Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Nulis dan Kafe



Entah ini untuk keberapa kali saya menulis tentang kafe di blog. Yang pasti bukan pertama kalinya. Makin kemari saya merasa ada fetish tersendiri terhadap kafe. Melihat ada kafe yang menarik dari luar, langsung saya sempatkan mampir untuk sekadar memesan segelas kopi dan menulis sesuatu barang sejenak. Kafe seperti apa persisnya yang saya sukai, makin kemari makin random. Pernah saya begitu suka dengan kafe-kafe kekinian yang serba cozy, pernah juga saya suka kafe-kafe dengan gaya Pecinan semacam Kopi Purnama jika di Bandung atau pernah saya begitu menggilai nongkrong di Dunkin' Donuts. 

Pada dasarnya saya bukan penikmat kopi. Saya bahkan tidak tahu beda antara Cappuccino dan Caffè latte. Saya pesan kopi ya pesan kopi. Hal yang saya sukai dari nongkrong lebih pada suasana dan "ritual"-nya. Menulis, ngopi, sambil merokok di kafe adalah bayangan saya bertahun-tahun silam jika kelak menjadi penulis. 

Kalaupun ada hal yang dinamakan bahan pertimbangan dalam memilih kafe, saya lebih memikirkan soal musiknya ketimbang kopi/ makanannya. Seperti pernah saya tuliskan di Pop Hari Ini, musik yang diputar di kafe sebaiknya musik yang tidak populer sehingga tidak mendistraksi orang yang sedang asyik menulis atau bekerja di depan laptop. Himbauan tersebut tentu tidak berlaku bagi kafe yang memang ditujukan untuk orang-orang mengobrol dengan suara keras seperti kafe tempat minum-minum. Pada kafe yang demikian, musik populer lebih berguna supaya para pengunjung tidak mati gaya. Namun pada kafe yang menjadikan "ketenangan" sebagai tema, rasa-rasanya musik diputar sebagai latar saja, jangan menarik perhatian, tetapi tetap penting untuk memberikan nuansa. 

Harus diakui bahwa kafe-kafe seperti Dunkin' atau Starbucks sudah sangat ahli dalam menyetel musik supaya pas. Sebatas pengetahuan saya, mereka hampir tidak pernah memutar lagu-lagu populer. Biasanya, gerai-gerai semacam itu menyetel musik jazz atau lo-fi dengan volume yang enak sehingga pengunjung dalam mengobrol tidak perlu sampai berteriak-teriak. Singkatnya, kafe-kafe tersebut sudah mempunyai standar dalam pemutaran musik dan tidak begitu saja diserahkan pada barista. Seperti kata Sakamoto, jika makanan punya chef yang mengaturnya, interior punya desainer interior, maka musik juga harusnya diserahkan pada ahli musik. Bunyi bukanlah perkara sederhana. Kita bisa terkesan atau malah trauma oleh bebunyian yang mengganggu dan kurang nyaman di telinga, dan biasanya hal demikian terjadi tanpa disadari. 

Sebenarnya saya bisa-bisa saja menulis di kamar apartemen. Sudah ada meja, kursi dan internet yang kencang. Selain itu, saya juga tidak perlu keluar uang untuk beli kopi di luar. Cukup seduh kopi yang ada saja, toh saya juga tidak tahu persis bedanya kopi yang enak dan yang tidak enak. Namun justru di situ pokoknya: karena saya sudah keluar uang, maka menulis menjadi perkara serius yang tidak boleh gagal. Jika saya hanya mendekam di apartemen, maka menulis menjadi kegiatan yang kurang menantang. Di apartemen, saya bisa tidur kapan saja kalau merasa lelah. Sementara di kafe, saya menjadikannya sebuah tekanan: tidak ada jalan keluar untuk tidur atau pulang, karena sudah bayar, karena sudah mengondisikan diri untuk duduk dalam sebuah "ritual". 

Tetapi lebih daripada itu, duduk di kafe juga adalah tentang mengamati orang-orang. Tidak jarang ketika saya khusyuk menulis, terdengar orang-orang di sebelah membicarakan semiotika, membicarakan Kant, atau membicarakan pasangannya yang berlaku buruk. Distraksi-distraksi itu terlalu berlebihan jika disebut sebagai sumber inspirasi. Namun distraksi-distraksi tersebut memberikan perasaan up-to-date bahwa beginilah kira-kira percakapan manusia hari ini. Meski terkesan menggeneralisasi, tetapi kadang menarik saat tanpa sengaja mendengarkan pemuda bicara pada pemudi tentang Kant, maka kira-kira bisa disimpulkan secara lucu-lucuan, "Oh, percakapan tentang Kant mulai biasa di kafe-kafe dalam suasana yang banal." 

Distraksi-distraksi itu yang tidak didapat saat mendekam di apartemen. Di apartemen, suara-suara seolah sudah dikondisikan oleh apa yang saya inginkan. Saya tidak membuka diri terhadap beraneka kemungkinan. Saya sudah terlalu siap untuk mengantisipasi segala yang datang. Namun duduk di kafe, meski tetap duduk sendiri mengisolasi, tetapi ada bunyi-bunyi yang tanpa diduga bisa saja masuk mengganggu fokus. Gangguan-gangguan tersebut tidak sama dengan gangguan musik populer yang sama-sama mengisolasikan dirinya. Gangguan tersebut datang dari "latar alamiah", percakapan yang mengingatkan bahwa saya masih hidup di dalam dunia manusia. Itulah menulis sebagai sebuah kegiatan, terlepas dari apapun luarannya.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me