Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Kecerdasan Buatan dan Dunia Manusia

Kecerdasan Buatan dan Dunia Manusia

 (Dimuat di majalah Gita Sang Surya vol. 16, No. 3, Mei - Juni 2021) 

Semakin canggihnya kecerdasan buatan (artificial intelligence/ AI) tidak lagi terbatas berperan sebagai teknologi yang membantu manusia. Pada titik tertentu, AI yang dikategorikan sebagai strong AI malah berpotensi menggantikan peran-peran tertentu yang biasa dilakukan oleh manusia. Hal-hal semacam ini bukan lagi ada pada film seperti 2001: A Space Odyssey (1968) yang menghadirkan HAL 9000 sebagai super komputer yang mengacaukan misi penelitian ke planet Jupiter. Bukan juga hanya ada lewat sosok Terminator dalam film Terminator (1984), robot-pembunuh dari tahun 2029 yang kembali ke tahun 1984 untuk membunuh Sarah O’Connor, perempuan yang kelak akan melahirkan John. John O’ Connor nantinya akan memimpin pemberontakan melawan Skynet, sistem AI super canggih yang merancang pembantaian umat manusia dengan menggunakan nuklir. 

Film-film tersebut tentu saja cenderung membesar-besarkan peran AI di masa mendatang. Namun ada gagasan yang bisa kita ambil: bahwa AI yang diciptakan untuk mempermudah kerja manusia, kelak tidak hanya akan membantu, melainkan mengambil alih, dan bahkan punya kapasitas memusnahkan – setidaknya secara esensi -. Ray Kurzweil, dalam bukunya yang berjudul The Age of Spiritual Machines (1999), seolah menegaskan hal tersebut dengan mengatakan bagaimana kelak manusia akan membuat mesin yang lebih pandai darinya. Mesin ini yang kemudian menjadi AI yang tidak hanya akan memiliki kehendak bebas, tetapi juga “pengalaman spiritual” (Kurzweil, 1999: 6). 

Kurzweil melihat fenomena Deep Blue, komputer buatan IBM, yang mengalahkan juara catur dunia, Gary Kasparov pada tahun 1997, sebagai salah satu alasan kuat mengapa prediksinya tersebut kelak akan jadi kenyataan. John Searle, pengkaji filsafat akal budi, kurang setuju dengan optimisme Kurzweil ini, dengan mengacu pada eksperimennya tahun 1980 bernama “Chinese Room” Argument. Menurut Searle, AI bisa saja mempelajari terus menerus tentang bahasa Mandarin dengan membaca pola-pola tertentu, tetapi hanya terbatas pada “manipulasi simbol” dan tidak dapat dikatakan mengerti makna yang ada pada setiap kata dalam bahasa Mandarin (Searle, 1990a).

Dalam konteks Deep Blue yang diglorifikasi oleh Kurzweil, Searle menanggapi bahwa AI bisa seperti terlihat pandai bermain catur, tetapi tidak benar-benar memahaminya. Searle mengatakan bahwa menganggap Deep Blue lebih pintar dari manusia adalah sama saja membandingkan kecepatan berhitung manusia dengan kalkulator saku. Tentu saja kalkulator saku lebih besar kemungkinan menang dari segi kecepatan berhitung karena ia hanya diprogram untuk itu saja! 

Colin McGinn, pengkaji filsafat akal budi lainnya, setuju sebagian pendapat Kurzweil bahwa teknologi di masa depan kelak dapat berkembang menjadi kesadaran utuh, tetapi ia juga mengakui eksperimen Searle telah menyadarkan bahwa memang terdapat kemungkinan AI dapat meniru perilaku eksternal manusia, hanya saja tidak akan sampai pada “pengalaman subjektif internal” (inner subjective experience) (McGinn, 1999). Namun kita bisa saja mengajukan keberatan terhadap pendapat Searle dan McGinn ini terkait pemaknaan serta pengalaman internal: pada akhirnya, jika yang menjadi ukuran bagi keberhasilan AI adalah pada kemampuannya yang konkret, apa pentingnya mengetahui makna dan pengalaman internal? Jika kita merasa terbantu oleh teknologi, apa pentingnya kita mengetahui “apa yang dirasakan” atau “apa yang sungguh-sungguh dipahami” oleh si teknologi tersebut?  

AI dan Seni

Kekhawatiran atas perkembangan AI yang kian pesat membuat seni kemudian diangkat sebagai “pertahanan terakhir” dalam kaitannya dengan aspek manusia yang tidak bisa digantikan oleh AI. Selama ini, AI dapat dikatakan mampu mereplikasi kapasitas kognisi manusia dalam hal berpikir formal-logis, tetapi belum terbukti dapat meniru aspek emosional, afeksi, dan kreativitas yang kompleks (pada tingkat sederhana, mungkin sudah bisa dilakukan). 

