Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Kelas Logika: Silogisme




Silogisme merupakan bentuk kegiatan akal budi tingkat ketiga yang dinamakan juga dengan argumentasi. Diklasifikasikan sebagai cara berpikir yang bersifat deduktif, silogisme sering juga disebut sebagai “jantung”-nya ilmu logika.

1. Unsur-Unsur Silogisme 

Kita bisa mulai pelajaran tentang silogisme ini dari contoh paling klasik yaitu sebagai berikut:

Semua manusia akan mati
Sokrates adalah manusia
Sokrates akan mati

Jika kita perhatikan silogisme, maka ada unsur-unsur sebagai berikut:

1.1. Terdapat tiga proposisi yang terdiri dari dua premis dan satu kesimpulan.
Dua premis: “Semua manusia akan mati” dan “Sokrates adalah manusia”; Satu kesimpulan: “Sokrates akan mati”.
1.2. Terdapat tiga term, yang mana setiap term digunakan dua kali.
Ada tiga term yaitu “manusia”, “mati”, dan “Sokrates”.
1.3. Subjek dari kesimpulan disebut juga dengan term minor.
Subjek dari kesimpulan: “Sokrates”.
1.4. Predikat dari kesimpulan disebut juga dengan term mayor.
Predikat dari kesimpulan: “mati”.
1.5. Term yang muncul di kedua premis tapi tidak muncul di kesimpulan disebut dengan term tengah.
Term tengah: “manusia” karena ada premis mayor dan premis minor, tapi tidak ada di kesimpulan.
1.6. Premis yang mengandung term mayor disebut dengan premis mayor.
Premis mayor: Premis yang mengandung kata “mati” yaitu “Semua manusia akan mati”.
1.7. Premis yang mengandung term minor disebut dengan premis minor.
Premis minor: Premis yang mengandung kata “Sokrates” yaitu “Sokrates akan mati”.

Hal penting yang harus diingat adalah kita tidak bisa identifikasi mana premis mayor dan mana premis minor sebelum melihat kesimpulan. Maka itu untuk mengetahui premis mayor dan premis minor, mesti diikuti tahapan-tahapan berikut:

1.8. Pertama-tama, kenali dulu kesimpulannya.
1.9. Setelah itu, kenali mana term minor dan term mayornya (yang bisa dilihat dari posisi subjek dan predikatnya).
1.10. Lalu kita bisa mengetahui mana premis mayor dan premis minornya.



2. Entimeme 

Kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari, jarang sekali kita secara sadar berpikir dengan tiga proposisi. Seringkali, kita hanya menggunakan dua proposisi dimana satunya tersembunyi. Ini disebut dengan entimeme (bahasa Yunani: entymeme yang artinya “disimpan dalam pikiran”). Misalnya: “Orang itu makan daging, berarti dia itu pemarah.” Jika kita bedah dalam suatu silogisme, maka ada satu proposisi yang hilang yaitu “Semua yang makan daging adalah pemarah.” Begini kira-kira lengkapnya:

Semua yang makan daging adalah pemarah
Orang itu makan daging
Orang itu pemarah

Sebenarnya kita bisa mencoba menyusun silogisme hanya dari kesimpulannya saja. Hal yang menjadi tantangan adalah mencari term tengahnya. Misalnya: Kalimat “Kucing adalah mamalia” bisa kita susun menjadi silogisme, dengan terlebih dahulu menempatkan subjek dari kesimpulan (kucing) yang berarti term minor ke posisi premis minor, dan menempatkan predikat dari kesimpulan (mamalia) yang berarti term mayor ke posisi premis mayor. Tantangan berikutnya adalah mencari term tengah. 

………. adalah mamalia
 Kucing adalah ……..
 Kucing adalah mamalia

Term tengah yang mungkin adalah “Hewan yang menyusui”. Sehingga silogisme lengkapnya adalah sebagai berikut:

Hewan yang menyusui adalah mamalia
Kucing adalah hewan yang menyusui
Kucing adalah mamalia

3. Bentuk Silogisme

Berdasarkan posisi term tengah, silogisme mempunyai empat bentuk. Empat bentuk silogisme tersebut adalah sebagai berikut:


Seperti yang dapat dilihat di gambar, bentuk I adalah bentuk silogisme yang term tengahnya di dalam premis mayor berkedudukan sebagai subjek, dan di dalam premis minor berkedudukan sebagai predikat.
Bentuk II adalah bentuk silogisme yang term tengahnya baik di dalam premis mayor maupun di dalam premis minor berkedudukan sebagai predikat.
Bentuk III adalah bentuk silogisme yang term tengahnya baik di dalam premis mayor maupun di dalam premis minor berkedudukan sebagai subjek.
Bentuk IV adalah bentuk silogisme yang term tengahnya di dalam premis mayor berkedudukan sebagai predikat, dan di dalam premis minor berkedudukan sebagai subjek.

