Skip to main content

Hati

Membicarakan "hati" memang mudah untuk dituding sebagai romantisme, semacam bahasa batiniah yang dibentuk akibat ketidakmampuan menghadapi sesuatu secara rasional sehingga mengalihkannya pada hal-hal abstrak yang tak bisa diverifikasi dan difalsifikasi. "Hatiku mengatakan ada yang salah dengan semua ini", pernyataan semacam itu dipandang tak punya arti dalam ranah argumentasi, apalagi kala ditanya, "Alasannya kenapa?" Hati seringkali tak punya justifikasi, tak butuh justifikasi.  Saat beberapa waktu lalu berangkat ke Kabupaten P, saya belajar banyak tentang mengasah hati melalui berbagai ritual keagamaan yang sebelumnya tak rutin saya lakukan. Tujuan ritual-ritual semacam itu, salah satunya, adalah merawat hati, membuatnya lebih terdengar, tanpa mesti dibarengi justifikasi. Sang Guru beberapa kali bicara tentang hati beserta penyakit-penyakit yang menyertainya - hal-hal yang sering saya dapati ketika belajar agama di usia SD atau SMP: iri, dengki, sombong,

Tentang Feminisme

 

Sampai sebelum masa pandemi tahun 2020, saya tidak pernah merasa benar-benar terkesan dengan feminisme. Pandangan saya tentang feminisme masihlah dicemari obrolan tongkrongan yang mengatakan hal-hal seperti "feminis adalah orang-orang yang kekurangan selera humor" atau "feminis disuruh jadi tukang bangunan juga paling gak mau". Apalagi saya besar dalam lingkungan keluarga yang lumayan patriarkis dengan figur ayah sebagai sentral. Sementara ibu, yang aktif berkarir, memikul beban ganda dengan mengurusi rumah tangga dan anak-anak. Persentuhan saya dengan feminisme yang cukup intens dimulai dari undangan untuk mengisi kegiatan Komunitas Mahasiswa Filsafat (Komafil) Universitas Indonesia secara online di masa pandemi. Waktu itu kalau tidak salah saya diminta membawakan materi tentang gender dan seni. Sungguh undangan yang salah alamat, pikir saya. 

Dengan penuh keraguan akhirnya saya menyelami teks Linda Nochlin yang berjudul Why Have There Been No Great Women Artists? tahun 1971. Dari persentuhan dengan teks itu, pikiran saya mulai pelan-pelan terbuka. Nochlin menuliskan bahwa minimnya keberadaan seniman perempuan dapat dilacak secara historis dari ketimpangan akses terhadap kegiatan melukis tubuh telanjang. Melukis tubuh telanjang dipandang sebagai skill tinggi dalam dunia seni rupa, sementara perempuan tidak leluasa melakukan kegiatan tersebut karena dihalang-halangi faktor susila. Perempuan kemudian dianggap lebih lumrah untuk melukis objek benda mati atau pemandangan. Selain itu, lanjut Nochlin, terdapat stereotip bahwa perempuan sudah semestinya lebih fokus pada urusan domestik. Dengan demikian, perempuan yang menjulang sebagai seniman dituding telah meninggalkan "tugas-tugas kodrati" dalam hal mengurusi rumah tangga atau membesarkan anak-anak. Stereotip semacam itu tidak berlaku bagi laki-laki yang dipandang lebih wajar untuk bebas mengejar karir dan nama besar. 

 Setelah melewati forum Komafil tersebut, saya kembali mendapat undangan dari platform logos.id untuk mengisi topik yang kurang lebih mirip yakni soal kesetaraan gender dalam seni. Lewat perkenalan dengan Ikhaputri Widiantini, saya memanggilnya Mba Upie, seorang kawan feminis, dosen UI, yang akhirnya bergabung Kelas Isolasi, saya direkomendasikan untuk membaca buku Carolyn Korsmeyer yang berjudul Gender and Aesthetics. Korsmeyer menelaah secara teliti bagaimana diskriminasi terhadap perempuan dilakukan dalam berbagai bidang seni mulai dari seni rupa, musik, teater, hingga sastra. Memasak, yang banyak dijalankan dalam kerja domestik perempuan, dipandang sebelah mata sebagai sebuah seni karena pandangan umum yang melihat seni sebagai sesuatu yang mesti "abadi", diterima oleh indera pendengaran dan penglihatan sebagai "indera lebih tinggi" dalam memperoleh pemahaman (understanding). Sementara memasak mengandalkan indera penciuman dan pengecap yang bergantung pada kedekatan dengan objek. Selain itu, hasil masakan juga dapat basi dan hancur sehingga tidak bisa digolongkan sebagai karya seni jika syaratnya mesti "abadi". Korsmeyer mempertanyakan stereotip semacam itu. Menurutnya, tidakkah kegiatan memasak adalah hal yang paling abadi dalam sejarah umat manusia? Tidakkah hasil masakan selalu punya pertimbangan "universal" sehingga bisa diapresiasi sebanyak mungkin oleh orang lain? Tidakkah masakan tidak pernah murni plek plek sebagai sarana bertahan hidup tetapi juga mencerminkan kebudayaan tertentu? 

Dari bacaan itu saya menjadi semakin tertarik pada feminisme. Apalagi dipengaruhi juga oleh pergaulan bersama Saras Dewi alias Mba Yayas, Mba Upie, Aprianti alias Anti, dan kawan-kawan lainnya. Mba Upie terutama, menekankan agar dalam setiap ceramah atau tulisan, jangan selalu mengutip pemikir laki-laki. Hal ini masih terbilang agak sulit bagi saya yang tumbuh bersama bacaan yang sebagian besar ditulis oleh pemikir laki-laki. Sampai akhirnya dalam proyek buku pengantar ilmu politik yang saya kerjakan bersama M Fauzi AR atau saya akrab memanggilnya dengan Oji, saya mengusulkan untuk memasukkin bab tersendiri tentang feminisme. Dengan bab eksklusif tersebut, pandangan umum tentang kajian politik yang selalu berpusat pada "keterlibatan publik" menjadi terpatahkan terutama karena slogan feminisme gelombang kedua yakni, "the personal is political". 

Slogan tersebut menunjukkan bahwa politik dimulai dari tubuh dan keseharian, membuat kita tidak boleh lupa dengan hal-hal krusial bagi kelangsungan sebuah masyarakat seperti kehamilan, persalinan, dan reproduksi tenaga kerja melalui kegiatan domestik. Meski demikian, bukan artinya kita mengamini stereotip "ibu rumah tangga yang bahagia" sebagai sosok yang dicitrakan demi mengurung perempuan di rumah. Lewat slogan "the personal is political", kita diajak untuk melihat bahwa segala aspek kehidupan adalah sama pentingnya. Perempuan tidak semestinya menerima diskriminasi akibat kodrat biologis seperti hamil, melahirkan, dan menstruasi. Dalam buku pengantar ilmu politik yang akan segera terbit ini, saya mengutip pandangan-pandangan dari Mary Wollstonecraft, Matilda Bajer, Simone de Beauvoir, Shulamit Firestone, Kimberlé Crenshaw, Judith Butler, dan banyak lainnya. Bacaan-bacaan tersebut membawa saya lebih dekat pada pemikiran feminisme. 

Kembali ke obrolan tongkrongan di awal tentang "feminis adalah orang-orang yang kekurangan selera humor". Pernyataan ini salah sama sekali. Teman-teman feminis saya adalah orang-orang yang sangat lucu dengan selera humor yang sangat baik. Kalau mereka sering marah karena humor tertentu, itu karena humornya seksis dan mengobjektivitasi perempuan. Wajar mereka marah. Kemudian menyoal "feminis disuruh jadi tukang bangunan juga paling gak mau", pernyataan tersebut juga keliru. Poinnya, perempuan harus punya kesempatan untuk menjadi apapun yang mereka mau, termasuk menjalani pekerjaan yang dicitrakan sebagai "pekerjaan laki-laki" seperti tukang bangunan, petugas keamanan, atau bahkan "pemikir" atau "filsuf" (yang begitu didominasi oleh laki-laki). Jika kesempatan tersebut sudah terbuka lebar, semuanya diserahkan pada pilihan dan kemampuan pribadi masing-masing. Hal yang lebih penting, tidak ada diskriminasi terhadap perempuan hanya karena mereka perempuan. 

Saya kemudian teringat saat kampus saya, STF Driyarkara, membuat acara untuk merayakan ulang tahun Romo Franz Magnis Suseno. Menjelang hari-H, panitia baru sadar bahwa isi forum berisi seluruhnya laki-laki, sehingga merasa perlu untuk mengundang Bu Karlina Supelli. Jawaban sinis Bu Karlina kemudian menohok saya, dan mungkin semua laki-laki yang mengetahuinya, "Saya sudah biasa diundang menit-menit akhir untuk mengisi slot perempuan dalam forum. Mungkin kalian lupa, kalau perempuan juga bisa berpikir."

Comments

Popular posts from this blog

Kelas Logika: Kerancuan Berpikir (Informal)

 Dalam keseharian kita, sering didapati sejumlah pernyataan yang seolah-olah benar, padahal rancu dan sesat. Kerancuan dan kesesatan tersebut disebabkan oleh macam-macam faktor, misalnya: penarikan kesimpulan yang terburu-buru, penggunaan kata yang bermakna ganda, penekanan kalimat yang tidak pada tempatnya, pengaruh orang banyak yang menyepakati sebuah pernyataan sebagai benar, dan lain sebagainya.    Dalam ranah ilmu logika, kerancuan dan kesesatan diistilahkan dengan fallacy (jamak: fallacies ). Fallacy ini amat banyak ragamnya, dan di tulisan ini akan disebutkan fallacy yang sifatnya informal. Formal fallacies adalah kerancuan yang dihasilkan dari kesalahan dalam aturan silogisme, penalaran, dan pengambilan keputusan. Sedangkan informal fallacies (atau disebut juga material fallacies ) adalah kerancuan yang dihasilkan dari kekeliruan memahami konsep-konsep yang lebih mendasar seperti terma, definisi, dan pembentukan premis itu sendiri.  1. Kerancuan dalam Berbahasa  1

Gin

GIN Gingin Gumilang pernah menjadi mahasiswa di kelas waktu saya masih mengajar di Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Saya lupa tahun berapa itu, mungkin sekitar tahun 2010 atau 2011. Gin, begitu dipanggilnya, duduk di pojokan, orangnya pendiam, tetapi saya tahu di kepalanya menyimpan banyak pemikiran. Suatu hari, saya mengumumkan di kelas bahwa akan ada konser gitar klasik di IFI Bandung dan tentu saja, saya hanya berbasa-basi saja, tidak berharap kalau mereka, yang umumnya kost di Jatinangor, akan datang ke Bandung hanya untuk menonton gitar klasik. Ternyata ada satu orang yang datang ke IFI, ya Gin itulah. Sejak itu saya terkesan. Rupanya wawasannya juga luas. Saya ingat ia tiba-tiba membicarakan Freud di kelas, di tengah mahasiswa-mahasiswa yang yah, duduk di sana hanya berharap bisa lulus saja, tanpa peduli ilmu apa yang didapat. Saya kemudian terpikir, rasanya tepat kalau Gin diajak bergaul lebih luas, keluar dari "sangkar" yang membuat

Metafisika

Entah benar atau tidak, tapi boleh kita percaya agar pembahasan ini menjadi menyenangkan: Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yang di luar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada (being qua being) setelah buku bertitel 'Fisika'. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai 'Metafisika'. 'Metafisika' berarti sesudah 'Fisika', yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku 'Fisika' di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Agak sulit untuk menjelaskan secara presisi tentang apa itu metafisika (tentu saja metafisika dalam arti istilah yang berkembang melampaui rak buku Aristoteles), maka itu alangkah baiknya kita simak beberapa contoh upaya untuk me