Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Perayaan Kebudayaan dalam Harpa Nusantara

(Tulisan sambutan untuk konser Harpa Nusantara dari Sisca Guzheng Harp, Gedung Kesenian Rumentang Siang, 30 September 2019)


Sisca Guzheng Harp adalah musisi yang cukup lama saya kenal. Dulu, sekitar delapan tahun lalu, kami bersama-sama menjadi pemain reguler di Hilton, dengan dia menjadi pianis dan saya menjadi gitaris. Tak lama kemudian saya tahu juga bahwa dia ternyata lebih memfokuskan penguasaan instrumennya pada guzheng (kecapi Tiongkok) dan harpa - yang kemudian kita ketahui dari mana asal muasal nama panggungnya -. 

Hal yang baru saya ketahui belakangan adalah ini: Sisca ternyata punya perhatian lebih pada tradisi dan sekaligus juga kemasakinian. Tentu masa kini ini ada dua aspek, yaitu aspek populer dan aspek kontemporer dalam arti "new movement". Ini terlihat sekurang-kurangnya dari aktivitas Sisca yang selain bermain untuk dimensi hiburan (baca: "weddingan"), juga untuk acara-acara apresiatif seperti teater, puisi, dan musik yang "tidak biasa". Misalnya, terakhir, saya melihat sendiri bagaimana Sisca dengan lihainya melakukan eksplorasi musik dalam pertunjukan Hades Fading karya Sandra Fiona Long, dengan memperlakukan guzheng-nya secara tidak konvensional. Rupanya, rekam jejaknya pun menunjukkan bahwa Sisca, meski sebentar, pernah bersentuhan dengan legenda "musik baru" Indonesia, Slamet Abdul Sjukur. 

Maka itu bukanlah hal yang datang dari ruang hampa ketika Sisca merancang konser Harpa Nusantara. Pemikirannya agaknya timbul dari elaborasi yang manis antara pikirannya yang ke depan, kecintaannya pada tradisi Nusantara, tanpa mengabaikan peluang bahwa konsep ini bisa dilanjutkan secara komersil karena kelihatannya belum ada yang serius menggarapnya selain Sisca. 

Sisca memang seorang keturunan Tionghoa, dan maka itu mungkin diantara kita timbul pertanyaan sejauh mana kelekatan dia pada aspek-aspek tradisi Nusantara. Untuk konser ini, ke-Nusantara-an "masih" sebatas pada aspek-aspek motif dan visual yang melekat pada harpa, yaitu empat prototipe dengan motif lokal yaitu Toraja, Kawung, Dewi Sri, dan Mega Mendung. Eksperimen ini bukannya tidak terbuka pada kemungkinan kritik, seperti misalnya: mengapa aspek-aspek tidak pada riset terhadap kekhasan alat petik Nusantara saja, yang karakteristiknya seperti harpa? 

Namun agaknya kita tidak bisa merta membebankan idealisme semacam itu secara langsung, pada seniman yang tengah berjuang membumikan latar belakang ke-Tionghoa-an nya pada dimensi ke-Nusantara-an yang begitu luas dan juga masih dinamis. Singkat kata: Sisca memulainya, dan membuka wacana penting bagi kita semua, tentang betapa Nusantara kita disuling dari berbagai kebudayaan besar, dan kebudayaan Tiongkok juga berkontribusi di dalamnya. Ini adalah tawaran wacana antar budaya yang penting dan menarik, apalagi jika ditambah dengan kenyataan bahwa harpa identik dengan instrumen "musik klasik Barat". Dalam arti kata lain, konser Harpa Nusantara adalah perayaan budaya yang megah sekaligus bersahaja. Kita akan semakin merasakannya ketika menginderai musik garapan Iman Ulle, yang memang merangkul dua karakter barusan. 

Walhasil, saya tidak berpikir panjang ketika Sisca menawari untuk menjadi produser, ketua panitia, pimpro atau apapun itu pada sekitar bulan Maret kemarin. Bukan pekerjaan yang mudah, karena tantangan idealisme yang ditawarkannya. Namun mudah-mudahan, konser Harpa Nusantara tidak hanya menghibur, tapi juga menawarkan hal-hal yang membuka pikiran kita lebih luas. 

Selamat mengapresiasi!

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1