Skip to main content

Psychologismus-Streit dan Asal-Usul Perpecahan Aliran Kontinental dan Analitik dalam Filsafat

  Di akhir abad ke-19, diawali dari usaha pemisahan psikologi dari filsafat, muncul istilah Psychologismus-Streit atau "perselisihan psikologisme". Apa itu psikologisme? Psikologisme adalah pandangan bahwa segala konsep/ gagasan dalam filsafat (batasan pengetahuan, sistem logika, dan lain-lain) dapat ditarik penjelasannya pada pengalaman mental atau proses psikologis (Vrahimis, 2013: 9). Posisi psikologi yang kian mantap dengan penelitian empiriknya membuat filsafat mesti mendefinisikan kembali tugas dan posisinya: jika segala problem filsafat bisa direduksi pada aspek mental, masih adakah sesuatu yang disebut sebagai filsafat "murni"?  Menariknya, perselisihan ini tidak hanya di ranah perdebatan intelektual, tapi juga terbawa-bawa hingga ke ranah politik. Pada tahun 1913, 107 filsuf, beberapa diantaranya adalah Edmund Husserl, Paul Natorp, Heinrich Rickert, Wilhelm Windelband, Alois Riehl, dan Rudolf Eucken menandatangani petisi yang menuntut menteri kebudayaan Jer

Tentang Viral



Sejak kembali main Twitter awal tahun 2021, saya mengalami beberapa kali pengalaman di-viral-kan. Ada yang dianggap baik, ada yang dianggap blunder, sehingga banjir hujatan. Anehnya, apa yang viral ini benar-benar tidak bisa diprediksi. Kadang saya menyiapkan tweet sekeren mungkin, eh reaksinya biasa saja. Di sisi lain, tweet "seadanya" justru bisa menjadi liar dan menyebar luas. Fenomena viral secara sederhana dapat diartikan sebagai fenomena menyebarnya sebuah konten secara organik. Istilah "viral" ini diambil dari "virus" sehingga seperti halnya virus, penyebaran konten secara viral tidak dapat sepenuhnya dikendalikan dan sifat penularannya yang relatif cepat. Mungkin fenomena konten media sosial yang viral awal-awal bisa kita lacak dari video Gangnam Style tahun 2012 yang ditonton hingga sembilan juta orang per hari hanya dalam waktu dua bulan setelah rilisnya. Jika diperhatikan, tidak ada hal yang benar-benar istimewa dari video orang berjoget selama hampir empat menitan itu. Namun di sisi lain, jika sesuatu itu viral, kemungkinan memiliki suatu keistimewaan. Tentang apa yang istimewa ini, sudah muncul beberapa penelitian seperti misalnya alasan konten yang ringan, lucu, membangkitkan emosi, dan sebagainya. 

Namun seluruh penjelasan itu tidak bisa sepenuhnya memecahkan misteri mengapa suatu konten dapat menjadi viral. Viral benar-benar hal yang lain, yang berkembang karena keinginan netizen itu sendiri, dan sukar untuk dimanipulasi. Meski kita memiliki katakanlah, 1.000 orang teman dan meminta mereka melakukan re-tweet secara berbarengan untuk sebuah tweet, tidak bisa serta merta suatu konten menjadi viral, kecuali katakanlah, dari 1.000 orang teman itu, sebagian di antaranya adalah influencer dengan jumlah followers berlimpah. Selain itu, fenomena viral juga tidak bisa didorong oleh fitur iklan yang membuat konten kita bisa dilihat oleh lebih banyak orang di luar pertemanan. Hal demikian tidak menunjukkan suatu fenomena yang organik, sementara ciri-ciri viral justru adalah sifat organiknya. Sama seperti COVID-19 misalnya, meski seseorang telah menjalankan protokol kesehatan super ketat, tidak berarti bahwa seseorang tersebut terjamin seratus persen bisa terbebas dari virus. Sebaliknya, ia yang sehari-hari tetap bersosialisasi seperti biasa, bisa saja malah tidak terkena virus, meski probabilitasnya lebih besar. Intinya, se-random itulah fenomena viral bekerja. 