Misalnya, AI tidak mungkin untuk mengubah pendirian secara tiba-tiba karena suatu mood yang berasal dari dirinya sendiri. Kecuali jika perubahan tersebut disisipkan sebagai bagian dari pemrograman yang telah direncanakan. AI juga belum tentu punya kapasitas untuk “merasakan” dan “memaknai” karena keduanya dianggap sebagai kegiatan yang tidak hanya melibatkan aspek kognisi, melainkan afeksi. Dimensi afeksi merupakan aspek sentral dalam seni. Seni tidak hanya melibatkan fakutas pikiran saja, tetapi juga emosi dan perasaan. Sehingga dengan demikian, seni dianggap tidak bisa direplikasi secara sempurna oleh AI, kecuali jika itu hanya produk-produknya saja dengan menggunakan teknik algoritma. 

Pada perkembangannya, AI dikembangkan juga untuk membantu seni. Misalnya, melalui algoritma untuk kreativitas artifisial yang bisa berkaitan dengan pengembangan sistem komputasional agar terbentuk karya yang dapat dikatakan kreatif atau artistik. Sebagai contoh, algoritma AI bisa saja membaca sejumlah karya lukis di masa Barok, untuk kemudian mengkreasi lukisan “bergaya Barok”-nya sendiri dengan mengkompilasikan seluruh “pengalaman”-nya tentang karya lukis Barok. Hal ini kurang lebih sudah bisa dilihat di dalam sejumlah aplikasi gawai yang memungkinkan kita untuk memberikan sentuhan terkait gaya lukisan tertentu pada foto. 

Hal tersebut juga dapat dilakukan pada musik. Misalnya, AI dapat merekam sejumlah gaya musik dari beberapa genre, untuk kemudian dikompilasi dan melahirkan musik “baru” yang merupakan kerja algoritmis dari sejumlah unsur musik (Wilson, 2002: 789). Meski ditujukan untuk membantu seni, tetapi perkembangan AI ini juga menghasilkan pertanyaan filosofis baru terkait apa itu kreativitas dan artistik: bukankah kerja pikiran manusia juga seperti algoritma dalam artian, merekam sejumlah karya seni lain untuk kemudian dikompilasi menjadi sesuatu yang “baru”? Pertanyaan tersebut, secara lebih jauh menjadi masuk pada pertanyaan: jika kreativitas dan artistik, yang katanya khas manusia, kemudian secara luaran dapat ditiru, lantas, apa arti menjadi manusia? 

Untuk lebih jauh memahami hubungan antara algoritma AI dengan seni, maka bisa diambil contoh program AARON yang diinisiasi oleh Harold Cohen, seniman dan akademisi seni dari University of California, San Diego. Sejak tahun 1968, Cohen mengembangkan algoritma komputer untuk mendapatkan model tentang bagaimana cara menghasilkan karya gambar dan lukis yang kreatif serta artistik. Cohen menantang dirinya sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan seperti ini: bisakah ia membuat program komputer yang secara otonom menciptakan gambar dan lukisan yang bernilai secara estetik? Bisakah ia mengerti proses mental dari seniman yang kemudian dieksternalisasikan menjadikan program? 

Cohen kemudian berhasil menciptakan program bernama AARON yang mampu menggambar dengan cara yang tidak hanya berbeda dan tidak bisa diprediksi, tetapi juga secara gaya, sangat menarik. Komputer menjadi tidak hanya menghasilkan bentuk-bentuk geometris, tetapi juga berbagai jenis genre. Cohen, sebelum meninggal tahun 2016, terus menerus melakukan pengembangan terhadap AARON sehingga mampu untuk melukis Figur dan juga menambahkan warna. Dalam hal ini, Cohen menginginkan agar AARON tidak hanya punya kapasitas teknis saja, tetapi juga sanggup menghasilkan makna berdasarkan pengetahuan dan juga aspek historis - kultural. Karya-karya AARON memang pada akhirnya tidak terlihat seperti suatu karya yang acak, tetapi terkesan punya niat dan otonomi. Meski nampak memiliki gaya dan ciri khas, tetapi pandangan skeptis pada AI masih muncul bahwa apakah mereka benar-benar memiliki kesadaran historis dan kultural atau itu hanya ekspresi dari penciptanya saja atau dalam hal ini adalah Cohen (Wilson, 2002: 791). 

Replikasi atas Dunia Manusia (?) 

