Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Pekerjaan Rumah


 
Dari mulai tanggal 23 Desember 2015 hingga 2 Januari 2016 kemarin, saya ditinggal sendirian di rumah. Istri dan anak berlibur ke Jakarta. Meski demikian, tinggal sendiri ini bukan semata-mata karena keterpaksaan. Saya pribadi memilih untuk sendirian, alih-alih tidur di rumah orangtua yang jelas lebih nyaman dan tak perlu memikirkan kebersihan, kunci-kunci, lampu-lampu, makan pagi hingga malam, dan sebagainya. Mengapa saya memilih untuk sendirian? Alasannya sederhana -tapi bisa juga dikatakan rumit-: Saya ingin merasakan mengurus rumah seorang diri. Semoga dengan demikian, bisa timbul empati pada istri yang sehari-hari memang memfokuskan kegiatannya pada pekerjaan rumah tangga.

Ternyata memang saya rasakan pekerjaan rumah ini sungguh tidak ada habisnya. Sebelum tidur harus menutup korden, menyalakan lampu, dan memastikan pintu terkunci. Bangun tidur, saya harus melakukan hal yang sebaliknya. Perut lapar, hidangan tidak langsung terhidang. Saya harus menanak nasi, menyiapkan wajan untuk memasak (yang dimasak rata-rata tidak jauh dari kombinasi tahu dan telur), mengecek sisa air di dispenser, sampai yang terpenting: memperhitungkan berapa piring, gelas, dan sendok garpu kotor yang nanti harus saya cuci. Ada juga hal-hal yang di luar kapasitas tangan saya, seperti pel, sapu-sapu, sampai membereskan seprai bekas tidur dan juga memasukkan baju yang habis dicuci laundry ke dalam lemari.

Walhasil, rencana untuk lebih produktif membaca dan menulis karena tinggal sendiri malah gagal total. Waktu dan tenaga saya terkuras habis untuk pekerjaan rumah -tadinya saya pikir, jika waktu produktif saya sekitar sepuluh jam per hari, mau disisakan lima jam untuk beres-beres dan lima jam sisanya untuk membaca dan menulis-. Tapi saya tidak menyesal oleh sebab pelajaran hidup yang lebih berharga dari sekadar membaca dan menulis: Oh, ternyata mengerjakan pekerjaan rumah itu filosofis. Filosofis karena kita berurusan dengan hidup yang lebih konkrit. Kita tidak sedang membicarakan filsafat eksistensialisme yang katanya paling konkrit padahal tetap saja mengabstrakkan diri pada hal-hal terkait kegelisahan dan kecemasan. Tidakkah para tokoh eksistensialis yang didewakan macam Nietzsche, Kierkegaard, Camus, Dostoevsky, hingga Marcel, punya orang-orang yang membersihkan piring mereka sesudah makan, merapikan baju agar bisa difoto dengan epik, sampai menyiapkan kertas untuk mereka menulis? Mungkin saja, tapi orang-orang dengan pekerjaan "kecil" itu tidak pantas dituliskan dalam sejarah. Karena isi sejarah mungkin saja hanya tentang orang-orang yang tidak punya waktu untuk berkutat dengan pekerjaan rumah. Seperti para pemikir Yunani Kuno yang hanya bisa mentereng karena pekerjaan rumahnya sudah selesai oleh para budak.

Comments

  1. Begitulah kehidupan, banyak proses yang sudah dilalui melalui orang lain, yang nantinya bakal berhubungan dengan proses yang akan atau ingin kita lalui, syukurlah masih ingat untuk merawat diri sendiri , engke deui mah jadi rajin nyeuseuh hahaha...

    ReplyDelete
  2. Percuma nya urang bermusik di hotel bintang lima mun tara nyeuseuh! haha..

    ReplyDelete
  3. Dibalik pemikiran yang besar dan brilian, aya nu keur nyeuseuh...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1