Fenomena viral ini tidak lepas dari kebebasan warganet untuk membagikan suatu konten tanpa melalui syarat yang ketat. Ia hanya tinggal menekan tombol share atau retweet, maka seluruh lingkaran pertemanannya bisa langsung turut membaca. Beberapa dari orang dalam lingkaran pertemanan ini bisa kembali menekan tombol share atau retweet, sehingga lingkaran pertemanan lainnya turut membaca dan bisa jadi banyak di antaranya berada di luar dari lingkaran pertemanan orang yang melakukan share atau retweet pertama kali. Begitulah "bola liar" konten viral mulai bergulir, sehingga tanggapan-tanggapan yang muncul bisa jauh sekali dari maksud awal si penyebar konten. Mis-pemahaman ini, jika diperhatikan, merupakan salah satu ciri viralitas sebuah konten, setidaknya dalam pengamatan pendek saya. Saya masih merasa "aman" jika tweet saya masih di-like atau di-share oleh orang-orang yang mengikuti akun saya, sehingga komentar-komentarnya pun, umumnya, relatif relevan atau kalaupun bertentangan, masih dalam koridor diskusi yang enak. Saya mulai sadar bahwa ini mulai viral, selain karena jumlah like dan share-nya meningkat tajam, juga karena komentar-komentarnya sudah kian jauh dari maksudnya. Mungkin karena begini: orang yang tidak kenal belum tentu menanggapi konten tersebut karena ingin berdiskusi, mereka kadang ingin berkomentar saja, agar terlihat punya komentar di depan lingkaran pertemanannya. 

Itulah sebabnya lontaran hujatan menjadi seolah tidak punya beban bagi dirinya, karena "yang penting terlihat berkomentar" tanpa perlu memikirkan perasaan si produsen konten (saya tidak kenal siapa yang nge-tweet, jadi bodo amat saya mau berkomentar apapun juga). Mem-viral-kan tidak sama dengan berdialog bahkan keduanya bisa sangat bertolak belakang. Mem-viral-kan lebih kelihatan seperti "mengendarai ombak", menunjukkan apa yang bisa dia tanggapi terhadap sesuatu yang sedang luas diketahui, agar tetap relevan, agar tetap terlihat mutakhir. Ini seperti perbuatan bergosip di sebuah komunitas. Kepuasan bergosip datang dari kenyataan bahwa mereka yang digosipi tidak punya kuasa untuk memberikan tanggapan, karena hal-hal yang dibicarakan benar-benar di luar jangkauan klarifikasinya. Gosip hidup dalam alam pikiran para penggosip, dan mungkin di situlah letak kenikmatannya: imajinasi tentang seseorang dari sudut pandang mereka yang menginginkan untuk terjadi demikian. Namun tentu saja itu hanya salah satu varian dari tipe orang yang memviralkan. Mereka yang berusaha mengklarifikasi, mengoreksi, bahkan berdialog pun ada, meski bagi saya, Twitter khususnya, bukan tempat yang kondusif bagi sebuah dialog yang argumentatif dan diskursif (terutama karena alasan ruang karakternya yang sedikit). 

Fenomena viral ini dulunya tidak terlalu liar, saat orang-orang masih meminta persetujuan untuk menyebarkan konten pada yang punya (meskipun kadang ini hanya basa basi saja). Sekarang ini, terutama di Twitter, menekan tombol retweet adalah sesuatu yang sangat ringan, sehingga meminta izin, bisa jadi, adalah hal yang membuang-buang waktu di tengah dinamika linimasa yang berubah setiap detik. Lepas dari semua itu, Twitter adalah bola liar yang menyenangkan, yang membuat kita punya kesempatan untuk menerkam sekaligus diterkam orang lain. Setiap momennya, mengunjungi Twitter adalah bagaikan memasuki medan perang yang bagi saya, cukup serius. Ini adalah pertaruhan apakah buah pikiran kita akan disukai atau malah jadi bulan-bulanan. Nge-tweet memang bisa saja sesuka hati, tidak usah peduli pendapat siapapun. Mungkin itu dulu, sebelum Twitter menjadi brutal seperti belakangan.

Comments

Popular posts from this blog

Tentang Live Instagram Dua Belas Jam

  Hari Minggu, 24 Juli kemarin, saya live Instagram hampir dua belas jam. Untuk apa? Pertama, mengumpulkan donasi untuk Kelas Isolasi yang kelihatannya tidak bisa lagi menggunakan cara-cara yang biasa-biasa (karena hasilnya selalu kurang memadai). Kedua, iseng saja: ingin tahu, selama ini saya belajar dan mengajar filsafat itu sudah “sampai mana” jika diukur dengan menggunakan jam. Putusan untuk mengudara dua belas jam tersebut tidak melalui persiapan matang, melainkan muncul begitu saja dari dua hari sebelumnya. Oh iya, materi yang saya bawakan adalah berkenaan dengan sejarah filsafat Barat. Keputusan tersebut membuat saya agak menyesal karena mesti menghabiskan hari Jumat dan Sabtu untuk baca-baca secara intens. Seperti yang sudah saya duga, belajar filsafat memang aneh: semakin dibaca, semakin menganga lubang-lubangnya. Awalnya, saya berniat untuk khusus membaca bagian Abad Pertengahan saja karena merasa pengetahuan saya paling lemah di bagian itu. Setelah lumayan membaca tipis-tip

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1