Chekhov membuat pembacanya merasa sedang didongengi sebuah cerita sukses yang diulang-ulang sehingga akhirnya malah terasa seperti sebuah kisah yang memuakkan. Terutama bagi saya pribadi, cerpen ini menohok berulang-ulang karena kenyataan bahwa saya, meski tidak segemilang Stepanich, berkubang di lingkungan yang sama. Dunia pikir memikir kadang memang terasa absurd karena apa yang ada di pikiran –yang bersifat abstrak- tidak punya hubungan dengan kenyataan. Hal tersebut diperparah dengan legitimasi institusional dan juga sosial bahwa kaum yang bergerak di dunia abstrak ini, justru adalah kaum yang terpandang dan layak diberi kedudukan tinggi. Walhasil, para intelektual berlomba-lomba menulis karya ilmiah –seperti doktor yang disindir oleh Stepanich-, mengajarkan ilmu-ilmu yang mungkin tidak ia pahami, dan mengabdi pada masyarakat yang ia sendiri tidak tahu apakah dengan demikian, ia betul-betul akan dikenang oleh masyarakat itu atau tidak. Semua itu memperkuat apa yang disebut oleh Antonio Gramsci sebagai intelektual tradisional. Intelektual tradisional adalah kaum yang berkutat di menara gading dan sibuk dengan teori-teorinya sendiri tanpa peduli apakah yang dipikirkannya berkesuaian dengan kenyataan atau tidak. Menjadi intelektual tradisional mungkin adalah hidup yang aman dan nyaman –duduk di ruangan ber-AC, gaji berlimpah, untuk kemudian meneliti tentang masyarakat miskin bermodalkan browsing- karena tidak pernah bersentuhan dengan kondisi yang sebenarnya. Kemudian, ketika perjalanan hidup seorang intelektual tradisional diurai dengan kata-kata, seperti halnya seorang Stepanich, mungkin hasilnya adalah sebuah riwayat yang membosankan.

Comments

  1. Dilihat dari ulasannya, rasa pesimis milik Stephanic juga saya rasakan dalam kehidupan saya sehari-hari sebagai mahasiswa Sastra Inggris. Melihat banyak orang, terutama teman-teman saya yang lulus terlebih dahulu dan amat sangat bangga dengan apa yang telah mereka capai membuat saya selalu bertanya dan kebingungan akan hal tersebut.

    Saya setuju dengan frase yang disematkan oleh Gramsci, 'intelektual tradisional', kepada banyak orang di kehidupan sosial kita dewasa ini.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1