4. Corak Silogisme 

Berdasarkan bentuk silogisme di atas, maka corak yang valid (ingat pelajaran tentang proposisi di bab sebelumnya) adalah sebagai berikut (yang diberi kurung adalah cara mudah untuk menghapalkannya):
Bentuk I: AAA (Barbara), AII (Darii), EAE (Celarent), EIO (Ferio)
Bentuk II: AEE (Camestres), EAE (Cecare), EIO (Festino), AOO
Bentuk III: AAI (Darapti), AII (Datisi), IAI (Disamis), EAO (Felapton), EIO (Ferison), OAO (Bocardo)
Bentuk IV: AAI (Bramantip), Camenes (AEE), EAO (Fesapo), EIO (Fresison), IAI (Dimaris)

5. Validitas Silogisme 

Untuk memeriksa validitas silogisme, maka harus melewati aturan dasar dan juga aksioma. Aturan dasar silogisme adalah sebagai berikut:
5.1. Silogisme terdiri atas hanya tiga proposisi.
5.2. Tiap proposisi dirumuskan dalam salah satu bentuk dari proposisi tradisional, yakni proposisi A, E, I, dan O.
5.3. Tiap silogisme memuat hanya tiga term.

Setelah melalui tiga aturan dasar tersebut, kemudian ada aksioma yang harus dilewati agar silogisme menjadi valid. Aksioma tersebut ada lima, yaitu sebagai berikut:
5.4. Sekurang-kurangnya satu term tengah harus didistribusi.
5.5. Term yang di dalam kesimpulannya didistribusi, harus didistribusi juga di dalam premisnya.
5.6. Sekurang-kurangnya satu premis harus afirmatif.
5.7. Jika salah satu premisnya negatif, maka kesimpulannya juga harus negatif.
5.8. Jika premis dua-duanya afirmatif, maka kesimpulan juga harus afirmatif.


6. Distribusi term 

Pada aksioma silogisme, disebutkan tentang distribusi term. Pembahasan ini sebenarnya agak mundur ke belakang (di bagian proposisi), namun tidak ada salahnya dijelaskan setelah aksioma silogisme. Distribusi term adalah penentuan apakah sebuah term dalam sebuah proposisi ditujukan kepada semua atau hanya ditujukan kepada sebagian saja dari anggota kelas yang berkedudukan sebagai term tersebut di dalam proposisi yang bersangkutan. Sebuah term dikatakan terdistribusi, jika term itu ditujukan kepada semua anggota kelas yang berkedudukan sebagai term tersebut di dalam proposisi yang bersangkutan. Sebuah term dikatakan tidak didistribusi, jika term itu ditujukan kepada sebagian saja dari anggota kelas yang berkedudukan sebagai term tersebut di dalam proposisi yang bersangkutan. 

Pada proposisi A (Universal Afirmatif), term subjeknya didistribusi, sedangkan term predikatnya tidak didistribusi. Misalnya, pada proposisi “Semua kuda adalah binatang”, term “kuda” dalam konteks proposisi itu mencakup semua anggota kelas “kuda” (jadi didistribusi), sedangkan term “binatang” mencakup hanya beberapa anggota kelas “binatang” (jadi tidak didistribusi). 

Pada proposisi E (Universal Negatif), baik term subjek maupun predikatnya didistribusi. Misalnya, pada proposisi “Semua mahasiswa adalah bukan penyontek”, term “mahasiswa” dalam konteks proposisi tadi ditujukan kepada semua anggota kelas “mahasiswa”, dan term “penyontek” dalam konteks proposisi tersebut juga ditujukan kepada semua anggota kelas “penyontek”. 

Pada proposisi I (Partikular Afirmatif), baik term subjek maupun term predikatnya dua-duanya tidak didistribusi. Misalnya, pada proposisi “Beberapa mahasiswi adalah peragawati”, term “mahasiswi” dalam konteks proposisi tadi ditujukan pada sebagian dari anggota kelas “mahasiswi” dan term “peragawati” dalam konteks proposisi tersebut juga ditujukan hanya kepada bagian anggota kelas “peragawati”. 

Pada proposisi O (Partikular Negatif), term subjeknya tidak didistribusi, tetapi term predikatnya didistribusi. Misalnya, pada proposisi “Beberapa mahasiswi adalah bukan peragawati”, term “mahasiswi” dalam konteks proposisi tadi hanya mencakup beberapa anggota kelas “mahasiswi”, tetapi term “peragawati” dalam konteks proposisi tersebut ditujukan pada semua anggota kelas “peragawati”. 

Namun pada intinya, jika ingin disederhanakan (terutama untuk bagian predikat yang sedikit membingungkan), predikat dari proposisi afirmatif selalu tidak didistribusi, dan predikat dari proposisi negatif selalu didistribusi.




Daftar Pustaka:

  • Kreeft, Peter. 2010. Socratic Logic. St. Augustine’s Press  
  • Sidharta, Arief. 2008. Pengantar Logika: Sebuah Langkah Pertama Pengenalan Medan Telaah. Bandung: Refika Aditama.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1