Berdasarkan pengamatan keseharian, kita bisa dengan mudah menyadari bahwa teknologi digital sudah semakin canggih dan bahkan pada titik tertentu, melampaui apa yang kita bayangkan. Misalnya, algoritma Youtube dapat menyodorkan apa yang kira-kira menjadi tontonan kesukaan kita berdasarkan kata kunci yang sering dipakai selama menggunakan media sosial atau aplikasi lainnya. Kian kompleksnya kemampuan algoritma ini membuat ide demokrasi bahkan bergerak menuju apa yang dinamakan datakrasi. Di dalam datakrasi, “kehendak umum” ditunjukkan melalui data dan jejak digital sehingga dibayangkan akan lebih akurat ketimbang menampung aspirasi publik dengan cara-cara konvensional. 

Ditambah dengan kemungkinan dunia seni sebagai “pertahanan terakhir” juga kian terancam dengan kemampuan replikasi AI, pertanyaan bertubi-tubi mengemuka: apa yang tersisa dari manusia? Ke mana gerangan otonomi dan kehendak bebas? Bagaimana dengan dimensi afeksi dan spiritual yang membuat manusia dikatakan manusiawi? Apakah masih relevan membicarakan “pengalaman subjektif internal” jika pada akhirnya yang penting hanyalah luaran dari tindakan-tindakannya (seperti argumen behaviorisme)? Bahkan jika datakrasi benar-benar terwujud, apakah masih relevan membicarakan manusia sebagai zoon politikon? Untuk sekadar meredam optimisme berlebihan tentang kemungkinan AI menggantikan manusia, perlu dipertimbangkan dua argumentasi berikut ini: 

  1. AI tentu saja mampu mereplikasi kecerdasan manusia secara individual. Dalam konteks musik, misalnya, mudah bagi AI untuk menjadi lebih hebat dari musisi seperti Chick Corea atau John Coltrane. Penciptanya tinggal memasukkan saja frasa musik yang biasa digunakan oleh Corea ataupun Coltrane, sehingga menghasilkan kemungkinan “baru” yang lebih kaya dan dahsyat (ini persis seperti bagaimana Deep Blue bisa memenangkan pertarungan catur melawan Kasparov). Namun AI kemungkinan sukar untuk mereplikasi “dunia manusia” dalam arti kompleksitas relasi dan medan sosialnya. Chick Corea menjadi musisi besar bukan semata-mata karena kemampuan teknis bermusiknya, tetapi juga kemampuannya dalam menempatkan diri di dunia manusia. AI juga tidak bisa menjelaskan kompleksitas fenomena seperti misalnya bagaimana seorang Bob Dylan, dengan kualitas vokal yang tidak istimewa, kemudian menjadi mendunia atau bagaimana musik punk, dengan hanya tiga akor, dapat menjadi musik yang berkembang menjadi sub-kultur. Hal ini tentu dapat ditarik ke wilayah non-seni seperti misalnya sains. Dalam paradigma tertentu, sains mengalami perkembangan bukan sebatas dari temuan-temuannya saja, tetapi juga bagaimana temuan tersebut diterima dalam “komunitas saintis”. Dunia manusia dengan segala penafsiran dan pemaknaan kolektifnya - terhubung dengan aspek sosio-historis-kultural -, kelihatannya masih jauh untuk direplikasi oleh AI. 

  2. Dalam kaitannya dengan datakrasi, pertama, konsep ini tetap mensyaratkan adanya kekuasaan yang berwenang karena kepemilikannya atas sistem data dan algoritma itu sendiri. Artinya, datakrasi sukar untuk dibayangkan “bebas nilai” dan bahkan sangat dipengaruhi oleh kepentingan yang sangat besar. Kedua, apa yang tercatat sebagai data dan jejak digital, tidak bisa dikatakan sepenuhnya sebagai fakta karena kenyataan bahwa manusia masih punya kemampuan untuk melakukan daya pertimbangan. Misalnya, jika kita menulis kata “skincare” di aplikasi tertentu, tidak sama dengan bahwa kita benar-benar menggemari produk-produk “skincare”. Kita punya kapasitas untuk menuliskan itu secara acak, tanpa memiliki tendensi tertentu, dan bahkan cenderung bermain-main saja. Artinya, setidaknya dalam waktu dekat, datakrasi masih berbahaya jika diadopsi menggantikan demokrasi untuk kemudian dibaca sebagai “kehendak umum”. 

 

Daftar Referensi 

Kurzweil, Ray. (1999). The Age of Spiritual Machines: When Computers Exceed Human Intelligence. New York: Viking Penguin. 

McGinn, Colin (3 January 1999). "Hello, HAL". The New York Times. Searle, John. (1990a), "Is the Brain's Mind a Computer Program?", Scientific American, vol. 262 no. 1, pp. 26–31. 

Wilson, Stephen. (2002). Information Arts: Intersection of Arts, Science, and Technology. Massachusetts: MIT Press.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me