Skip to main content

Tidak Tahu

Tetapi aku tidak tahu ternyata usia 38 itu terasanya seperti ini. Juga aku tidak tahu ternyata beginilah kehidupan sehari-hari sebagai pengajar, penulis, dan pengkaji filsafat. Begitupun bayanganku tentang mereka yang menginjak fase lansia. Mereka tidak tahu bahwa usia 70 itu rasanya seperti itu. Begitupun bayanganku tentang para koruptor saat tertangkap. Mereka tidak tahu bahwa menjadi koruptor yang tertangkap itu rasanya seperti itu. Kita lebih banyak tidak tahu tentang segala sesuatu, tidak tahu sampai benar-benar merasakannya. Berada di dalamnya .  Bayanganku tentang masa tua adalah selalu ketakutan. Kecemasan karena kian dekat dengan kematian. Namun aku tidak tahu. Mungkin mereka malah bahagia. Buktinya banyak diantara mereka yang semakin bersemangat, kian giat berkarya, atau menjalani hari-hari yang santai tanpa ambisi selayaknya di masa muda. Aku tidak tahu rasanya menjadi mereka. Mereka sendirilah yang tahu rasanya bagaimana menjadi tua. Karena mereka ada di dalamnya .  Tetapi

Sisifus di Ijen

Sisifus di Ijen (Tulisan kuratorial untuk pameran fotografi virtual Barmen Simatupang) kuratorial

Ada pertanyaan yang kerap mengusik ketika saya mengunjungi suatu tempat, di manapun itu: manakah aspek yang paling representatif dari suatu tempat, sehingga saya sudah dapat dikatakan “pernah ke tempat itu”? Kalau kita ke Singapura misalnya, orang akan dengan mudah mengatakan: “Berkunjung ke Singapura tidak lengkap jika belum mengunjungi dan berfoto di Merlion.” Demikian halnya dengan ke Jakarta, mungkin kita dianggap sudah kesana jika sudah mengunjungi Monas. Namun bisa dikatakan, bahwa representasi dari suatu tempat biasanya berhubungan dengan ikon yang dikonstruksi sedemikian rupa agar memang “layak” untuk menjadi representasi. Representasi sebuah tempat seolah jangan dibiarkan untuk tampil apa adanya karena khawatir liar, banal, dan malah jadinya “kurang representatif”.

Kelihatannya apa yang menjadi kekhawatiran saya tersebut, adalah juga yang mengusik Barmen Simatupang saat melihat citra Kawah Ijen. Kawah Ijen, yang berlokasi di antara Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, kerap digambarkan sebagai tempat yang menghadirkan fenomena alam yaitu danau kawah dengan api biru abadi. Kawah Ijen memang indah dan dengan demikian agaknya menjadi wajar jika citra yang ditampilkannya juga indah-indah dengan berbagai pesona warna. Kalaupun ada manusia yang mengabadikan dirinya di hadapan Kawah Ijen, mereka sadar untuk tidak terlalu menonjol dibandingkan dengan kemegahan alam yang sudah dengan sendirinya berdiri di sana.

Barmen terusik karena seharusnya ada sisi lain yang tidak senaif ini dari Kawah Ijen. Segala yang indah-indah belum tentu ditopang oleh hal yang juga indah-indah, sebagaimana peradaban, dalam pandangan Sigmund Freud dalam Civilization and its Discontents, realitasnya ditopang oleh represi atas nafsu-nafsu dasariah yang dianggap “rendah dan hina”. Maka itu Barmen berangkat ke Ijen, bukan untuk memotret danau kawah dan api biru abadi, melainkan untuk menjawab pertanyaan yang sangat mengganggu: siapakah orang-orang di balik danau kawah dan api biru abadi itu?

Rupanya Barmen menemukan fenomena yang sama sekali lain. Di balik tampilan Kawah Ijen, ada buruh-buruh yang menyandarkan hidupnya dari mengangkut belerang. Buruh-buruh ini nasibnya bisa dikatakan mengkhawatirkan, tetapi kelihatannya tidak punya banyak pilihan untuk menyambung hidup dan hanya bisa menjadikan Kawah Ijen sebagai mata pencaharian. Buruh-buruh ini bekerja sepanjang hari dengan risiko sangat tinggi, yaitu berhadapan dengan uap belerang yang sangat kuat dan berpotensi merusak paru-paru. Upahnya, jangan ditanya, sangatlah kecil - seperti kata Barmen sendiri dalam wawancaranya dengan salah satu pekerja: “Yang penting cukup untuk mengatasi rasa lapar.” -.

Uniknya, Barmen tidak hanya mengabadikan momen-momen aktivitas buruh di Kawah Ijen secara “telanjang”, tetapi juga melibatkan diri dengan keseharian mereka, yang membuat foto-foto yang dipamerkan dalam pameran virtual ini nampak punya greget. Itu sebabnya, pameran ini jangan dipandang sebagai pameran “seni untuk seni” yang mencari keindahan fotografis di dalam dirinya sendiri. Wacana dan juga penarasian menjadi penting dan tidak terpisahkan agar apresiator bisa melebur bersama konteksnya.

Bagaimana buruh-buruh ini melakukan pekerjaan yang sama setiap hari, mengingatkan pada kisah Sisifus, raja dari Corinth yang dikutuk para dewa untuk mendorong batu besar hingga ke atas bukit. Setiap batu besar itu sampai ke atas bukit, ia bergulir lagi ke dasar, membuat Sisifus harus kembali ke kaki bukit untuk mendorongnya kembali dan itu berlangsung ad infinitum. Albert Camus menuangkan kisah Sisifus ini ke dalam esainya berjudul The Myth of Sisyphus (1942) untuk mengilustrasikan bagaimana absurditas hidup manusia yang melakukan sesuatu secara berulang-ulang tanpa pernah mampu untuk mengerti maksud dari hidup itu sendiri.

Sisifus memang melakukan sesuatu secara berulang-ulang tanpa ia mengerti, tetapi Camus memberi penghiburan dengan kalimat penutupnya yang terkenal: “Seseorang mesti membayangkan Sisifus bahagia.” Secara tindakan dan repetisi, ada kemiripan antara Sisifus dengan buruh-buruh di Kawah Ijen. Namun perbedaan krusialnya mungkin terletak di sini: adakah bahagia menjadi pilihan bagi buruh-buruh di Kawah Ijen? Atau jangan-jangan, mengutip hasil wawancara Barmen sendiri: “Kami tidak takut mati, kami takut lapar.”, kematian malah menjadi jalan menuju bahagia, oleh sebab hidup yang terlalu kejam?

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1