Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"? Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer
Bulan Ramadhan telah datang, dan umat Muslim di Indonesia pada umumnya berpuasa – atau setidaknya, begitulah kelihatannya-. Seperti kita ketahui secara umum, puasa berarti menahan diri dari segala kenikmatan badani seperti makan, minum, dan seks. Tidak hanya itu, puasa juga menekan nafsu-nafsu negatif lainnya seperti membicarakan kejelekan orang lain, menghina, melihat hal-hal tidak senonoh, atau mungkin juga, menyebarkan hoax (untuk yang terakhir ini, belum kelihatan buktinya).
Namun ada hal yang tidak pernah dibahas sebagai bagian dari nafsu “negatif” yang faktanya terjadi saat bulan puasa hingga nanti lebaran, yaitu nafsu berbelanja. Menjadi konsumtif adalah salah satu tren yang umum terjadi di Indonesia pada periode ini. Misalnya, yang biasanya makan di rumah, karena sekarang makan menjadi momen istimewa, maka lebih indah jika makan itu beli jadi, atau sekalian di restoran, sambil reuni. Menjelang lebaran nanti, apalagi. Baju baru menjadi tujuan hidup yang utama, karena seolah menjadi simbol bagi sebuah hidup baru yang penuh kesucian. Kadang tidak hanya baju baru, tapi bisa juga mobil baru atau bahkan rumah baru.
Berbelanja memang bukan suatu “dosa”. Malah perniagaan itu sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad. Menjadi konsumtif berarti juga menggerakkan roda ekonomi dan menjadikan pihak-pihak tertentu merasa diuntungkan. Namun mari berpikir sejenak dan menjauhkan diri dari keriuhan: Apakah berbelanja sekarang ini lebih sentral dan lebih esensial dari ibadah puasa itu sendiri? Mari juga merenungkan: Sebenarnya, puasa itu, untuk apa, sih?
Puasa tidak hanya milik umat Muslim. Tradisi-tradisi keagamaan lain juga punya puasanya sendiri. Misalnya, kepercayaan Baha’i punya periode puasa sembilan belas hari di bulan Maret yang disebut sebagai bulan ‘Ala’; Buddhisme pun demikian adanya. Puasa dijadikan bagian dari meditasi demi mencapai kesehatan jasmani dan rohani; Belum lagi kaum Nasrani punya versi puasanya yang lain -yang berbeda juga dengan Yudaisme, Jainisme, Sikhisme, dan sebagainya-.
Puasa, walaupun berbeda-beda asupannya, atau juga waktunya, tapi intinya tetap satu: Menahan diri. Puasa mungkin semacam latihan agar tubuh ini tidak “nakal” dan malah menjadi terlatih senantiasa -tidak sedikit-sedikit tunduk pada hawa nafsu-. Asumsinya, jika tubuh ini berhasil dijinakkan, maka jiwa manusia akan lebih sampai untuk memahami sang khalik. Seperti kata Plato: Tubuh adalah penjara jiwa.
Maka itulah, jika puasa adalah latihan, maka mungkin tujuannya kira-kira: mengerem segala sesuatu agar nafsu dan tindakan tidak selalu bertalian. Belanja, harus diakui, adalah sebuah kegiatan yang tidak jarang, didasari juga oleh nafsu. Misalnya, nafsu ingin memiliki, nafsu mendapat pengakuan, ataupun nafsu untuk menjustifikasi bahwa kita harus membeli ini karena kita sudah “menderita” sepanjang hari. “Saya kan, sudah menahan lapar dan haus selama satu bulan. Apa salahnya, sih, setelah itu, makan bermewah-mewah dengan baju-baju indah,” ujar seseorang, mungkin.
Jadi, apakah kita masih ingat dengan tujuan berpuasa? Atau jangan-jangan, puasa telah dikomodifikasi secara sistematis sehingga orang-orang menjadi lupa akan tujuan utamanya? Belum apa-apa, di televisi, sudah muncul iklan sirup yang menyatakan bahwa berbuka puasa bagusnya dengan sirup tersebut; belum apa-apa, sudah muncul iklan baju koko dan sarung apa yang tepat untuk kita nanti solat Idul Fitri; belum apa-apa, lagu-lagu Islami sudah diputar di berbagai toko ataupun restoran sehingga kita merasa berpahala ketika tengah mengonsumsi; belum apa-apa, tiket kereta sudah diborong karena keharusan untuk mudik; belum apa-apa, sudah memilih barang mana yang harus digadaikan agar bisa pulang kampung nanti.
Dunia yang kian kapitalistik memang telah mengaburkan batas antara yang profan dan yang sakral. Misalnya, ketika natal di Prancis, orang tidak lagi saling menyapa dengan “Selamat Natal!” tapi “Bonne fÄ•te!” yang jika diartikan kurang lebih: “Selamat berpesta!”. Tapi hal yang semacam itu tidak terlalu salah juga. Agama dan kapitalisme memang punya hubungan mesra sudah sejak lama. Orang tidak akan merasa keberatan keluar uang banyak asalkan itu punya motif agama – sama halnya dengan hubungan kapitalisme dengan anak-anak, yang orangtua manapun kelihatannya susah menolak jika harus membeli sesuatu untuk kepentingan anaknya-.
Suka tidak suka, fenomena di Indonesia juga sudah mulai seperti itu, meski orang masih malu-malu. Inginnya, sih, saling menyapa seperti ini, “Selamat menunaikan ibadah berbelanja. Mohon maaf lahir dan batin, karena saya, tahun ini, akan mengonsumsi lebih banyak dari tahun kemarin.”
Sumber gambar: http://www.zerohedge.com/news/2014-05-27/religion-cosnumerism |
Comments
Post a Comment