Pada hari Sabtu, 9 Oktober, selesai main musik di sebuah restoran, saya minum es teh tawar di gelas berukuran besar. Tidak lama kemudian, rasa sakit menyerang antara dada dan perut, menjalar hingga punggung dan lama-lama menjadi sesak. Saya langsung dilarikan ke IGD RS Limijati, diperiksa ini itu (hingga dipasangi aneka kabel), diberi penahan rasa sakit dan saat sakitnya hilang, saya meminta untuk pulang. Pemeriksaan saat itu menunjukkan tekanan darah saya mencapai 210. Sesampainya di apartemen, sakit itu datang lagi dan malah lebih parah. Saya kembali masuk ke IGD RS Hermina Arcamanik. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa selain tekanan darah, gula darah saya pun bermasalah.
Sekarang sudah hampir seminggu sejak saya keluar dari rumah sakit. Pola makan serta gaya hidup mesti diubah secara total: merokok dari yang sebelumnya bisa dua bungkus per hari, sekarang hanya sebatang per hari; makanan yang dikonsumsi tadinya hampir bebas (ada pantangan sih, tapi saya sering diam-diam makan apa saja di belakang pengawasan istri), sekarang jadi tidak boleh terlalu manis dan terlalu asin; selain itu, makanan juga sebisa mungkin jangan yang dari hasil pengawetan, melainkan diolah langsung dimakan dalam waktu relatif singkat. Soal yang terakhir, saya hampir tidak ada masalah karena apartemen yang kami tinggali lokasinya bersebelahan dengan pasar jadi ya memang sehari-hari kami makan seperti itu: beli bahan segar pagi-pagi sekali untuk dimasak langsung.
Perubahan gaya hidup dan pola makan memang rumit, tetapi dampaknya dalam beberapa hari ini cukup positif. Meski sempat lemas pada mulanya, tapi setelah beradaptasi, saya langsung sadar bahwa selama ini ternyata saya hidup di dalam "tubuh yang rusak". Jujur, saya tidak pernah tidur yang benar-benar pulas atau berada dalam kondisi tubuh yang dikatakan fit. Meski aktivitas saya banyak, tetapi semua dijalankan hanya berdasarkan semangat yang tinggi saja, bukan karena kondisi fisik yang memadai.
Ternyata benar bahwa tubuh adalah penanda perubahan waktu yang paling kuat. Pikiran saya bisa ada pada ketetapan tertentu, tetapi tubuh tidak bisa: ia berubah dan pada usia tertentu, pelan-pelan mengalami penurunan. Hal ini merupakan hukum alam yang tidak bisa ditolak dan membayangkan sebaliknya justru malah semakin mengerikan: muda terus, bertenaga terus, aktif terus. Jika orang terus menerus dalam keadaan sehat secara fisik, tidakkah matinya ia hanya dimungkinkan oleh suatu bencana atau dibunuh oleh manusia lain? Bukankah itu kematian yang lebih tidak menyenangkan?
Terakhir, soal kematian. Harus diakui pada kondisi rasa sakit yang tidak tertahankan, bayangan kematian itu begitu dekat. Namun saat ada pada situasi itu, ternyata tidak banyak yang jadi pikiran: saya tidak peduli pada orang lain atau apa-apa yang akan saya tinggalkan. Saya hanya peduli pada diri sendiri dan fokus menghadapi Ketiadaan. Apakah orang lain kemudian akan sedih atau membicarakan saya setelah mati, itu sama sekali bukan pertimbangan penting dalam kondisi yang genting.
Sekarang saya mencoba menjalani hidup sebisa-bisa. Lucunya, saat pernah ada dalam kondisi katakanlah hampir-hampir mati, sekarang hidup malah lebih rileks. Ada beberapa hal yang karena saya sudah "mengerti", kemudian menjadi tidak perlu berkata-kata banyak tentangnya. Apa itu? Tentu saja, saya tidak bisa mengatakannnya..
Comments
Post a Comment