Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Tentang Gagasan dan Hubungan Pribadi


Dalam sebuah versi, gagasan memang perlu dipisahkan dari orang yang menggagasnya. Itu hal yang juga sudah sejak lama saya yakini. Orang, yang terikat dengan tubuh, bisa saja mengalami berbagai derita, atau kekeliruan akibat kedagingannya, tapi sebuah gagasan, gagasan adalah ide murni, yang mestinya lepas dari keduniawian. Nietzsche misalnya, bisa saja hidup dalam kondisi tidak punya banyak teman, tidak punya warganegara, dan mengalami kegilaan di akhir hayat, tapi hal demikian tidak membuat kita urung mempelajari gagasan-gagasannya. Atau Louis Althusser, yang masa tuanya dihabiskan di rumah sakit jiwa, atau Michel Foucault, yang pernah dikabarkan "memerkosa anak kecil" pada akhir tahun 1960-an. Hal-hal tersebut tampak sebagai sesuatu yang "tidak lazim", yang jika mereka berada di tengah-tengah kita sekarang, mungkin diasingkan. Meski demikian, ide-idenya tetap dipelajari, kedagingannya terkadang bisa diabaikan, walau kadang-kadang tetap tidak bisa lepas dari sasaran kritik.

Dalam versi lain, gagasan dan subjek yang memikirkannya perlu dianggap satu kesatuan. Jika subjek yang memikirkannya melakukan suatu tindakan yang dianggap tercela, maka gagasannya, sebaik apapun, tidak perlu didengarkan. Bisa dikatakan, seluruh gagasannya telah dibangun di atas subjek yang "rusak", sehingga gagasannya pun mestinya "rusak". Ini seperti menolak John Locke yang menjustifikasi perbudakan, yang dengan demikian kita tidak perlu mendengarkan lagi pandangannya tentang epistemologi atau politik; menolak Aristoteles atau Freud yang misoginis; hingga mengabaikan John Searle yang pernah melakukan kekerasan seksual. Argumentasi ini ada benarnya, yang menunjukkan pentingnya keterhubungan antara gagasan dan subjek yang memikirkan gagasan. Asumsinya, seseorang mesti konsisten antara pikiran dan lakunya. Jika tidak, maka orang tersebut adalah hipokrit, munafik, dan bahkan gagasan hanya dijadikan "alat" untuk menutupi kebobrokan moralnya.

Meskipun dua versi tersebut tampak berkontradiksi, tapi saya kira tidak bisa begitu saja memilih yang satu dan menolak yang lain. Rousseau misalnya, dalam bukunya yang berjudul Emile, bab kelimanya menyebutkan bahwa perempuan juga layak untuk mendapatkan pendidikan, tetapi khusus di wilayah domestik seperti memasak dan menjahit. Pendapat Rousseau tersebut diserang oleh Mary Wollstonecraft yang menuduhnya telah merendahkan perempuan. Jika Rousseau hidup di zaman sekarang, dengan kehidupan Twitter yang kejam, mungkin ia sudah "dirujak", sudah di-"cancel" oleh warganet. Katakanlah Rousseau adalah seorang misoginis, tapi hal demikian juga tidak bisa dilepaskan dari keadaan zaman yang menempatkan perempuan sebagai "warga kelas dua" (meski belum tentu dalam artian yang peyoratif). Juga bagi saya, tidak serta merta seluruh pandangan Rousseau bisa dibatalkan, seperti misalnya tentang noble savage dan kehendak umum-nya, atau bahkan pada bab lainnya dalam Emile. Apakah dengan demikian saya lebih mendukung versi pertama dalam melihat hubungan antara gagasan dan subjek yang menggagas? Pada paragraf ini, mungkin iya, tapi hal lain akan saya jabarkan pada paragraf berikutnya.

Memisahkan gagasan dan subjek yang menggagas memang usaha yang tidak mudah, terlebih lagi jika mengenal subjeknya secara pribadi. Mungkin mudah untuk menolak Rousseau atau Searle, yang kita "tidak kenal" secara pribadi. Namun bagaimana jika subjek yang menggagas itu kita dekat dengannya dan bergaul tidak hanya dengan pemikirannya, tapi juga dengan pribadinya? Sebagai contoh, saya pernah begitu berjarak dengan feminisme, ketika lebih banyak berkenalan dengan pribadi yang keras dan kurang rasa humor. Gagasan-gagasannya, meski seharusnya dipisahkan dari subjek, menjadi sukar untuk diterima karena setiap ingat feminisme, pikiran saya langsung terasosiasi dengan orang tertentu yang saya kurang suka secara personal. Demikian halnya saat saya merasa sebal dengan gagasan tertentu lainnya, saya kadang langsung begitu saja merasa sebal, tanpa mempertimbangkan bias tertentu bahwa jangan-jangan yang saya benci adalah subjek yang memikirkannya, dan bukan pemikirannya. Namun belakangan, setidaknya dalam satu dua tahun terakhir, saya berkenalan dengan feminis yang ramah, punya rasa humor yang baik, yang kemudian membuat saya menjadi tertarik pada gagasan feminisme itu sendiri. Perkenalan yang baik tersebut membuat saya, setiap memikirkan feminisme, selalu memikirkan "orang itu", hubungan kami, dan kebaikan yang ia pancarkan. 

