MEMASAK DAN MEMORI TUBUH
Dalam beberapa bulan terakhir, saya intens belajar masak. Alasannya apa? Hanya ingin mencoba saja. Semacam ingin memasuki area lain dalam kehidupan. Kebetulan memang apartemen yang saya tinggali lokasinya sangat dekat dengan pasar. Di pasar, bahan-bahan untuk memasak tidak hanya relatif lengkap, tetapi juga murah. Hampir setiap hari saya mencoba menu-menu baru yang dipelajari dari Youtube, mulai dari masakan keren-kerenan (Jepang, Eropa) sampai yang rumahan. Dari sekian menu yang saya masak, yang membanggakan (sejauh ini) justru yang rumahan itu. Saya mulai bisa memasak perkedel kentang, perkedel jagung, sambal goreng kentang, tempe bacem, sampai tongkol balado.
Apa renungan yang saya dapat dari masak memasak ini? Khususnya tentang masakan rumahan, saya tiba-tiba ingat banyak adegan di masa kecil hingga remaja. Percakapan yang saya dengar setiap pagi antara bibi, tante, ataupun mamah, beberapa di antaranya adalah seputar resep dan teknik memasak. Pada masa itu, saya sama sekali tidak menganggap apa yang dibicarakan itu bermakna. Saya hanya tahu hasilnya saja alias memakan masakannya. Tentu saja ada rekaman dalam ingatan tentang bagaimana bibi mengulek, menggoreng, dan menyiapkan masakan, tetapi sekali lagi, hal tersebut adalah bagian dalam hidup yang dianggap "kurang penting".
Setelah menjalani kegiatan memasak, termasuk membeli bahan-bahan dan memprosesnya sendiri, maka ingatan saya memanggil-manggil tentang masa itu. Sekarang menjadi mengerti apa makna "bawang beureum", "laja", "direndos", dan istilah lainnya. Tidak hanya tentang istilahnya saja, melainkan juga apa yang sebenarnya bibi, tante, dan mamah lakukan secara persis: mereka mengerjakan sesuatu yang sama setiap hari agar tidak hanya kami bisa makan, tetapi juga agar kami tidak bosan dengan makanannya!
Dengan demikian, memasak kian menjadi hal yang tidak sederhana. Memasak sendiri bagi saya bukan lagi sebatas urusan mengenyangkan, murah, atau paling jauh masuk ke urusan kreativitas, tetapi melampaui itu: memasak adalah usaha membangkitkan kembali beraneka memori yang tersimpan dalam tubuh. Paradoksnya, meski memasak menjadi tidak sederhana, tetapi justru di sisi lain, mengajak saya untuk menjadi lebih sederhana. Lebih sederhana dalam artian, ternyata apa yang saya yakini sebagai "ketinggian peran akal budi", tidak luput dari peran "ulekan si bibi".
Bibi tidak berfilsafat dalam artian mengutip-ngutip Plato, Kierkegaard, atau Heidegger, tetapi bibi bisa jadi berfilsafat dengan seluruh tubuh yang mengulek dan menggoreng. Melalui tubuhnya itu, ia melakukan penghancuran unsur-unsur (bahan masak) untuk kemudian bertransformasi menjadi pemenuhan kebutuhan dirinya, pemenuhan kebutuhan kami, kebahagian kami, dan dalam perspektif keabadian, menjelma menjadi apalah itu yang disebut "filsafat" dan "kebudayaan" yang secara arogan saya pikir itu adalah hasil kerja keras saya sendiri saja.
Pada titik itu saya merasa bahwa kalau apa yang kita agung-agungkan itu ternyata dibangun di atas hal-hal "sederhana", lantas, apa kerennya berpikir dan bersikap "sok tidak sederhana"?
Comments
Post a Comment