Skip to main content

Kronologi dan Duduk Perkara Kasus SM

Pada tulisan ini, saya Syarif Maulana, akan menjabarkan kronologi selengkap-lengkapnya tentang segala proses berkaitan dengan kasus dugaan kekerasan seksual yang dituduhkan pada saya tanggal 9 Mei 2024 di media sosial X. Tuduhan tersebut menjadi viral dan menyebabkan saya dipecat dari berbagai institusi, tulisan-tulisan diturunkan dari berbagai media, buku-buku dicabut dari penerbitan, dan dikucilkan dari berbagai komunitas filsafat, termasuk komunitas yang saya bangun sendiri, Kelas Isolasi.  Penulisan kronologi ini dilakukan dalam rangka menjelaskan duduk perkara dan perkembangan kasus ini pada publik berdasarkan catatan dan dokumentasi yang saya kumpulkan.  Tuduhan kekerasan seksual (selanjutnya akan disingkat KS) kepada saya dimulai pada tanggal 9 Mei 2024, dipicu oleh cuitan dari akun @flutuarsujet yang menuliskan “... katanya dia pelaku KS waktu di Tel**m, korbannya ada lima orang …”. Kata “Tel**m” tersebut kemungkinan besar mengacu pada Telkom University, tempat saya bekerja seb

Tulisan untuk Reuni



 (Ditulis untuk Reuni "Before 40" SMP Taruna Bakti Angkatan 1997 dan SMA Taruna Bakti Angkatan 2000 tapi kelihatannya tidak jadi dipakai) 

 

Halo teman-teman eks SMP Tarbak angkatan 1997 dan SMA Tarbak angkatan 2000!

Sudah pada jadi apa sekarang? Pasti ada yang udah jadi ayah, ibu, pekerja kantoran, SJW, staf ahli, anggota dewan, pe-en-es, selebgram, dosen, guru, dokter, atau bahkan tetep medioker dan pengangguran. Gak apa-apa, nasib kita tentu beda-beda. Waktu dulu kita satu sekolah, sudah barang tentu keliatan bibit-bibit di antara kita nantinya jadi apa, walau ada yang tercapai dan ada yang enggak.

Ada yang dulunya kelihatan nackal dan enggak pernah belajar, eh sekarang jadi pengusaha sukses. Ada yang dulunya rajin belajar dan duduk paling depan, eh taunya jadi apa ya, udah deh gak usah dibahas. Poinnya, kita bakalan reuni 14 Oktober 2023 nanti, yang otomatis bakal saling ngeliat sudah pada jadi apa sekarang, sambil ngebandingin dengan apa yang pernah kita lakukan dulu-dulu. 

Enggak bisa enggak, kita berhutang pada masa lalu, sekolah tempat kita bertumbuh. Dari sekolah itulah, di luar urusan belajar di kelas dan ekskul, kita kenal dengan yang namanya pertemanan, permusuhan, pengkhianatan, jatuh cinta, patah hati, bangun pagi, mengakali birokrasi, mencari jatidiri, berkenalan dengan rokok dan miras, hiburan malam (Fame Station) sampai amit-amit, perundungan. Sadar enggak sadar, semua itu membentuk kita, ya gak sih? Kita adalah masa lalu kita. Anjay.

Maka itulah, reuni itu penting loh, gaes. Makin kita tua, apalagi mau kepala empat, gak ada salahnya berkunjung kembali ke masa lalu, tempat kita pernah mencicipi segala sesuatunya mungkin untuk kali pertama. Kita mungkin penasaran: kok aku jadi pengusaha super kaya sekarang, apakah karena dulu sempat dirundung orang-orang sampai akhirnya pengen membuktikan pada dunia, supaya kalian gak bisa bully aku lagi? Kok aku jadi sama pasangan ini ya, apakah karena secara bawah sadar tertanam bahwa laki-laki/ perempuan ideal itu adalah pacarku di masa SMP/ SMA? Kok aku jadi hijrah ya, apa karena jarang sholat pas sekolah?

Apapun itu, mungkin petunjuknya ada pada momen reuni. Apapun itu, kita boleh berterima kasih pada masa lalu. Kalau masih kesal dan dendam pada masa lalu, juga datanglah, selesaikan! Semua sudah berlalu puluhan tahun, tapi enggak ada salahnya reuni jadi momen penebusan: tentang cinta yang belum selesai, tentang kekesalan yang belum tertumpahkan, atau terima kasih yang belum tersampaikan.

Sampai jumpa semuanya!

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Puisi Penjudi

  Sejak SD kutahu berjudi itu dilarang Dari Qur'an sudah jelas judi dibilang haram Orang bijak bilang tiada manusia kaya karena judi Rhoma Irama menegaskan judi merusak pikiran Tapi tidakkah Tuhan jua yang menciptakan ketidakpastian? Tidakkah Tuhan jua yang memaksa kita mengundi? Tidakkah Adam turun ke dunia karena ia main judi? Buah khuldi: jauhi atau makan Ia putuskan yang nomor dua Lantas ia turun ke bumi, melahirkan kita-kita ini Keturunan seorang penjudi Lalu jikalau memang iya tak ada yang kaya karena judi Maka tanyakan pada pemilik motor Tiger itu Yang ia menangkan ketika jadi bandar empat tahun lalu Sekarang motornya sirna, rusak hancur dalam suatu petaka Ia kembali naik angkot seperti nasibnya sebelum pesta sepakbola Para tetua bilang, "Lihat, hasil judi, dari tanah akan kembali ke tanah" Tapi si pemuda mesem-mesem dalam hati Ada keyakinan yang ia pendam dalam-dalam Bahwa setidaknya dalam suatu percik hidupnya Ia pernah naik motor Tiger Pernah merasakan gelegak k

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat