Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Karena Tubuh Lebih Mengerti

Pada hari Sabtu, 9 Oktober, selesai main musik di sebuah restoran, saya minum es teh tawar di gelas berukuran besar. Tidak lama kemudian, rasa sakit menyerang antara dada dan perut, menjalar hingga punggung dan lama-lama menjadi sesak. Saya langsung dilarikan ke IGD RS Limijati, diperiksa ini itu (hingga dipasangi aneka kabel), diberi penahan rasa sakit dan saat sakitnya hilang, saya meminta untuk pulang. Pemeriksaan saat itu menunjukkan tekanan darah saya mencapai 210. Sesampainya di apartemen, sakit itu datang lagi dan malah lebih parah. Saya kembali masuk ke IGD RS Hermina Arcamanik. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa selain tekanan darah, gula darah saya pun bermasalah.

 

Sekarang sudah hampir seminggu sejak saya keluar dari rumah sakit. Pola makan serta gaya hidup mesti diubah secara total: merokok dari yang sebelumnya bisa dua bungkus per hari, sekarang hanya sebatang per hari; makanan yang dikonsumsi tadinya hampir bebas (ada pantangan sih, tapi saya sering diam-diam makan apa saja di belakang pengawasan istri), sekarang jadi tidak boleh terlalu manis dan terlalu asin; selain itu, makanan juga sebisa mungkin jangan yang dari hasil pengawetan, melainkan diolah langsung dimakan dalam waktu relatif singkat. Soal yang terakhir, saya hampir tidak ada masalah karena apartemen yang kami tinggali lokasinya bersebelahan dengan pasar jadi ya memang sehari-hari kami makan seperti itu: beli bahan segar pagi-pagi sekali untuk dimasak langsung. 

Perubahan gaya hidup dan pola makan memang rumit, tetapi dampaknya dalam beberapa hari ini cukup positif. Meski sempat lemas pada mulanya, tapi setelah beradaptasi, saya langsung sadar bahwa selama ini ternyata saya hidup di dalam "tubuh yang rusak". Jujur, saya tidak pernah tidur yang benar-benar pulas atau berada dalam kondisi tubuh yang dikatakan fit. Meski aktivitas saya banyak, tetapi semua dijalankan hanya berdasarkan semangat yang tinggi saja, bukan karena kondisi fisik yang memadai. 

Ternyata benar bahwa tubuh adalah penanda perubahan waktu yang paling kuat. Pikiran saya bisa ada pada ketetapan tertentu, tetapi tubuh tidak bisa: ia berubah dan pada usia tertentu, pelan-pelan mengalami penurunan. Hal ini merupakan hukum alam yang tidak bisa ditolak dan membayangkan sebaliknya justru malah semakin mengerikan: muda terus, bertenaga terus, aktif terus. Jika orang terus menerus dalam keadaan sehat secara fisik, tidakkah matinya ia hanya dimungkinkan oleh suatu bencana atau dibunuh oleh manusia lain? Bukankah itu kematian yang lebih tidak menyenangkan? 

Terakhir, soal kematian. Harus diakui pada kondisi rasa sakit yang tidak tertahankan, bayangan kematian itu begitu dekat. Namun saat ada pada situasi itu, ternyata tidak banyak yang jadi pikiran: saya tidak peduli pada orang lain atau apa-apa yang akan saya tinggalkan. Saya hanya peduli pada diri sendiri dan fokus menghadapi Ketiadaan. Apakah orang lain kemudian akan sedih atau membicarakan saya setelah mati, itu sama sekali bukan pertimbangan penting dalam kondisi yang genting. 

Sekarang saya mencoba menjalani hidup sebisa-bisa. Lucunya, saat pernah ada dalam kondisi katakanlah hampir-hampir mati, sekarang hidup malah lebih rileks. Ada beberapa hal yang karena saya sudah "mengerti", kemudian menjadi tidak perlu berkata-kata banyak tentangnya. Apa itu? Tentu saja, saya tidak bisa mengatakannnya..

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me