Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Betawi dalam Sarnadi Adam

"Kalau orang Betawi itu.."

Entah berapa kali saya mendengar Pak Sarnadi Adam memulai kalimat dengan kata-kata itu. Meski cuma enam hari berjumpa dalam rangka pameran Asian Silk Link Art Exhibition di Guangzhou, Tiongkok, Pak Sarnadi berhasil membuat saya tertarik untuk mengenal lebih jauh tentang Betawi. Siapakah Pak Sarnadi? Cukup ketik di Google nama "Sarnadi Adam" maka akan ada 3200-an entri terkait nama ini dan hampir semuanya mengaitkan beliau dengan ke-Betawi-an. Secara spesifik bahkan disebutkan bahwa Sarnadi Adam adalah seorang "pelukis Betawi", "maestro seni lukis Betawi", hingga "pelukis Betawi yang go international". 

Tapi tentu, tiada yang lebih menguntungkan daripada punya kesempatan berbincang langsung dengan Pak Sarnadi selama enam hari -daripada sekadar baca-baca tentangnya di internet-. Saya jadi tahu, bahwa Pak Sarnadi pernah berambut gondrong; saya jadi tahu, bahwa setiap dua tahun sekali, Pak Sarnadi berpameran di Belanda yang membuat orang-orang Belanda yang sudah sepuh, merasa ingat pada Betawi ketika mereka pernah tinggal di sana masa-masa tempo doeloe; saya jadi tahu, bahwa Pak Sarnadi sangat dekat dengan tokoh-tokoh Betawi yang juga diketahui banyak orang, seperti seniman Benyamin, Rano Karno, Mandra, hingga politisi seperti Fauzi Bowo, Haji Lulung dan Sylviana Murni; saya jadi tahu, bahwa dari menjual lukisanlah, Pak Sarnadi bisa membeli mobil dan naik haji; saya jadi tahu, bahwa Pak Sarnadi sudah pernah berpameran di New York hingga ke Swedia; dan lain-lain, dan lain-lain. 

Meski demikian, hal menarik dari Pak Sarnadi adalah itu tadi: Kebanggaannya yang terus digaungkan atas Betawi dan orang-orangnya. Ketika ada obrolan yang ramai membicarakan tentang berkurangnya sopan santun generasi muda hari ini pada orangtua, Pak Sarnadi selalu menyela cepat, "Tidak, kalau orang Betawi masih mengerti sopan santun pada orang tua. Kami selalu diajarkan untuk cium tangan pada orang tua." Ketika ada obrolan yang ramai membicarakan tentang stereotip orang Betawi dalam film Si Doel Anak Sekolahan yang salah satunya direpresentasikan oleh Mandra (penuh kepolosan, bahkan kekonyolan), Pak Sarnadi juga menukas, "Tidak, kalau orang Betawi itu sebenarnya pintar-pintar. Banyak diantaranya juga jadi dokter. Mungkin memang ada, beberapa gelintir orang Betawi yang malas, itu karena hidupnya keenakan, sudah diwariskan rumah dari orangtuanya, sehingga dia tinggal kontrak-kontrakkan dan menerima uang sewa saja. Tapi sekarang lihat, generasi muda Betawi sudah banyak yang tangguh."

Persoalan apakah pernyataan-pernyataan Pak Sarnadi itu merupakan fakta objektif atau hanya sebatas "pembelaan kultural", sebenarnya tidak menjadi terlalu penting. Bahkan saya berpikir, kalaupun ini cuma pembelaan kultural, lantas kenapa? Bukankah pada akhirnya kita harus melakukan pembelaan kultural untuk meyakinkan orang lain, dan juga diri kita sendiri, sebagai bagian dari pengembaraan identitas yang tiada henti? Kita semua disibukkan, dalam percakapan sehari-hari, oleh pembelaan-pembelaan kebudayaan yang tiada putus antar satu manusia dan manusia yang lain. 

Saya tentu saja sekarang jadi punya pandangan lain tentang Betawi berkat pembelaan kultural Pak Sarnadi. Pembelaan tersebut tidak hanya dalam kata-kata, tapi juga didukung oleh karya-karya beliau yang sangat kuat dan jujur melukiskan fenomena keseharian dalam kebudayaan Betawi, seperti penari cokek, ondel-ondel, pernikahan orang Betawi, hingga suasana lebaran di Betawi. Sekarang jika saya mengenang percakapan-percakapan dengan Pak Sarnadi, saya akan membayangkan Betawi dengan senyum yang mengembang. 



Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat