Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

(Mencoba) Memahami Ted Kaczynski

Beberapa hari terakhir ini, saya mengisi waktu luang dengan menonton film dokumenter tentang Ted Kaczynski yang berjudul Unabomber: In His Own Words. Film dokumenter tahun 2020 ini menceritakan tentang Ted Kaczynski, doktor matematika lulusan Universitas Michigan yang bertransformasi menjadi apa yang disebut FBI sebagai "teroris domestik". Ted melakukan serangkaian teror bom selama tujuh belas tahun, dari mulai tahun 1978 hingga tahun 1995, melukai 23 orang dan menewaskan tiga orang. Film dokumenter yang terdiri dari empat episode tersebut mengambil sudut pandang dari Ted sendiri berdasarkan hasil wawancara, serta sudut pandang lain seperti dari tetangga Ted, adik yang kemudian melaporkannya, David Kaczynski, sejumlah agen FBI, para korban, serta beberapa orang lainnya yang dianggap berkaitan. 

Film tersebut menarik dan cukup berimbang dalam memberikan perspektif. Di satu sisi, Ted digambarkan sebagai seseorang yang mengalami masalah mental, tetapi di sisi lainnya, kejeniusan Ted juga tidak diabaikan, sebagai seorang akademisi matematika cemerlang yang kemudian mempunyai perspektif radikal berkenaan dengan lingkungan. Meski diwarnai oleh sikap emosional yang berangkat dari masalah personal, tetapi Ted, tidak bisa dipungkiri, cukup jernih dalam mengurai persoalan teknologi dan industrialisasi, serta pengaruhnya pada pengrusakan lingkungan. Di sini saya akan mengutip bagian awal tulisan Ted sendiri dalam Manifesto Unabomber yang telah diterjemahkan:

"Revolusi Industri beserta segala konsekwensinya telah menjadi sebuah bencana bagi ras manusia. Ia telah meningkatkan dengan pesat harapan hidup mereka yang tinggal di negara-negara “maju”, tetapi juga telah mendestabilkan masyarakat, membuat hidup menjadi tak dapat terpenuhkan, menjadikan manusia sebagai subyek yang kehilangan harga diri, mendorong pada penderitaan psikologis yang meluas (termasuk penderitaan fisik di negara-negara Dunia Ketiga) dan telah memicu berbagai kerusakan pada lingkungan alam. Pengembangan teknologi yang berkesinambungan akan memperparah situasi. Ia dengan gamblang akan menjadikan manusia sebagai subyek terbesar penghilangan harga diri dan memicu kerusakan terbesar pada lingkungan alam, ia juga mungkin akan mengarah pada kekacauan sosial dan penderitaan psikologis yang jauh lebih besar lagi, dan juga bukan tak mungkin akan mengarah pada penderitaan fisik bahkan juga di negara-negara “maju”."
Di bagian-bagian berikutnya, Ted bahkan secara mengejutkan banyak masuk pada aspek psikologis dan pemikirannya mempunyai banyak kemiripan dengan Sigmund Freud dalam Civilization and its Discontents:
"Seseorang mungkin menjadi marah, tetapi masyarakat modern tidak memperbolehkan adanya perkelahian. Dalam banyak situasi, bahkan agresi verbal pun dilarang. Saat seseorang mungkin sedang terburu-buru untuk pergi ke suatu tempat, atau mungkin seseorang sedang dalam mood yang tepat untuk bepergian dengan santai, secara umum tak seorangpun memiliki pilihan selain bergerak mengikuti arus lalu lintas dan mematuhi rambu-rambunya. Seseorang mungkin ingin melakukan sebuah pekerjaan dengan cara yang berbeda, tetapi biasanya seseorang hanya dapat bekerja sesuai dengan aturan-aturan yang telah diberikan oleh majikannya. Dalam banyak hal lain juga, manusia modern terikat kencang oleh sejumlah jaringan aturan dan regulasi (eksplisit ataupun implisit) yang membuat frustrasi banyak impuls-impuls yang dimilikinya dan karenanya menghambat proses penguasaan. Kebanyakan aturan-aturan tersebut tak tergantikan, karena hal-hal tersebut penting bagi masyarakat industri agar dapat beroperasi dengan baik."

Dari dua kutipan di atas, saya tidak bisa tidak setuju dengan Ted. Termasuk pada bagian-bagian lainnya, misalnya bagaimana ia memandang kritis terhadap ideologi kiri, pandangannya terhadap hak-hak konstitusional yang disebutnya sebagai "konsepsi kebebasan borjuis" ataupun pendapatnya tentang masyarakat teknologikal yang tidak dapat dibagi-bagi ke dalam komuniti-komuniti otonom yang kecil (karena produksinya yang tergantung pada kerjasama sejumlah besar orang). Ted memandang peradaban dengan begitu sinis dan ini merupakan cara pandang yang sudah muncul di masa klasik lewat katakanlah, Antisthenes ataupun Diogenes. Mereka semua sama-sama melihat peradaban sebagai cara hidup yang "dipaksakan", yang tidak sejalan dengan kehendak alam. Jalan keluarnya adalah mengambil jarak: melakukan cara hidup yang primitivistik sekaligus anarkistik. 

