Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Selayang Pandang Ekonomi Syariah


 (Ditulis sebagai suplemen untuk Kelas Santai Menelusuri Kepentingan Diri, 19 Juni 2021) 

 

Ekonomi syariah secara sederhana diartikan sebagai kegiatan memenuhi kebutuhan yang sesuai dengan hukum-hukum dalam agama Islam, yang kedudukan tertingginya ada pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pertanyaannya, mengapa mesti ada ekonomi yang berbasis agama? Tidakkah usaha pemenuhan kebutuhan diri bisa dilihat sebagai sesuatu yang kodrati, sehingga tidak memerlukan suatu acuan yang transendental? Atau jikapun perlu ada acuan, tidakkah cukup untuk mengacu bahwa dalam usaha memenuhi kebutuhan diri, orang hanya tinggal menakar apakah usahanya ini mengganggu kepentingan orang lain atau tidak? 

Pembahasan tentang ekonomi syariah bisa dimulai dari pembahasan tentang ekonomi kapitalisme dan hubungan di antara keduanya. Hal tersebut hanya bisa dijawab dengan pertama-tama mendefinisikan apa itu kapitalisme sendiri. Segala bentuk pertukaran barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan tidak bisa dengan sendirinya disebut sebagai kapitalisme. Ciri kapitalisme mulai terlihat jika nilai tukar dalam transaksi ditingkatkan terus menerus secara akumulatif untuk mendapatkan profit yang semakin besar. Untuk meningkatkan nilai tukar tersebut, kapitalis dapat melakukan hal-hal seperti misalnya meningkatkan selisih nilai lebih dari penggunaan tenaga kerja, memangkas ongkos produksi, memperluas pasar, hingga mengembangkan inovasi. Keseluruhan upaya tersebut hanya dimungkinkan melalui kuasa penuh atas alat produksi atau biasa disebut juga sebagai kepemilikan pribadi (private property rights). 

Jika mengacu pada definisi kapitalisme di atas, maka ekonomi yang berkembang di dunia Islam, terutama di Masa Keemasan (mulai abad ke-8) pada dasarnya juga melakukan praktik serupa. Dunia Islam di masa itu telah mengenal yang namanya kapital (mal) dan akumulasi kapital (nama al-mal), termasuk juga sejumlah aturan dalam transaksi yang kemudian diadopsi oleh masyarakat Eropa di abad ke-13 seperti misalnya penggunaan bukti pembayaran, invoice, nota pinjaman, hingga fondasi dalam membangun mitra bisnis (mudaraba). Dengan demikian, kita bisa menduga bahwa ajaran Islam, pada dirinya sendiri, sudah bercirikan kapitalisme - meski tentu ada perbedaan dengan kapitalisme yang berkembang kemudian -.  

Prinsip-Prinsip Ekonomi Syariah 

Hal yang fundamental dalam ekonomi syariah adalah penggunaan aturan-aturan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai acuan utama. Sehingga meski bercirikan kapitalisme, ada hal-hal yang kemudian diatur agar pemenuhan kebutuhan diri tetap mengacu pada suatu nilai yang bernama barakah. Konsep barakah ini menjadi khas karena keuntungan yang diperoleh dalam prinsip ekonomi syariah tidak hanya sebatas akumulasi kekayaan material, tetapi hal yang lebih penting adalah apakah pemerolehan keuntungan tersebut dilakukan berdasarkan hal-hal yang dibenarkan oleh aturan Islam atau tidak. 

Misalnya, ajaran Islam melarang keras praktik maysir (perjudian), gharar (penipuan), dan riba dalam cara-cara memperoleh harta. Alasannya, kembali lagi, meski tiga hal tersebut “sah” untuk mendapatkan profit, tetapi dalam konteks syariah, menjadi tidak sejalan dengan prinsip nilai yang barakah. Selain itu, sudah jelas bahwa objek yang diperjualbelikan, pertama-tama, mestilah objek yang halal dalam ajaran Islam. Objek yang haram, baik itu barang, seperti misalnya babi dan minuman keras, ataupun jasa seperti pelacuran, tidak dapat dibenarkan dalam prinsip ekonomi syariah. 

Prinsip lain yang diatur oleh ekonomi syariah adalah tentang kepemilikan harta. Kepemilikan harta ini dibenarkan setidaknya melalui empat hal yaitu ihraz al mubahat atau penguasaan harta yang belum dikuasai oleh orang lain, al tawallud atau beranak pinak dari sumber harta yang primer, al khalafiyah atau penggantian kepemilikan dari yang lama ke yang baru dengan cara-cara yang dibenarkan (misal: warisan), dan al-aqd atau perjanjian serah terima. Apa yang disebutkan tersebut merupakan kepemilikan harta yang sifatnya pribadi atau al-milkiyah al-fardiyah yang berbeda dengan kategori lain yaitu harta milik bersama atau kepemilikan kolektif seperti sumber daya yang terhubung dengan hajat hidup orang banyak (misal: air), harta wakaf, ataupun konsep keadilan distributif seperti zakat. 

Hal yang kemudian cukup menjadi pembeda antara ekonomi syariah dan ekonomi kapitalisme adalah posisi harta yang dalam ajaran Islam lebih sebagai sarana daripada tujuan. Sarana dalam artian bahwa harta mesti dianggap sebagai titipan dan ujian keimanan, sehingga dengan demikian, sifatnya menjadi temporer dan yang lebih utama adalah apakah harta tersebut bisa menjadi kendaraan untuk penyerahan diri pada Tuhan atau malah sebaliknya. Konsep ini merupakan turunan dari prinsip fundamental dalam ajaran Islam yang menyebutkan bahwa segala sesuatunya adalah milik Allah dan kita semua, makhluk di dunia, hanya memilikinya secara sempurna. Ekonomi kapitalisme, di sisi lain, menjadikan akumulasi harta sebagai tujuan dan pada titik tertentu, melepaskan dirinya dari persoalan moral dan agama.  

Ekonomi Syariah dan Sosialisme 

Dengan demikian, saat mengatakan bahwa ekonomi syariah di satu sisi punya kesamaan ciri dengan kapitalisme, tetapi di sisi lain juga sangat bertentangan, lantas, bagaimana posisinya dengan ekonomi sosialisme? Zakat merupakan konsep penting dalam Islam yang kemudian dianggap sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan distributif dalam sosialisme. Zakat bukanlah pemberian sukarela (charity), melainkan semacam “paksaan” terhadap orang-orang yang memiliki harta, untuk membagikannya dalam perhitungan tertentu, pada orang-orang yang dianggap memerlukan (disebut juga dengan asnaf). Beberapa golongan yang masuk pada kategori penerima zakat antara lain adalah orang miskin (al-masākīn), budak yang ingin memerdekakan dirinya (fir-riqāb) dan orang yang terlilit hutang (al-ghārimīn). Melalui zakat, tampak bahwa Islam juga punya konsep pemerataan, sehingga mereka yang punya uang berlebih dianggap tidak boleh menyimpannya sendiri, melainkan harus dibagikan pada orang lain sesuai aturan yang digariskan oleh syariah. 

Di masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq yang berlangsung antara tahun 632 hingga 634 pernah diberlakukan garansi pemasukan minimum pada setiap orangnya sebanyak sepuluh dirham per tahun (ditingkatkan menjadi dua puluh dirham di tahun berikutnya). Hal tersebut, yang di masa sekarang disebut juga sebagai universal basic income, ditujukan sebagai upaya pengentasan kemiskinan sekaligus membuat setiap orang setidaknya bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Selain itu, kepemimpinan Abu Bakar juga menunjukkan sekaligus peran negara dalam distribusi kekayaan, sebagaimana yang terjadi juga pada negara-negara yang menganut ekonomi sosialisme (berbanding terbalik dengan kapitalisme yang cenderung ingin lepas dari intervensi negara). 

Meski demikian, menganggap ekonomi syariah dan ekonomi sosialisme sejalan juga merupakan kesimpulan yang terburu-buru karena perbedaan prinsip ajaran di antara keduanya, terutama dari pandangan masing-masing terkait aspek non-material. Ekonomi syariah menekankan bahwa dimensi non-material bisa dikatakan lebih penting dari aspek material (yang dipandang hanya sebagai sarana itu tadi), sementara ekonomi sosialisme justru menekankan bahwa segala-galanya bertolak dari apa yang material. Implikasinya adalah kedua prinsip ini sukar didamaikan atas pandangannya tentang konsepsi Tuhan sebagai basis tindakan. Ajaran Islam menganggap Marxisme mempromosikan ateisme, yang terang-terangan berlawanan dengan prinsip tauhid di dalam Islam. Meski demikian, usaha untuk menggabungkan dua prinsip ini beberapa kali telah dilakukan mulai dari gagasan yang dicetuskan oleh Abu Dharr al-Ghifari, Ali Shariati, hingga Tan Malaka.  

Kapitalisme, Sosialisme, atau Bukan Keduanya? 

Setelah dibandingkan dengan dua prinsip ekonomi arus utama lainnya, yaitu kapitalisme dan sosialisme, terlihat bahwa ekonomi syariah memiliki persamaan sekaligus perbedaan dengan keduanya. Persamaan dengan kapitalisme terlihat dari adanya konsep kepemilikan pribadi dan pertambahan nilai yang diperoleh dari jual beli. Perbedaannya terletak dari bagaimana objek harta yang diperjualbelikan serta cara-cara memperoleh harta tersebut, diatur oleh syariah sehingga tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an atau As-Sunnah, demi mendapatkan suatu nilai yang melampaui aspek material, yaitu nilai yang barakah

Sementara itu, persamaan ekonomi syariah dan ekonomi sosialisme terletak pada adanya konsep keadilan distributif, utamanya melalui konsep zakat. Zakat bukanlah konsep pemberian sukarela (charity) melainkan aturan yang dipaksakan pada orang yang kelebihan harta untuk membagikannya pada yang memerlukan berdasarkan kategori yang telah diatur oleh syariah. Dalam hal ini, karena adanya unsur pemaksaan, maka peran negara menjadi penting dan pada titik ini, ciri sosialisme menjadi kentara. Perbedaannya adalah akar ajarannya yang berbeda terkait dimensi non-material atau dalam hal ini Tuhan. Perbedaan cara pandang tersebut dianggap dapat berpengaruh pada berbagai tindakan ekonomi sehingga pada titik ini, dua konsep tersebut sukar didamaikan. 

Dapat disimpulkan bahwa ekonomi syariah memiliki khas justru karena aspek moralitas yang diturunkan dari ajaran agama. Ekonomi syariah terlihat mencium permasalahan baik dari kapitalisme maupun sosialisme, meski tidak menampik hal baik dari keduanya. Akar permasalahannya, jika ditarik, adalah semacam keyakinan bahwa manusia akan cenderung memenuhi kepentingan diri dengan cara menumpuk harta yang diperoleh melalui segala cara. Sekularisasi tindakan ekonomi ini yang ditolak oleh prinsip syariah, karena manusia, jika tidak ditopang oleh nilai-nilai transenden, menjadi tidak punya jangkar imperatif untuk mengumbar hasratnya. Dalam ajaran Islam, bagaimanapun, harta hanyalah titipan dan perhiasan dunia, yang secara teleologis tidak berarti apa-apa dalam hubungannya dengan Tuhan. 

 

Sumber Bacaan 

Mirakhor, Abbas & Askhari, Hossein. (2017). Ideal Islamic Economy - An Introduction. New York: Palgrave MacmIllan. 

Banaji, Jairus. (2007). Islam, the Mediterranean and the Rise of Capitalism. Historical Materialism, 15(1), 47-74. doi: 10.1163/156920607x171591

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1