Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Menjadi Pimpro Harpa Nusantara







Tawaran untuk menjadi pimpinan produksi Harpa Nusantara itu saya ingat sekali, tanggal 1 Maret 2019. Waktu itu Sisca dan suami datang ke restoran Truno 58, karena saya sedang ada tampil di sana. Sisca bertanya apakah kira-kira yang bisa dilakukan untuk konsernya? Karena dia kurang sreg dengan konsep konser yang megah dan melibatkan banyak artis (komersil) - seperti yang katanya sudah dibicarakan dengan beberapa temannya -. 

Inilah yang membuat saya senang mendengarnya. Sisca, si pemain guzheng dan harpa yang nyaris lekat dengan dunia "weddingan" tersebut, ternyata sedang mencari bentuk pertunjukan yang kiranya lebih relevan dengan renungan dan pencariannya. Saya bisa membayangkan apa yang ada di benaknya: Tidakkah harus ada hal yang lebih agung, yang mesti dicapai lewat seni, yang tentunya sekaligus lebih ugahari daripada panggung nikahan ke nikahan? Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat pada panggung nikahan, tapi seni, bagaimanapun, punya fungsi-fungsi lain yang tak kalah sakral, spiritual, dan bersifat katarsis. 

Sebenarnya Sisca, dan suaminya, Pak Sugih, adalah duet yang sangat rinci dalam mengurusi banyak hal. Artinya, saya tidak bisa dikatakan mengorganisasi seluruh produksi karena mereka pun begitu aktif dalam bergerak mengatasi satu demi satu persoalan (yang sangat banyak). Namun persiapan hampir enam bulan ini - mungkin bagi Sisca satu tahun karena juga terkait pembuatan empat harpanya yang lumayan rumit - adalah persiapan yang lebih dari sekadar produksi. Obrolan kami nyaris tiap hari via WA, adalah juga tentang bagaimana membuat kami sendiri yakin, bahwa Harpa Nusantara adalah konser yang penting, brilian, dan punya nilai lebih di kemudian hari. Jadi obrolan kami tidak seperti dua orang yang berbisnis: hanya tegur sapa bicara pembayaran dan ceklis persiapan, tapi juga masuk pada wilayah kultural dan filosofis. Mungkin saja, tanpa bermaksud ge-er, dan tentu saja tanpa mengabaikan keajaiban musik Iman Ulle dan tata artistik dahsyat dari Aji Sangiaji, konser Harpa Nusantara tadi malam begitu terasa sekali sebagaimana pepatah bersahaja mengatakan: "Apa yang dari hati, akan sampai juga ke hati". 

Konser Harpa Nusantara berakhir. Kelihatannya apa yang kami cita-citakan sejak semula, tidak jauh berbeda dengan kenyataannya. Tentu saja, ada kekurangan sana sini, itu pasti, karena harus jujur dikata, persiapan Harpa Nusantara secara teknis begitu rumit dan berdarah. Namun setelah tirai pertunjukan ditutup dan penonton melakukan "standing applause", kami sadari sesuatu, tentang bagaimana seni dapat mengubah hidup manusia: rasa haru yang timbul dari merasakan suatu keindahan, akan berdenyut senantiasa, dan memanggil-manggil, ketika kita, siapapun itu, berhadapan dengan hal-hal yang bertentangan dengan rasa kemanusiaan. Di situlah letak seni yang menyucikan. 

Selamat untuk Sisca Guzheng Harp, jangan kapok! 

Kredit foto: Agus Bebeng

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1