Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Demokrasi


Sebagai persiapan dalam mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Salihara, saya menjadi baca-baca pemikiran Jacques Rancière. Karena agak tergesa-gesa, saya tidak bisa dikatakan tuntas dalam membaca pemikiran Rancière (bukunya juga cukup banyak), tetapi setidaknya dalam tulisan ini saya mencoba untuk menuangkan apa yang saya dapatkan dari pembacaan yang seadanya itu. 

Selama ini, pemikiran saya tentang demokrasi banyak dipengaruhi oleh Rousseau dan sedikit tentang Habermas. Dalam pandangan Rousseau, demokrasi adalah perkara kehendak umum (general will) yang dibentuk dalam suatu kesepahaman kolektif. Rousseau menganggap mereka yang punya kepentingan berbeda secara individu sebagai orang yang tercemar oleh peradaban modern yang mengunggulkan cinta-diri secara berlebihan. Artinya, peradaban modern adalah katalisator bagi sifat-sifat mau menang sendiri yang membuat kehendak umum menjadi rusak dan gagal mencapai tujuannya (untuk menjadi maslahat bagi kepentingan bersama). 

Bagaimana dengan Habermas? Habermas mengedepankan dialog rasional dalam demokrasi, yang mengacu pada prinsip deliberatif untuk menghasilkan semacam konsensus. Salah satu sumbangsih pemikiran demokrasi Habermas yang saya sukai adalah perkara ranah publik. Bagi Habermas, ruang-ruang publik yang dibuka oleh kaum borjuis justru membuat rakyat bisa berdemokrasi secara sehat tanpa kendali otoritas. Contoh gampangnya, jika kita ngopi di Starbucks, kita justru lebih bisa membicarakan marxisme ketimbang misalnya, di alun-alun atau taman kota yang notabene di bawah pengawasan pemerintah. 

Keduanya sukar dibantah, sekurang-kurangnya punya semangat yang mirip dengan demokrasi Yunani Kuno dimana hampir seluruh populasi laki-laki dewasa nimbrung untuk membicarakan kepentingan umum dalam bentuk musyawarah. Mungkin mirip juga dengan sila keempat Pancasila yang mengedepankan musyawarah dalam mencapai mufakat. Bentuk semacam ini juga, setidaknya mengacu pada pemikiran Rousseau, sekaligus menjadi kritik atas demokrasi perwakilan yang seringkali timpang antara kedudukan wakil dan mereka-mereka yang diwakilkan. 

Namun gagasan Rancière membuat saya mempertanyakan: benarkah mereka yang berbeda harus langsung dituding sebagai individu yang tercemar perasaan cinta-diri? Jika demokrasi mesti berujung pada konsensus, tidakkah hal demikian adalah utopis dalam corak kehidupan masa kini yang diwarnai jutaan kepentingan? Bagaimana mungkin bisa terjadi kehendak umum, jika di media sosial saja, orang berseliweran mencuit apapun dan keinginan mereka benar-benar berbeda satu sama lain secara individual? Mungkin pandangan Rousseau dan Habermas bisa dipahami dalam konteks musyawarah kelompok kecil, tetapi sama sekali sukar dibayangkan dalam populasi besar yang melibatkan banyak keinginan. 

Maka itu Rancière menawarkan pandangan bahwa demokrasi justru adalah membuat segalanya menjadi tampak, yang berdampak pada terjadinya disensus. Rancière beranggapan bahwa setiap orang adalah setara tanpa kecuali, berhak berpikir, berhak berbicara, berhak mengutarakan kegelisahan tentang kehidupan bermasyarakat, yang membuat setiap ungkapan-ungkapan itu menjadi sekaligus politis, sekaligus menciptakan ketidaksetujuan dalam proses demokrasi apapun. 

Misalnya, saya seorang tukang sepatu. Saya tidak pernah punya urusan dengan kehidupan bermasyarakat secara lebih luas karena fokus saya sehari-hari hanyalah mengerjakan sepatu. Lalu suatu hari jalanan menuju tempat kerja tiba-tiba macet parah. Rupanya ada orang-orang yang sedang berdemonstrasi menentang kebijakan pemerintah. Saya kemudian ikut mengemukakan pendapat tentang peristiwa tersebut, entah soal kemacetannya, entah soal poin tuntutannya, tapi saat saya serta merta terlibat dalam kehidupan bermasyarakat tersebut, saya pasti menciptakan ketaksepahaman atau disensus. 

Konsensus, bagi Rancière, di sisi lain, justru kerap mensyaratkan pembungkaman yang lain. Sebuah konsensus tidak pernah selalu konsensus untuk semuanya, melainkan harus ada yang mengalah, harus ada yang tidak dilibatkan, atau bahkan disingkirkan. "Konsensus" tentang Pancasila di masa Orde Baru misalnya, adalah sekaligus tentang penyingkiran atas tafsir Pancasila yang lain, katakanlah dari kaum marxis. Padahal marxis juga secara historis dan ideologis terlibat di dalam perumusan Pancasila dan sudah semestinya mereka diberi tempat. 

Bagi Rancière, demokrasi adalah tempat dimana setiap suara diberi tempat, termasuk mereka yang tersingkirkan dan terpinggirkan. FPI mungkin sempat meresahkan, tapi mereka adalah bagian dari demokrasi juga. Memberangus suara mereka berarti menempatkan demokrasi pada konsensus yang memaksa. Apalagi suara-suara dari kelompok LGBT, disabilitas, dan kelompok minoritas, mesti diangkat meski pastinya menciptakan disensus. 

Saya menikmati disensus setiap menceburkan diri pada pergolakan di Twitter. Setiap orang bicara, setiap orang bisa berdebat dengan siapa saja, setiap orang bisa saling membenci, setiap orang bisa saling menyumpahserapahi. Tidak perlu ada yang sepaham, karena demokrasi bukanlah tentang kesepahaman. Demokrasi adalah pengradikalan suara-suara.

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me