Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Struktur - Kritik



Bersikap kritis tentu ada mudahnya. Kadang tinggal bersuara, mencari celah pada sisi mana suatu hal dianggap kurang memuaskan atau kurang adil, lalu serang terus menerus celah tersebut. Namun seringkali mengritik tidak hanya sekadar melakukan usaha pembongkaran, tetapi juga memahami dampak-dampak dari upaya tersebut. Dampak idealnya tentu respons berupa tindakan keadilan, entah itu muncul sebagai inisiatif dari pihak yang dikritik, atau bisa juga sebagai konsekuensi dari tekanan lebih banyak pihak yang teremansipasikan (oleh kritik tersebut). Sebagai contoh, jika saya mengritik pembangunan Starbucks karena dianggap akan menimbulkan kemacetan, maka bisa jadi pihak Starbucks tidak akan meneruskan pembangunan karena sadar bahwa memang keberadaannya akan menimbulkan kemacetan atau lewat jalur lain: kritik saya membangkitkan kesadaran dari lebih banyak orang sehingga banyak orang kemudian ikut berdemo menentang pembangunan Starbucks. Starbucks akhirnya mengurungkan pembangunan bukan karena mereka sadar, tapi karena tekanan publik yang ujung-ujungnya akan membuat brand mereka rugi. 

Namun kritik, meski mesti punya dampak emansipatoris, juga punya dampak sosiologis yang kadang tidak melulu nyambung dengan substansi kritikan. Mengritik memang membongkar, tapi bisa juga menelanjangi, dan saat sesuatu itu ditelanjangi, maka kehormatannya bisa jatuh, dan begitu pula orang-orang yang bertalian dengannya. Misalnya, jika Dirjen Pajak dikritik atau bahkan ditelanjangi oleh publik, tentu pegawai-pegawainya juga merasa terganggu. Meskipun turut mengamini kritikan-kritikan tersebut, tapi mereka diam-diam khawatir dengan posisinya dalam instansi tersebut. Mudahnya: kalau kepercayaan publik turun dan institusi ini tidak lagi dipercaya, apakah mereka masih mampu menggaji kami? Intinya, masalah kepentingan pribadi, masalah perut. 

Hal itu juga yang mungkin terjadi saat Derrida mengkritik Foucault atau Levi-Strauss. Kata siapa tradisi intelektual Barat lebih terbuka terhadap kritik? Buktinya, baik Foucault maupun Levi-Strauss sama-sama membawa problem kritik ini pada urusan personal. Mungkin mereka merasa bahwa kritik Derrida ada benarnya, tetapi hal yang lebih mengganggu adalah kemungkinan bahwa kritik tersebut menjatuhkan posisi mereka, menelanjanginya, membuat posisi mereka dalam medan intelektual menjadi terancam. Juga produk intelektual mereka: hasil gagasan yang dituangkan dalam bentuk buku, bukanlah semata-mata buah pikiran yang terpisah dari tubuh. Mungkin mereka juga merasa untuk menghasilkan pikiran-pikiran tersebut, butuh perjuangan yang besar: uang, tenaga, waktu, yang intinya, seluruh hidupnya diabdikan untuk pemikirannya itu. Dan dari pemikirannya itulah, ia bisa hidup, bisa dihormati, bisa punya uang. Maka penelanjangan terhadap pemikirannya tidak sesederhana hal yang murni pemikirannya saja, melainkan juga martabatnya, seluruh hidupnya. 

Hal yang sama terjadi dari posisi si pengritik. Posisi pengkritik yang berada di luar dan di dalam punya dampak yang berbeda, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi objek yang dikritik. Kritik atas sebuah struktur dari orang dalam struktur itu sendiri, di satu sisi akan lebih "kena" pada problem pokoknya karena si pengkritik tahu persis akan apa masalahnya, tapi di sisi lain, si pengkritik juga bisa bias, karena kritikan tersebut bisa jadi muncul karena ketidakpuasan pribadinya dan walhasil, penyelesaian atas kritik tersebut tidak berupa emansipasi bagi siapapun, melainkan sekadar ngopi-ngopi antar kolega. Maka itu pengkritik dari dalam harus sadar bahwa ia juga sekaligus "mengambil jarak", mengambil jarak dari gaji yang ia terima rutin, mengambil jarak dari kemungkinan tekanan dari rekan kerja dan atasan, dan sebagainya. Pertanyaannya, bisakah demikian? 

Di sisi lain, pengkritik dari luar punya "keuntungan". Mungkin ia hanya tahu sebagian tentang apa yang dikritiknya, tidak benar-benar lengkap karena juga tidak menubuhi kesehariannya, tapi ia bisa fokus mengurai permasalahan struktur lewat pendekatan logis dan dalam arti tertentu, tidak dikotori bias gaji serta "ngopi-ngopi kolega". Pengkritik di luar struktur mungkin sebatas lihat jejaring dan relasi di dalamnya, misalnya bahwa pembangunan Starbucks akan menyebabkan kemacetan, dan pihak yang membuat Starbucks bisa punya izin membangun adalah pemerintah dan seterusnya, tetapi bisa saja hal demikian cukup bagi kriteria akal budi, ketimbang melakukan wawancara orang per orang, menanyai intensinya, yang malah membuat si pengkritik terpesona oleh subjek, oleh "ngopi-ngopi personal". 

Maka kritik memang semestinya menyasar suatu pola pikir, bukan pribadi, tetapi dampak-dampaknya tidak bisa dipungkiri, akan menyasar pada pribadi-pribadi, baik pribadi si pengkritik maupun pribadi pihak yang dikritik. Maka itu kritik dari luar struktur kadang lebih aman dari bias-bias personal, supaya tetap fokus pada sasaran kritik yang sifatnya institusional.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me