Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Balada Mart Mart yang Mengepung Toko Kelontong Tak Bernama


Sejak saya kecil, di dekat rumah berdiri sebuah toko kelontong tanpa nama. Kami hanya menyebutnya: warung Bu Yana. Lalu di daerah tempat saya pernah tinggal, juga ada toko kelontong tanpa nama, yang masyhur orang menyebutnya dengan warung Bu Agus. Keberadaan mereka jauh lebih awal daripada mulai datangnya gerai swalayan kecil macam Indomaret, Alfamart, dan –mart –mart lainnya. 

Saya tidak tahu bagaimana pengaruh keberadaan gerai swalayan kecil terhadap toko-toko kelontong tanpa nama seperti warung Bu Yana dan Bu Agus. Hal yang pasti adalah belasan bahkan puluhan tahun, kedua toko kelontong tanpa nama yang saya tahu itu, tetap berjalan – Bu Yana malah sudah bercucu, dan masih juga jaga toko kelontong -. 

Indomaret atau Alfamart memang menawarkan kemudahan. Tanpa berbasa-basi, kita masuk gerai, memilih sendiri apa yang mau kita beli, lalu dengan cepat membayarnya di kasir. Memang ada interaksi, tapi hanya sebentuk SOP yang kaku, yang bisa diabaikan dengan menjawab super cepat: “Nggak”, “Nggak”, dan “Nggak”, atas pertanyaan yang kira-kira seputar: “Pulsanya sekalian?”, “Beli apa lagi?”, “Ada membernya?”, “Pakai kantong plastik?” dan lain-lain yang bagi kita, yang sudah rajin berbelanja di Indomaret atau Alfamart, sudah tahu bahwa itu pasti akan ditanyakan. 

Berbelanja di Bu Yana atau Bu Agus pastilah sangat melelahkan bagi mereka yang malas berinteraksi. Pertama, karena posisi mereka sebagai penjaga toko ada di balik etalase, maka otomatis kita sebagai pembeli tidak bisa melakukan segala sesuatunya secara swalayan. Kita harus terlebih dahulu bertanya pada mereka: “Ada sabun?”, “Ada obat nyamuk bakar?”, “Ada kerupuk?” untuk kemudian dicarikan, dan tentu saja makan waktu. Kedua, model pembayarannya tidak sepraktis Indomaret atau Alfamart. Kadang susah untuk cari kembalian jika uangnya besar dan yang hampir pasti: Tidak ada mesin debit atau kredit bagi kita penganut cashless society

Namun mari kita melihat secara genealogis kenapa warga sekitar mengingat nama mereka: Bu Yana dan Bu Agus. Sementara itu, siapakah gerangan diantara kita yang mengingat nama kasir Indomaret atau Alfamart? Ini jelas, karena interaksi itulah. Pada Bu Yana dan Bu Agus, posisi mereka sebagai manusia masih hadir dan menjadi suatu sentral bagi transaksi ekonomi yang oleh Indomaret dan Alfamart justru dipinggirkan. Itu sebabnya nama Bu Yana dan Bu Agus diingat, karena selain berdagang, ada juga sisipan-sisipan gosip aktual terkait warga, yang dalam konteks itu menciptakan semacam “dialektika masyarakat” yang konkrit. 

Secara ekonomi, kita juga bisa menduga bahwa ketahanan Bu Yana dan Bu Agus di tengah mengguritanya gerai swalayan kecil, disebabkan oleh sosok mereka sebagai “sisa-sisa kemanusiaan” dalam transaksi ekonomi. Pada dasarnya, masih ada, dan akan selalu ada, orang-orang yang merindukan tempo hidup yang lambat, yang dipenuhi interupsi berupa nongkrong sambil bergosip, serta menjadikan hal-hal berbau ekonomi, tidak lebih tinggi dari kemanusiaan itu sendiri. 

Mungkin saja: hanya jika Indomaret, Alfamart, dan rupa-rupa –mart itu sudah terlampau merajalela hingga toko kelontong tak bernama tak lagi bersisa, maka kita bisa menduga bahwa kemanusiaan tengah di ambang binasa.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1