Seiring dengan perkembangan cara berpikir saya, saya sejujurnya bisa sepenuhnya mengerti pandangan Ted. Hal tersebut semakin menguat setelah saya membaca teks-teks Jacques Ellul dan Pentti Linkola. Linkola misalnya, menganggap manusia telah mengalami kelebihan populasi yang membuat alam menjadi senantiasa mesti "mengalah". Ada eksploitasi yang tidak berhenti akibat kelebihan populasi dan juga pandangan berlebihan (terutama dari agama dan juga humanisme) tentang manusia sebagai pihak yang diberi "amanat" untuk mengelola alam. Linkola, sama halnya dengan Ted, memberi sinyal bagus terhadap kematian manusia dalam jumlah yang lumayan, demi memberi napas bagi alam agar tidak terus menerus digerogoti. 

Di tengah persetujuan saya pada ide-ide Ted, muncul pertanyaan dalam diri: Apakah saya terlalu pengecut untuk menuangkan gagasan-gagasan tersebut hanya dalam kuliah-kuliah dan teks di media sosial, tanpa pernah sekalipun melakukan aksi nyata seperti yang dilakukan Ted? Apakah saya terlalu pengecut untuk hanya mengritik industrialisasi dan kapitalisme, tetapi diam-diam menikmati menjadi bagiannya, yang berarti pada titik tertentu, saya bisa dikatakan hipokrit? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus berkelebat tanpa bisa benar-benar saya jawab. 

Hanya saja, ada sejumlah pertanyaan lain yang bisa diajukan (khas filsafat, menjawab pertanyaan dengan pertanyaan) yaitu berikut ini: 

  1. Apakah Ted sedang mempraktikkan apa yang disinggung Dostoyevsky sebagai "semakin kita cinta kemanusiaan, semakin kita benci orang per orang"? Tulisan Ted menunjukkan bahwa ia begitu cinta pada kemanusiaan sampai-sampai membela kebebasan manusia yang direnggut oleh industrialisasi. Ted ingin manusia bebas, tetapi bukan bebas yang dijamin oleh konstitusi atau bebas yang artifisial di bawah jejaring sistem industri, melainkan bebas sepenuhnya, berlandas pada otonominya sendiri. Ted cinta kemanusiaan dan bahkan terlalu mencintainya, hingga ia menjadi "fetish" pada gagasannya ketimbang pada praktik mencintai secara konkret. 
  2. Apakah kekecewaan Ted terhadap industrialisasi adalah semacam "hipokritisme Barat" yang mengalami pertobatan ekologis, setelah ratusan tahun menikmati keuntungan dari revolusi industri? Mengapa tiba-tiba "orang-orang Barat" menyuarakan kepedulian terhadap lingkungan setelah mereka sendiri secara historis mengeksploitasinya? Sementara kita, "orang-orang non-Barat" yang belum lama mengalami industrialisasi, tiba-tiba harus menanggung kerugiannya bersama-sama. 

Atas segala rasa muak terhadap industrialisasi, saya sempat berpikir seperti Ted dalam versi yang lebih ringan: hidup menjauh dari peradaban dan tinggal di wilayah yang lebih dekat dengan alam untuk mempraktikkan hidup yang sesuai kehendak alam tanpa dicemari oleh cara hidup orang modern yang rakus akibat ketakutan akan mati. Di sana mungkin saya akan hidup lebih tenang tanpa perlu bergesekan secara hati nurani. Saya ingin hidup seperti Ted, juga Thoreau di Walden, ataupun Linkola, sekaligus mengikuti pola pikir Rousseau tentang "noble savage". Saya ingin hidup di alam liar seperti Alexander Supertramp di film Into the Wild

Namun ada hal yang menghalangi, yang membuat saya belum juga melakukan itu. Pertama, jika saya melakukannya, mungkin saya bisa jadi hanya terbuai akan gagasan tentang kemanusiaan di kepala sendiri, tanpa benar-benar mau bergaul dengan manusia. Kedua, saya tetap bisa dikatakan hipokrit karena pernah menjadi bagian dari industrialisasi, lalu kemudian meninggalkannya tanpa "bertanggung jawab". Artinya, saya membiarkannya tetap berjalan seperti biasa, menggerus kemanusiaan, dan saya tidak peduli lagi dengan memilih hidup yang berjarak. Apa yang membuat saya belum pergi mungkin adalah ini: saya ingin menjadi sekrup yang buruk untuk segala sistem industrialisasi dengan terus menerus mengritiknya. Jika saya melepaskan diri dari posisi sebagai sekrup, sistem tinggal menggantinya dengan sekrup lain yang membuat roda-roda tetap bisa berjalan. 

Ted keren, tetapi ia tidak sanggup mengoherensikan gagasan antara kemanusiaan secara esensi dan manusia secara eksistensi. Ted keren, tetapi ia "kabur" dari peradaban sebagai rahim yang membuat ia terlahir dengan pemikiran semacam ini - pemikiran anti peradaban itu sendiri -. Ted keren, tetapi ia mempunyai setitik pemikiran bahwa ia merupakan manusia unggul, lebih baik dari masyarakat yang dibencinya. Soal terakhir ini persis seperti kritik Crates terhadap orang-orang sinis pendahulunya yaitu Antisthenes dan Diogenes. Menurut Crates, Antisthenes dan Diogenes mengambil jarak dari peradaban, karena mereka merasa lebih tinggi dari orang-orang yang dikritiknya. Padahal, menurut Crates, belum tentu. Itu sebabnya Crates enggan mengambil jarak dari masyarakat. Ia memilih untuk tinggal bersamanya, sekaligus mencari-cari kekurangan diri yang mungkin bisa diperbaiki dengan bercermin pada orang lain. Sikap Crates tersebut, meski terdengar klise, mungkin menjadi penyebab lain mengapa saya masih bertahan bersama peradaban dan belum tertarik untuk menghancurkannya.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me