Skip to main content

Spiritualitas dalam Joged Gemoy

  (Ini adalah teks Filtum [Filsafat Tujuh Menit] yang dibacakan pada live IG Kelas Isolasi, 12 Maret 2024) Ya, kita tahu siapa yang pasti menang pada pilpres tahun ini. Orang yang dalam kampanyenya mengandalkan suatu gerakan tari yang dilabeli sebagai joged gemoy. Meskipun cerita tentang ini sudah beredar luas, saya harus ulas sedikit tentang darimana asal usul joged gemoy ini berdasarkan pengakuan Prabowo sendiri dalam podcast Deddy Corbuzier. Menurut Prabowo, gaya joged tersebut terinspirasi dari joged spontan yang dilakukan kakeknya, Pak Margono. Usut punya usut, ternyata gaya tersebut masih ada kaitannya dengan kisah pewayangan, "Kakek saya orang Jawa dari Banyumas, zaman itu belum ada televisi, jadi hiburannya wayang," kata Prabowo mulai bercerita. Dalam sebuah cerita wayang (yang diperagakan wayang orang itu), sang kakek merasa senang dengan sosok tokoh Pandawa dan Kurawa di mana gerakannya seperti orang yang sedang melakukan pencak silat. "Pandawa dan Kurawa, p

Bidadari Merah Putih: Brecht Sa-Brecht-Brecht-Na

Analisis Pertunjukan sebagai Penonton (Padahal aslinya Penata Musik) 


Kita bisa mulai menganalisis teater Bidadari Merah Putih (selanjutnya disebut dengan BMP) dari sudut pandang estetikanya. Pertama, BMP menyajikan cukup banyak adegan, dengan hubungan yang seringkali tidak terlalu linear - atau ada distraksi-distraksi yang membuat penonton bertanya-tanya, untuk apa ada adegan ini? -. Kedua, dalam pertunjukan ini, kita bisa melihat aktor memerankan beberapa peran, mulai dari tokoh utama sampai menjadi properti seperti "bunga" dan "putri malu". Ketiga, BMP juga sering sekali melakukan "breaking the fourth wall" atau teknik berbicara pada penonton seperti dialog tokoh Jaya Mugiri berikut ini: 

"Eh penonton, tingalikeun, maenya rek mabok wae meni Demi Alloh." 

Ketiga hal tersebut merupakan ciri kuat dari bentuk teater Brechtian yang digagas oleh Bertolt Brecht. Misalnya, kaitannya dengan "breaking the fourth wall", gagasannya adalah seperti dituliskan oleh John Willet dalam Brecht on Theatre (1964): 

"The use of direct audience-address is one way of disrupting stage illusion and generating the distancing effect." 

Sementara perubahan-perubahan peran juga adalah sebagai suatu metode dari Brecht untuk menghindari empati berlebihan dari penonton pada tokoh tertentu saja (sebagaimana terjadi pada umumnya pertunjukan yang mengedepankan gaya akting Stanislavskian). Ini dilakukan Brecht sebagai cara untuk menumbuhkan empati-intelektual, bukan empati-emosional, sebagaimana dituliskan oleh Fredric Jameson dalam Brecht and Method (1998): 

"By being thus 'distanced' emotionally from the characters and the action on stage, the audience could be able to reach such an intellectual level of understanding (or intellectual empathy).

Jadi kita bisa katakan bahwa BMP, dalam permainannya di atas panggung, selalu berusaha menjaga jarak dengan penonton lewat teknik-teknik di atas. Misalnya, narator muncul secara bergantian, yang tidak hanya menyapa penonton, tapi juga menyapa sesama aktor. Belum lagi aktor longser, Ari Jon, juga sering dimasukkan secara tiba-tiba oleh sutradara, sebagai cara untuk menginterupsi seluruh pertunjukan, baik dari sudut pandang penonton maupun pemain itu sendiri. Kehadirannya menyeruak begitu saja, dalam momen-momen yang tidak terprediksi, membuat aktor lain harus cukup siap untuk mengantisipasi dan meresponsnya. 

Pertanyaan besarnya, apa yang diharapkan dari sebuah pertunjukan dengan gaya Brecht? Brecht menyatakannya sambil melayangkan kritik pada gaya Stanislavsky, yang menurutnya "mengilusi penonton pada level empati yang seringkali menjadikan mereka lupa pada keadaan sekitar". Brecht ingin agar pertunjukan teater adalah pertunjukan santai seperti halnya menonton tinju. Dengan demikian pesan-pesan moral ataupun kritik sosial justru lebih tersampaikan karena penonton senantiasa dalam kondisi sadar ketika menyaksikan pertunjukan. 

Ini diperlukan tentu saja, dalam konteks BMP karena sang sutradara, Yusef Muldiana, memang begitu kental menyajikan kritik sosial. Ini pertunjukan tentang dua tokoh politisi yang berpoligami, yang satu istrinya dua, satu lagi istrinya empat. Keduanya memperebutkan kursi kekuasaan, dan dalam kapasitasnya yang belum jadi pemimpin pun, mereka digambarkan sudah berani melakukan pemberangusan terhadap kebebasan. Imbasnya jadi meluas pada kisah cinta anak-anak mereka. Cinta jadi terbatas pada aspek-aspek transaksional ekonomi maupun politik yang tidak lepas dari ambisi para orangtua. 

Selain disampaikan melalui komedi yang segar sekaligus satir, bisa jadi dengan suguhan teater yang "Brecht Sa-Brecht-Brecht-na" saja, kritik sosial dalam BMP menjadi lebih mengena.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1