Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Filsafat Ngopi

(Ditulis sebagai suplemen diskusi "Flaneur #1 - Filsafat Ngopi", 16 September 2019 di Jali Book Cafe, Karawang)


“Ngopi”, “Ngopi”, dalam kultur masyarakat kita, tidak selalu tentang minum kopi dalam artian sebenarnya. Istilah “Ngopi yuk” itu bisa saja ajakan untuk minum teh, merokok, atau bahkan makan gorengan! Tapi hal yang pasti, ngopi adalah ajakan untuk menghabiskan waktu luang, bersantai, dan keluar dari suasana formil. Kata formil yang disebut terakhir tadi menarik untuk dibahas. Suasana formil adalah suasana yang serius dan baku. 

Untuk apa manusia menciptakan suasana formil? Mungkin, dalam suasana formil, segala sesuatu menjadi lebih kredibel dan bermartabat. Misalnya, seorang dokter, ketika menyampaikan diagnosa, tidak bisa sambil merokok dan makan gorengan. Selain kontradiktif dengan keilmuan medisnya, hal demikian juga akan menurunkan tingkat kepercayaan pasien terhadap ucapan si dokter. Atau, lainnya, seorang hakim, saat membacakan putusan, apakah etis jika ia melakukannya sambil minum kopi dan cekikikan? 

Tapi manusia tidak bisa selalu dalam kondisi formil. Mungkin karena kenyataan bahwa kita tidak harus terus berusaha keras untuk menghayati profesi kita. Hakim adalah manusia, dokter adalah manusia, pebisnis juga manusia, dan seterusnya. Maka itu, manusia perlu untuk mencari momentum kapan ia melepaskan diri dari perannya yang formil, yang mana sesuai bahasan sekarang ini, adalah ketika ngopi. Saat ngopi, orang melepaskan keformilannya. Ia menjadi manusia, dalam artian, menjadi dirinya sendiri, atau bahkan secara bebas melakukan eksplorasi untuk mencari dirinya sendiri. Pada saat-saat ngopi, orang tak perlu membicarakan sesuatu yang punya arah, tujuan, ataupun fungsi praktis. Orang melakukan sesuatu demi momentum itu sendiri. 

Tapi tentu saja ada juga hal-hal serius yang dibicarakan sambil ngopi. Sambil ngopi, dua pebisnis bisa saja membicarakan perjanjian hingga ratusan milyar, atau sepuluh aktivis membicarakan bagaimana cara menyuarakan kemerdekaan suatu propinsi. Namun tetap, kopi, gorengan, teh, rokok, bir, atau apapun itu makanan dan minuman yang bisa dikonsumsi sambil bicara dan menyimak, akan membuat ruang dan waktu terasa lebih rileks (tentu saja, susah membicarakan topik serius jika sambil makan sate, misalnya). Artinya, ngopi adalah kegiatan menyantap seperangkat makanan yang kurang lebih memerlukan waktu untuk menghabiskannya dan bisa dilakukan sambil berpikir. Selain itu, juga sudah teruji dari zaman ke zaman, bahwa apa yang disebut di atas, bagi banyak orang, adalah stimulan peningkat konsentrasi. Jadi ngopi adalah juga santai, tapi merupakan momen dimana konsentrasi justru menjadi lebih baik. Banyak putusan-putusan besar lahir dari kegiatan ngopi, seperti Revolusi Prancis yang dimulai dari salon, hingga ide-ide kebangsaan Soekarno yang muncul mula-mula dari ngopi di Algemene Study Club. Dalam kegiatan ngopi, ada rangsangan untuk sampai pada ide-ide yang abstrak dan reflektif, yang sukar diperoleh dalam waktu-waktu formil – oleh sebab ikatannya pada peran yang sudah baku -. 

Ngopi adalah juga resolusi konflik. Mengapa bisa menjadi resolusi konflik? Karena mendudukkan pihak-pihak yang bertikai pada posisi yang lebih egaliter. Jika ada kelompok pemuda merampas buku berbau komunisme di sebuah toko buku, ajak mereka ngopi, dan beritahu secara baik-baik bahwa TAP MPRS Nomor XXV tahun 1966 sudah kurang relevan. Jika ada mikro-fasisme di dalam kelas, ketika dosen mengajar sesuai kehendaknya dan mahasiswa harus nurut saja, maka mahasiswa sudah seyogianya mengajak dosen tersebut ngopi, agar diskusi keilmuan bisa lebih setara, dan mungkin saja dapat ditemukan ada gejala insecurity dalam diri dosen tersebut sehingga dia harus galak. 

Dalam ngopi, kita bisa menyinggung hal-hal personal secara lebih santai, dan menemukan bahwa pada dua pihak yang bertikai, bisa jadi ditemukan kesamaan yang indah, seperti misalnya anaknya sama-sama disekolahkan di SD yang sama. Ngopi adalah perayaan terhadap kemanusiaan. Aktivitas yang masih memberikan penghargaan terhadap eksistensi melalui tatap muka. Belum ada pertemuan dunia maya dikatakan ngopi, karena ngopi masihlah terasosiasikan dengan duduk bersama secara nyata. Dalam ngopi, kita saling menatap wajah. Wajah yang, kata Emmanuel Levinas, menjadi dasar bagi segala tindak tanduk etis kita. Dalam ngopi, segala komunikasi mikro menyampaikan pesan, dari mulai cara memegang gelas sampai cara membayar kopi. Semua punya penilaian tersendiri, jadi ukuran-ukuran kemanusiaan yang lebih hakiki daripada saat kita di “panggung utama”. 

Terakhir, ngopi juga ilahiah. Mungkin di alam sana, Tuhan tidak senantiasa memerhatikan hidup kita sambil melotot dan memegang kalkulator dosa – pahala. Tuhan mungkin santai saja memandangi manusia, sambil ngopi, lalu berkata sesekali, “Oh, dia dipecat dari pekerjaannya, sudah kuduga. Tenang, nanti ada kebaikan mengikutinya.” Tuhan suka ngopi, dan maka itu Dia selalu punya waktu untuk menyayangi kita semua.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1