Skip to main content

Spiritualitas dalam Joged Gemoy

  (Ini adalah teks Filtum [Filsafat Tujuh Menit] yang dibacakan pada live IG Kelas Isolasi, 12 Maret 2024) Ya, kita tahu siapa yang pasti menang pada pilpres tahun ini. Orang yang dalam kampanyenya mengandalkan suatu gerakan tari yang dilabeli sebagai joged gemoy. Meskipun cerita tentang ini sudah beredar luas, saya harus ulas sedikit tentang darimana asal usul joged gemoy ini berdasarkan pengakuan Prabowo sendiri dalam podcast Deddy Corbuzier. Menurut Prabowo, gaya joged tersebut terinspirasi dari joged spontan yang dilakukan kakeknya, Pak Margono. Usut punya usut, ternyata gaya tersebut masih ada kaitannya dengan kisah pewayangan, "Kakek saya orang Jawa dari Banyumas, zaman itu belum ada televisi, jadi hiburannya wayang," kata Prabowo mulai bercerita. Dalam sebuah cerita wayang (yang diperagakan wayang orang itu), sang kakek merasa senang dengan sosok tokoh Pandawa dan Kurawa di mana gerakannya seperti orang yang sedang melakukan pencak silat. "Pandawa dan Kurawa, p

Memasak dan Memori Tubuh

MEMASAK DAN MEMORI TUBUH

Dalam beberapa bulan terakhir, saya intens belajar masak. Alasannya apa? Hanya ingin mencoba saja. Semacam ingin memasuki area lain dalam kehidupan. Kebetulan memang apartemen yang saya tinggali lokasinya sangat dekat dengan pasar. Di pasar, bahan-bahan untuk memasak tidak hanya relatif lengkap, tetapi juga murah. Hampir setiap hari saya mencoba menu-menu baru yang dipelajari dari Youtube, mulai dari masakan keren-kerenan (Jepang, Eropa) sampai yang rumahan. Dari sekian menu yang saya masak, yang membanggakan (sejauh ini) justru yang rumahan itu. Saya mulai bisa memasak perkedel kentang, perkedel jagung, sambal goreng kentang, tempe bacem, sampai tongkol balado.

Apa renungan yang saya dapat dari masak memasak ini? Khususnya tentang masakan rumahan, saya tiba-tiba ingat banyak adegan di masa kecil hingga remaja. Percakapan yang saya dengar setiap pagi antara bibi, tante, ataupun mamah, beberapa di antaranya adalah seputar resep dan teknik memasak. Pada masa itu, saya sama sekali tidak menganggap apa yang dibicarakan itu bermakna. Saya hanya tahu hasilnya saja alias memakan masakannya. Tentu saja ada rekaman dalam ingatan tentang bagaimana bibi mengulek, menggoreng, dan menyiapkan masakan, tetapi sekali lagi, hal tersebut adalah bagian dalam hidup yang dianggap "kurang penting".

Setelah menjalani kegiatan memasak, termasuk membeli bahan-bahan dan memprosesnya sendiri, maka ingatan saya memanggil-manggil tentang masa itu. Sekarang menjadi mengerti apa makna "bawang beureum", "laja", "direndos", dan istilah lainnya. Tidak hanya tentang istilahnya saja, melainkan juga apa yang sebenarnya bibi, tante, dan mamah lakukan secara persis: mereka mengerjakan sesuatu yang sama setiap hari agar tidak hanya kami bisa makan, tetapi juga agar kami tidak bosan dengan makanannya!

Dengan demikian, memasak kian menjadi hal yang tidak sederhana. Memasak sendiri bagi saya bukan lagi sebatas urusan mengenyangkan, murah, atau paling jauh masuk ke urusan kreativitas, tetapi melampaui itu: memasak adalah usaha membangkitkan kembali beraneka memori yang tersimpan dalam tubuh. Paradoksnya, meski memasak menjadi tidak sederhana, tetapi justru di sisi lain, mengajak saya untuk menjadi lebih sederhana. Lebih sederhana dalam artian, ternyata apa yang saya yakini sebagai "ketinggian peran akal budi", tidak luput dari peran "ulekan si bibi".

Bibi tidak berfilsafat dalam artian mengutip-ngutip Plato, Kierkegaard, atau Heidegger, tetapi bibi bisa jadi berfilsafat dengan seluruh tubuh yang mengulek dan menggoreng. Melalui tubuhnya itu, ia melakukan penghancuran unsur-unsur (bahan masak) untuk kemudian bertransformasi menjadi pemenuhan kebutuhan dirinya, pemenuhan kebutuhan kami, kebahagian kami, dan dalam perspektif keabadian, menjelma menjadi apalah itu yang disebut "filsafat" dan "kebudayaan" yang secara arogan saya pikir itu adalah hasil kerja keras saya sendiri saja.

Pada titik itu saya merasa bahwa kalau apa yang kita agung-agungkan itu ternyata dibangun di atas hal-hal "sederhana", lantas, apa kerennya berpikir dan bersikap "sok tidak sederhana"?

filsafat tubuh

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1