Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Memahami Dunia Melalui Tubuh


(Dimuat dalam katalog pameran tunggal Setiawan Sabana yang berjudul Lakon Tubuh)  
 

Hampir setiap tradisi pemikiran, punya pendapatnya sendiri mengenai tubuh. Dalam Buddhisme misalnya, tubuh dan jiwa adalah satu dan tidak bisa dipisahkan –sama dengan apa yang dipikirkan oleh filsuf Prancis, Maurice Marleau-Ponty yang mengatakan bahwa, “Manusia adalah tubuh yang mer-ruh, dan ruh yang menubuh”-. Pemikir Yunani, Plato, mengatakan bahwa tubuh adalah penjara jiwa. Artinya, yang inti dari manusia, sebenarnya, adalah jiwanya –senada dengan tradisi Islam yang menyebutkan bahwa jiwa kita pernah melakukan perjanjian primordial dengan Tuhan di surga sana, sebelum menjadi lupa karena pengaruh tubuh dan ketertarikannya pada dunia-. Michel Foucault, seorang pemikir posmodern asal Prancis, malah berkata sebaliknya. Katanya, justru jiwa adalah penjara bagi tubuh. Mengapa? Karena tubuh kadang tidak leluasa bergerak oleh sebab jiwa yang terus gelisah menginginkan sesuatu. 

Namun mari fokus membicarakan tubuh dan posisinya dalam agama-agama Abrahamistik. Kristianitas, misalnya, menganggap tubuh itu sebagai suci, tapi juga bergelimang dosa. Tubuh adalah bait Allah, katanya, sehingga dilarang merusaknya oleh hal-hal seperti rajah, rokok, bahkan makanan-makanan yang tidak sehat. Namun dalam tradisi Kristen yang lain, justru tubuh itu menimbulkan “nafsu kedagingan” yang mengganggu kemurnian jiwa. Itu sebabnya, terdapat upacara tertentu yang mencoba mendisiplinkan tubuh itu sendiri dengan cara-cara yang asketik. 

Soal tubuh dalam Kristianitas itu sendiri, pernah digambarkan secara kontroversial dalam film The Last Temptaton of Christ oleh sutradara Martin Scorsese. Dalam film tersebut, disebutkan bahwa Yesus, oleh sebab tubuh manusianya, menjadi punya banyak sifat-sifat manusiawi yang justru bertentangan dengan keilahiannya, seperti rasa takut, sedih, marah, cemas, hingga gairah dan hasrat. Misalnya, ketika Yesus menghidupkan kembali Lazarus yang sudah meninggal, ditampakkan wajahnya yang penuh keheranan, ketakutan, dan jauh dari kesan-kesan yang menunjukkan bahwa dia punya “kesaktian” Ilahiah. 

Dari film tersebut kita bisa mengatakan bahwa tubuh, pada dasarnya, adalah identitas kemanusiaan yang paling hakiki. Ia juga medium terpenting bagi jiwa dalam rangka memahami dunia dengan segala kebahagiaan serta praharanya. Dalam tradisi Islam, kita lihat bahwa Muhammad, dengan cahaya Ilahi yang kuat di dalam dirinya –ditambah lagi jaminan bahwa ia akan masuk surga dan segala tindak tanduknya telah diberkati (di-ma’shum)-, masih merasakan kegelisahan yang besar ketika wahyu pertama turun padanya lewat malaikat Jibril. Ia banyak menyepi di Gua Hira dan tidak menunjukkan kegembiraan sama sekali dengan statusnya yang suci tersebut. 

Artinya, dalam diri orang tersuci sekalipun, tubuh membuat mereka menyadari dunia seutuhnya. Memahami bahwa dunia, tak mungkin dipahami dengan jiwa-jiwa yang murni dan terang senantiasa. Dunia harus dipahami segala realitas, kemajemukan, serta kenisbiannya, dengan segala totalitas yang hanya dipunyai oleh tubuh dengan segenap perangkatnya. 

Tubuh dan Via Positiva 

Dengan pendapat yang begitu berseliweran tentang tubuh, mulai dari yang membahas kesuciannya hingga kehinaannya, bagaimana seharusnya kita menyikapi keberadaan tubuh? Agak sulit untuk menjawab pertanyaan yang agak berbau retoris semacam itu. Mungkin jika kita mengaitkan posisi tubuh dalam tujuannya untuk mencapai pemahaman tentang sesuatu yang luhur, transenden, dan ilahiah, kita bisa mengambil dua sikap. Pertama, adalah via negativa, yaitu melalui tubuh, menolak dunia dan seisinya, dan menjalani kehidupan yang asketik dan menjauhi “kedagingan”. Kita bisa melihat sosok semacam ini pada diri orang-orang seperti bhiksu, pertapa, bahkan pastur. Orang-orang yang melakukan via negativa percaya bahwa tubuh harus didisplinkan, dikelola, dan bahkan kalau perlu, disiksa, agar yang murni hanyalah tinggal jiwa. 

Namun kemudian tidak semua orang menganggap via negativa adalah hal yang paling benar dalam mencapai kemurnian. Ada juga mereka yang via positiva, yaitu orang-orang yang merengkuh dunia sepenuhnya. Tentu ini ada kaitan erat dengan tubuh. Tubuh adalah medium terpenting bagi seseorang untuk mencerap segala yang disenangi oleh penginderaan. Tidak ada masalah bagi penganut pemikiran via positiva ini, untuk bersikap estetik, hedonistik, dan memanjakan tubuhnya seperti kaum Epikurean di zaman Hellenistik. Mereka percaya bahwa kenikmatan-kenikmatan badaniah adalah jalur spiritual terbaik dalam mencapai keilahian. 

Kita tahu bahwa dalam setiap sikap via positiva, selalu menanti rasa sakit sebagai konsekuensi dari setiap kenikmatan badaniah (misalnya, seseorang yang sangat dimanjakan oleh memakan eskrim, tentu akan merasa sakit ketika eskrim yang ia inginkan tidak dapat dibelinya). Rasa sakit itu juga yang sepertinya dihindari oleh para biksu dan pertapa, dengan menolak segala pemanjaan raga. Namun atas segala rasa sakit yang dibawa akibat kenikmatan badaniah tersebut, justru manusia dapat menemukan kemurniannya. Ia dapat merasakan hidup sebagaimana adanya. Bahkan seorang Siddharta Gautama, yang awalnya adalah seorang via negativa sejati dengan segala kehidupan yang asketik dan menjauhi “kedagingan”, pada akhirnya merasa bahwa dunia ini harus diselami dengan segala pahit dan getirnya. Demikian tubuh harus menjadi cara kita dalam –tidak hanya memahami, tapi juga- mencintai dunia dan seisinya. 

Amor Fati, Fatum Brutum

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1