Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Memasak dan Memori Tubuh

MEMASAK DAN MEMORI TUBUH

Dalam beberapa bulan terakhir, saya intens belajar masak. Alasannya apa? Hanya ingin mencoba saja. Semacam ingin memasuki area lain dalam kehidupan. Kebetulan memang apartemen yang saya tinggali lokasinya sangat dekat dengan pasar. Di pasar, bahan-bahan untuk memasak tidak hanya relatif lengkap, tetapi juga murah. Hampir setiap hari saya mencoba menu-menu baru yang dipelajari dari Youtube, mulai dari masakan keren-kerenan (Jepang, Eropa) sampai yang rumahan. Dari sekian menu yang saya masak, yang membanggakan (sejauh ini) justru yang rumahan itu. Saya mulai bisa memasak perkedel kentang, perkedel jagung, sambal goreng kentang, tempe bacem, sampai tongkol balado.

Apa renungan yang saya dapat dari masak memasak ini? Khususnya tentang masakan rumahan, saya tiba-tiba ingat banyak adegan di masa kecil hingga remaja. Percakapan yang saya dengar setiap pagi antara bibi, tante, ataupun mamah, beberapa di antaranya adalah seputar resep dan teknik memasak. Pada masa itu, saya sama sekali tidak menganggap apa yang dibicarakan itu bermakna. Saya hanya tahu hasilnya saja alias memakan masakannya. Tentu saja ada rekaman dalam ingatan tentang bagaimana bibi mengulek, menggoreng, dan menyiapkan masakan, tetapi sekali lagi, hal tersebut adalah bagian dalam hidup yang dianggap "kurang penting".

Setelah menjalani kegiatan memasak, termasuk membeli bahan-bahan dan memprosesnya sendiri, maka ingatan saya memanggil-manggil tentang masa itu. Sekarang menjadi mengerti apa makna "bawang beureum", "laja", "direndos", dan istilah lainnya. Tidak hanya tentang istilahnya saja, melainkan juga apa yang sebenarnya bibi, tante, dan mamah lakukan secara persis: mereka mengerjakan sesuatu yang sama setiap hari agar tidak hanya kami bisa makan, tetapi juga agar kami tidak bosan dengan makanannya!

Dengan demikian, memasak kian menjadi hal yang tidak sederhana. Memasak sendiri bagi saya bukan lagi sebatas urusan mengenyangkan, murah, atau paling jauh masuk ke urusan kreativitas, tetapi melampaui itu: memasak adalah usaha membangkitkan kembali beraneka memori yang tersimpan dalam tubuh. Paradoksnya, meski memasak menjadi tidak sederhana, tetapi justru di sisi lain, mengajak saya untuk menjadi lebih sederhana. Lebih sederhana dalam artian, ternyata apa yang saya yakini sebagai "ketinggian peran akal budi", tidak luput dari peran "ulekan si bibi".

Bibi tidak berfilsafat dalam artian mengutip-ngutip Plato, Kierkegaard, atau Heidegger, tetapi bibi bisa jadi berfilsafat dengan seluruh tubuh yang mengulek dan menggoreng. Melalui tubuhnya itu, ia melakukan penghancuran unsur-unsur (bahan masak) untuk kemudian bertransformasi menjadi pemenuhan kebutuhan dirinya, pemenuhan kebutuhan kami, kebahagian kami, dan dalam perspektif keabadian, menjelma menjadi apalah itu yang disebut "filsafat" dan "kebudayaan" yang secara arogan saya pikir itu adalah hasil kerja keras saya sendiri saja.

Pada titik itu saya merasa bahwa kalau apa yang kita agung-agungkan itu ternyata dibangun di atas hal-hal "sederhana", lantas, apa kerennya berpikir dan bersikap "sok tidak sederhana"?

filsafat tubuh

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat