Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Kenyataannya, Hidup Kita Memerlukan Spoiler


Belakangan tengah marak status, cuitan, ataupun meme tentang hujatan bagi mereka yang melakukan spoiler. Apa itu spoiler? Spoiler adalah kegiatan menceritakan atau membocorkan sesuatu dalam cerita atau tontonan, sehingga orang yang belum melihatnya menjadi mengetahui sebuah plot atau alur. 

Kegiatan spoiler dianggap menyebalkan karena bagi mereka yang belum menyaksikannya, spoiler merusak imajinasi dan hasrat untuk menyaksikan keseluruhan pertunjukkan beserta elemen-elemen kejutannya. Rasa tidak tahu dan kemudian menemukan sendiri adalah gairah yang mungkin diidam-idamkan bagi mereka penyaksi tontonan sejati. 

Bertepatan dengan rilis film baru tahun 2019, Avengers: End Game, hukuman sosial terhadap para pelaku spoiler ini kian diangkat, terutama di kalangan warganet. Hukuman tersebut tidak hanya dalam bentuk celaan singkat, tapi juga ada argumentasi yang panjang dan serius, tentang betapa para pelaku spoiler telah menyia-nyiakan uang, waktu, dan tenaga yang disisihkan oleh publik agar bisa menyaksikan film kesayangannya. Ada juga aksi unfriend dan unfollow dari warganet yang merasa dirugikan oleh kelakuan para spoiler – tidak peduli apakah para pelaku spoiler tersebut ternyata merupakan kawan baiknya sendiri di dunia nyata -. 

Fenomena apa ini? Mengapa para pelaku spoiler tetiba diperlakukan sebagai “penjahat budaya pop”, semacam manusia bermoral rendah yang tidak punya empati terhadap publik yang tergila-gila akan hiburan beserta elemen kejutannya. Bahkan ada kredo baru yang berbau etis, bahwa mereka yang tidak melakukan spoiler, artinya bisa menahan hawa nafsunya. Mulai ada dikotomi baik – buruk dalam persoalan spoiler ini, dan arah argumentasinya tampak kian spiritual. 

Sukar sekali untuk melacak awal mula budaya anti-spoiler dalam budaya pop. Mungkin itu tumbuh organik saja di tengah masyarakat penyembah budaya pop, atau sebaliknya, ditanamkan dari pihak pemodal semata-mata agar semakin banyak orang datang ke bioskop, karena ingin menyaksikan pertunjukkan secara utuh tanpa ada pengetahuan sebelumnya. 

Namun himbauan anti-spoiler yang kita bisa ingat ada pada film yang dirilis lebih dari sepuluh tahun lalu, judulnya Sixth Sense. Dalam pengumuman pemutaran film tersebut di koran, ada tulisan seperti ini: Jangan bocorkan ending film ini pada siapapun! Tidakkah hal demikian menimbulkan kepenasaranan? Tentu saja, dalam konteks tulisan semacam itu, sangat bertalian aspek himbauan anti-spoiler dengan kalimat promosi. 

Situasi euforia budaya pop kontemporer rupanya agak lain. Himbauan anti-spoiler itu tidak dalam bentuk kalimat sebaris seperti yang ada pada Sixth Sense, melainkan ditanamkan sedemikian rupa agar seolah-olah membudaya. Seolah-olah benar bahwa penyebar spoiler sudah semestinya dikucilkan dari masyarakat karena tidak berbudaya, tidak mampu menahan hawa nafsu, dan punya selera humor yang tidak hanya rendah, tapi menjijikkan. 

Padahal budaya anti-spoiler sangat bertentangan dengan realitas keseharian manusia itu sendiri. Maksudnya, manusia, pada dasarnya, justru menantikan sejumlah spoiler untuk memberi petunjuk bagi langkah hidupnya ke depan. 

Hingga hari ini, kelindan antara “hidup yang misterius” dan “hidup yang terpampang jelas” terus menjadi gejolak yang tidak ada habisnya. Di sisi lain, manusia menjalani hidupnya karena mengharapkan kejutan demi kejutan, tapi di sisi lain, kejutan itu kadang terlalu menakutkan sehingga lebih memilih untuk hidup dalam keamanan dan kenyamanan, dengan sebuah visi ke depan yang terang benderang. 

Kita suka spoiler dalam hidup, semacam bocoran-bocoran kecil mengenai alur perjalanan kita ke depan. Maka itu, meski dianggap purba dan irasional, tapi masih banyak orang mengintip astrologi, percaya pada tarot, bermain judi dengan petunjuk-petunjuk mistis, dan lain sebagainya. Versi modern dan rasionalnya juga ada: Kita mengikuti psikotes minat dan bakat, bertanya nasihat pada teman atau orangtua, berjuang demi dana pensiun, hingga mengasuransikan hidup kita hingga dua puluh tahun ke depan. 

Bahkan pada titik ekstrem, kita memeluk agama dan membaca kitab suci, sebagai spoiler terhadap nasib kita setelah mati, beserta hal misterius lain yang sukar dijelaskan. 

Apakah kegiatan mencari spoiler di atas bisa disamakan dengan fenomena Avengers: End Game

Tentu saja, bisa jadi, terlalu jauh, dan terlalu sembrono. Avengers ya Avengers, tidak perlu dikait-kaitkan dengan kedalaman hidup yang super serius. Karena memang, budaya pop seringkali tidak punya kaitan dialektika-materialistik dengan dunia kehidupan nyata. 

Budaya pop adalah budaya pop dengan segala euforia dan irasionalitasnya, yang justru menjadi semacam pelarian dari kehidupan nyata. Dalam dunia yang lahir dari budaya pop, kita bebas menentukan penjahat kita sendiri. Tidak perlu jauh-jauh mencari penjahat yang melanggar undang-undang negara, tapi cukup penjahat yang merusak kenyamanan publik, yang dalam hal ini adalah pelaku spoiler

Seorang kawan pernah mengatakan: Kita mencintai budaya pop, karena ada aspek “ketegangan yang terukur”. Budaya pop asyik, karena kita menikmati ketakutan, kengerian, kegilaan, tanpa harus khawatir akan hal paling mencemaskan umat manusia: kematian. Pada tegangan-tegangan itu, manusia merasa bisa bergerak bebas, menciptakan nilai yang berbeda sama sekali dengan kehidupan yang sebenarnya. 

Dalam budaya pop, bebas saja menghujat pelaku spoiler, tapi dalam kehidupan sebenarnya, bisakah kita hidup tanpa pelaku spoiler

 

Ini adalah tulisan yang pernah dimuat di website voxpop.id. Sayangnya, website tersebut sekarang tidak aktif sehingga artikel-artikel di dalamnya tidak dapat diakses. Artikel yang diposting di blog ini adalah versi tulisan yang belum disunting oleh pihak voxpop.id. 

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me