Subjektif? Jelas, dan bahkan egois. Namun saya sampai bertanya-tanya: menganggap orang dan pemikirannya sebagai satu kesatuan adalah sebuah pilihan, tapi menimbulkan persoalan lanjutan: tentang membedakan antara yang kenal baik dan yang tidak kenal baik. Derrida pernah menyebutkan hal ini dalam biografi yang ditulis oleh Benoit Peeters, bahwa ia merasa bahwa terdapat perbedaan antara antisemitisme di Aljazair dan di Prancis. Di Aljazair, katanya, antisemitisme begitu kental dan mendarah daging, tetapi di Prancis, antisemitisme hanya terjadi terhadap orang-orang Yahudi yang tidak dikenal secara personal. Artinya, pada orang Yahudi yang dikenal akrab, antisemitisme, kurang lebih, tidak berlaku karena mungkin, nilai persahabatan dianggap lebih tinggi ketimbang problem identitas. Hal ini yang membuat saya sekarang di satu sisi, lebih lentur mengritik apapun, lebih karena rasa percaya diri tapi di sisi lain, juga terbatas dalam mengritik karena teringat wajah teman manapun yang terasosiasikan dengan gagasan tersebut, yang saya membayangkan mungkin dirinya akan tersinggung dan memutuskan hubungan pertemanan dengan saya jika gagasannya dikritik.

Mungkin saya bisa mencoba untuk melampaui sifat egoisme ini dengan mengatakan bahwa gagasan memang sesuatu yang murni, yang melayang di udara tanpa boleh dikotori oleh kedagingan, tapi juga gagasan adalah hal yang muncul dari manusia, yang dengan demikian terhubung dengan "dunia manusia", yang kita senantiasa berelasi dengannya. Apa itu dunia manusia? Bukanlah dunia manusia dalam arti keseluruhan realitas yang universal, yang tidak mungkin kita rengkuh sepenuhnya. Dunia manusia, bagi saya, adalah dunia yang relevan dengan narasi harian kita, yang bersentuhan langsung tidak langsung dengan kita, tapi bisa dikatakan, disadari sepenuhnya. Aku tidak punya relasi langsung dengan Descartes, misalnya, tapi lakuku sebagai pengajar filsafat, membuatku mesti berelasi dengannya senantiasa. Mungkin saya bisa saja cuma mengambil gagasan Descartes tanpa perlu menekuni laku hidupnya. Namun bagaimana dengan Saras Dewi dan gagasannya, yang saya benar-benar tidak bisa memisahkan keduanya? Kecuali dalam pengondisian yang benar-benar "netral dan objektif" sehingga memungkinkan bagi saya untuk mengritik pikiran-pikirannya. Hal tersebut bisa saja terjadi, pada porsi tertentu, tapi saya tidak mungkin tidak subjektif, dan tetap mempertahankan pertemanan kami, bagaimanapun, semata karena itulah "dunia manusia" yang saya tinggali, yang saya terus berelasi dengan dunia itu sebagai cara saya hidup-di-dunia. Saya tidak bisa seenak hati mengritik gagasan teman-teman saya karena seobjektif apapun kritik tersebut, tetap ada potensi melukai, membuat tersinggung, dan mengancam relasi dengan dunia yang saya tinggali. 

Tentu ini bukan menjadi justifikasi bagi kenyamanan kolektif yang menyesatkan, mental kawanan yang anti-kritik! Sebagaimana beberapa kumpulan akademisi masa kini di Indonesia yang enggan melanggengkan budaya saling kritik dan cenderung saling mendukung untuk "kepentingan bersama" (yang saya begitu muak tentangnya). Bagi saya, saling lontar kritik tetap penting untuk kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri, sebagai cara untuk menunjukkan marwah seorang pemikir, bahwa ia hidup dalam kedagingannya, tapi juga terus menerus berusaha keluar darinya melalui gagasan-gagasannya. Saya boleh, dan harus, mengritik teman-teman saya jika ada gagasannya yang kurang tepat dari kacamata saya, dengan tetap mempertimbangkan nilai lain, bahwa ide mereka tidak melayang di udara (saja), tapi lahir dari tubuh yang ada-di-dunia dan berelasi dengan saya. Bahkan menjadi keren, jika mampu mengritik teman sendiri, yang bisa jadi berseberangan di alam ide, tapi berkasih-kasihan di dunia materi. 

Dalam hal ini saya hanya hendak mengatakan, bahwa relasi pribadi turut membentuk pandangan kita tentang ide tertentu, dan meski "dikotori" oleh subjektivitas, tapi tetap menentukan sikap kita dalam memahami gagasan. Kita harus menggeliat keluar dari subjektivitas yang sulit tersebut, dan masuk pada gagasan murninya secara jernih, dengan tetap mempertimbangkan subjek yang memikirkannya sebagai manusia yang berelasi dalam dunia yang kita tinggali. Namun penting untuk diingat, jika antara subjek dan gagasannya sudah terlalu berkontradiksi, terlalu terdengar hipokrit, maka boleh saja hubungan pribadi ditinggalkan, atas alasan yang lebih prinsipil.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1